"Lia, Lia. Kapan nikah sih kamu? Umurmu sudah lewat dari dua puluh. Tau kan, tetangga sampe bikin julukan buat kamu tuh!"
Nenek tertawa terbahak-bahak. Julukan yang dibuat tetangga memang keren sekali; perawan tua katanya. Heh. Lia ini masih cantik seperti bunga. Bunga edeilweiss yang akan selalu abadi. Cielah.
Tapi tentu saja itu bohong.
"Nenek standar Lia tuh tinggi nek. Siapa tahu Lia dapet suami ceo-ceo wattpad gitu. Kan, ya?"
Nenek lagi-lagi tertawa. Nenek Lia itu gaul, dia tahu apa itu istilah ceo wattpad saking menjamurnya itu cerita. Kadang-kadang nenek Lia membacanya juga, katanya, lumayan buat khayalan nenek. Padahal nenek sudah tua, sudah lewat zamannya untuk mengkhayal oppa-oppa ganteng atau Tuan Ceo-ceo tampan dan kaya—saat Lia bilang begitu, Lia kena semprot habis-habisan.
"Ah kamu ini Lia. Ngada-ngada aja pikiranmu nikah bareng ceo ganteng, kaya, mapan, beuh. Nenek gak percaya."
Iya Nek. Lia bukannya Nikah sama Ceo ganteng, kaya, mapan. Lia malah nikah sama bangsawan nek! BANGSAWAN! Buju buset, Lia yang rakyat jelata menikah dengan bangsawan bergelar Duke. Gila gak tuh?
Perasaan dulu mau pacaran sama anak tentara aja, susah banget. Duh kok ini gak tanggung-tanggung? Apalagi gila, Lia bahkan udah punya anak! Kapan sih dia hamil sama ngelahirinnya?!
***
kembali ke beberapa hari yang lalu, sebelum Lia tahu dia seorang ibu.
"Bagaimana?"
"Nyonya sepertinya lupa ingatan Tuan Duke. "
Duke—entah siapa cowok di depan Lia ini. Dokter ini juga tiba-tiba datang saat Lia histeris melihat penampilannya sendiri. Gimana gak histeris? Lia hampir kena jantung! Apa rambut coklatnya ini! Rambut Lia hitam pekat, tau. Terus-terus, apa lagi warna mata perak ini. Memangnya ada di dunianya warna mata begini ya? Eh, ada sih, soflent. Tapi waktu Lia colok matanya, rasanya ..., gak bisa tuh, malah sakit.
Tapi ini asli! Tadi Lia colok matanya. Ternyata perih.
"Nyonya butuh mengistirahatkan pikirannya, lalu meminum obat miliknya secara teratur."
"Oke, kau keluar."
"Baik, Tuan. Saya permisi Tuan dan Nyonya."
Dokter itu keluar, meninggalkan Lia dengan Tuan Duke entah siapa itu Lia sama sekali tidak mengenalinya. Rasanya gelar Duke terasa familiar di telinga Lia, Lia adalah anak yang suka baca-baca novel, komik, webtoon, manga dan lain-lain kalau sedang penat.
Rasanya pernah dengar
Duke—gelar bangsawan Eropa di Kerajaan Inggris kan? Yang masih satu keluarga sama keluarga Kerajaan ya kan? Hah? Masa ada Duke di depan Lia? Lia bahkan tak pernah ke Inggris tuh, jangan-jangan ini ..., Lia gak sengaja masuk ke lokasi syuting film-film Kerajaan?
Masa sih, bisa masuk ke lokasi syuting. Kan, bukan artis. Coba pastiin dulu, ah.
Lia mencubit pipinya, rasanya, "ouch." Ini menyakitkan, bahkan Lia coba sekali lagi rasanya tetap sama.
"Kau ..., aneh,"
Kalimat itu keluar dari pria di depan Lia, badannya tinggi, tubuhnya kekar dan tegap. Baju kemeja putihnya bagian atasnya belum dikancingkan dengan benar, rambutnya acak-acakan. Belum lagi mata berwarna merah, yang kelihatan lelah itu. Sepertinya dia kurang tidur. Dia mungkin terpaksa bangun karena kondisi Lia yang tak jelas ini, tapi ..., kalau ini cuma syuting film historical romance macam itu warna matanya harus merah begitu ya?
Rambut pirang kan Lia maklumi, apa matanya sedang sakit jadi merah?
Tapi ..., seperti asli rasanya. Semacam milik Lia, yang bukan softlens.
"Aku pergi, jangan menggangguku lagi." Lalu laki-laki itu pergi, menutup pintu kamar Lia. Meninggalkan Lia dengan kondisi tercengang dengan semua keadaan yang Lia hadapi saat ini.
***
Lia, kata orang-orang di desa disebut perawan tua. Padahal usia Lia baru menginjak 25, di kota bahkan hal lumrah untuk menikah usia 30 tahun ke atas. Wajar saja kan? Lagipula, menikah itu butuh kesiapan mental, tubuh dan yang terpenting material, iya, duit. Kalau tak ada duit, bagaimana mau nikah?
Menurut Lia orang desa itu aneh ..., perangai mereka jelas berbeda jauh dari orang-orang kota. Termasuk dalam hal menikah, kebanyakan dinikahkan dini ..., katanya agar meringankan beban orang tua. Padahal mereka tak tahu, itu malah menambah beban orang tua lagi—apalagi kalau si cowoknya tak bekerja, belum lagi karena putus sekolah sumber daya manusia suatu negara semakin rendah.
Karena angka pernikahan dini tinggi itu, bahkan membuat perempuan banyak yang meninggal di usia muda saat melahirkan anak. Terutama karena kurangnya kesiapan tubuh, dimana sang ibu jelas berisiko kalau hamil usia muda. Apalagi ..., pernikahan dini menyebabkan tinggi faktor kekerasan rumah tangga, karena keduanya—yang menikah muda—belum punya mental yang stabil untuk jadi orang tua.
Orang dewasa saja kadang tak kuat, dan berpikir-pikir untuk menikah dan punya anak.
"Dasar orang kampungan, pantas miskin terus." Lia mau tak mau marah, telinga Lia panas mendengar ejekan tetangga sana sini.
Lia malas pulang, tapi harus menjenguk nenek karena sudah lama tak ke desa. Lalu nenek juga semakin sakit-sakitan, nenek butuh udara asri dan ketenangan—tapi desa ini menurut Lia, isinya orang-orang busuk yang setiap hari berkicau tentang masalah orang. Tak ada habisnya berbicara keburukan dan kekurangan orang lain. Padahal orang itu, tak ada yang sempurna.
Sama seperti Lia ...
"Lia, kenapa gak nikah aja? Yang suka banyak loh, tinggal milih kan kamu mah enak."
"Bener tuh, iri aku. Kamu banyak yang suka, tapi kena tolak terus."
"Sayang banget muka cantik gitu."
"Bisalah narik cowok kaya, ganteng, mapan hahaha."
Lia memikirkan teman-teman plastiknya, yang mulutnya sama seperti orang-orang di sini. Yah dirinya juga sama sih. Tapi setidaknya, harus ada rem pada sebuah mulut kan? Tidak boleh keterlaluan, apalagi menceramahi ini itu, Lia sudah besar. Sudah tahu tujuan hidupnya apa, dia mau kemana dan apa yang ingin Lia lakukan baik di masa kini maupun masa depan.
Yah, walau saat ini bukanlah apa yang terpikirkan oleh Lia.
Sama sekali tidak Lia perkirakan, dia akan jadi istri orang lain. Apalagi di dunia lain seperti ini, entah dunia apa ini.
"Baik, saat ini yang harus dilakukan adalah nyari tahu ini dimana. Setidaknya aku harus cari pengetahuan hidup di sini. Karena sepertinya—" di sini tidak ada keberadaan keluarga Lia. Ah, jangan berpikiran negatif, nanti Lia akan coba tanyakan ke orang-orang di sini. Barangkali ada kan? Lagipula, Lia sama sekali belum mencobanya.
Kalau begitu, ah, ada bel rupanya di meja sebelah tempat tidur Lia.
Bel fungsinya buat manggil orang apa ya? Tring Tring Tring, bel itu berbunyi beberapa kali dan benar saja, ada pelayan yang masuk ke kamar Lia yang gelap gulita—Lia baru bangun tidur lagi.
"Iya, Nyonya Duchess. Ada yang bisa saya bantu untuk anda?"
Lia sebelumnya berdeham, dia mengubah posisi menjadi duduk. "boleh bawakan buku untukku?" pinta Lia padanya, Lia yakin suaranya agak serak.