webnovel

Pagi Buta

Di pagi buta dengan matahari yang masih belum menampakkan wujudnya, tapi suara Alarm jam weker dikamarnya sudah berbunyi bahkan dari setengah jam yang lalu, memaksa dirinya yang masih betah di alam mimpi untuk membuka mata dan bangun dari tidurnya.

Mengapa hidup sekeras ini ?! Padahal aku baru tidur satu jam, bahkan kurang dari itu. Sial!

Aku pun dengan terpaksa membuka mataku, setengah sadar ku sibak bedcover yang menyelimuti tubuhku dan terduduk diatas ranjang besar itu, tanganku langsung terulur mengambil jam weker sialan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Pasti kamu kan yang setting Alarm in!" ucapku dengan masih setengah sadar, samar-samar aku melihat kearh pria berjas hitam yang berdiri di hadapanku sambil terus menatap.

"Selamat pagi pak, mohon maaf tapi anda harus bangun tepat sebelum jam lima karena kita akan nik penerbangan per..."

"Saya tahu!" selakku dengan penuh rasa kesal dan melemparkan jam weker itu, kuusap wajahku. "tapi saya baru tidur setengah jam, apa/kamu ga punya perasaan sama sekali hah!" kuacak rambutku dengan perasaan nyaris frustasi, ini salahku, salahku yang terlalu mengajarkannya untuk slalu disiplin sehingga sekarang dia jadi kejam begini padaku.

Kuhela nafas menahan rasa kesal saat aku sama sekali tidak mendapat respon apapun darinya. "Yasudah sana keluar, saya sudah bagun jadi kamu bisa keluar, Javas" ucapku dengan tangan sedikit terangkat mengusirnya dan meliriknya dengan tatapan yang malas yang membuat pria itu akhirnya berjalan keluar.

Lagi-lagi aku mengusap wajahku dengan perasaan campur aduk. Selalu seperti ini, semenjak hari itu dimana dokter mengumumkan kalau operasi mataku berhasil dan aku bisa melihat kembali aku bukannya senang tetapi malah tidak tenang.

Setiap ingin tidur aku pasti akan teringat sentuhannya lalu bangun dengan keadaan hampa karena tak mendapatkan apapun di sampingku.

Wanita itu bahkan meninggalkanku tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, bagai bersembunyi ditempat tak kasat mata sehingga meski aku mencarinya mati-matian aku seakan tidak akan pernah bisa menemuinya.

Satu tahun ini aku nyaris gila, kalut dan bingung mencari keberadaannya, rencana kaburnya dia dari hidupku seolah telah di persiapkan begitu matang hingga aku tidak bisa menemukan satu jejak kakipun yang mengarah kepadanya atau yang membuat aku bisa menemuinya lagi.

Tapi meski begitu, aku tetap tidak menyerah sampai akhirnya aku menemukan satu fakta tentangnya, satu fakta yang membuatku bahagia dan sedih disaat yang bersamaan, fakta kalau aku tahu dia hamil.

Setelah dia menghilang, satu minggu kemudian pembantuku tak sengaja menemukan benda tersebut, sebentar... Aku akan mengambilnya.

Aku segera bergeser dari tempatku saat ini, mencari keberadaan celana panjangku dan mengambil satu kotak kecil yang selalu aku bawa dan aku taruh di dalam saku celanaku.

Alat pengecek kehamilan, itulah benda yang selalu aku bawa kemanapun selama satu tahun ini, jika orang normal mengetahui aku menyimpan bahkan membawa benda ini kemanapun aku pasti akan dianggap gila atau bahkan jorok karen membawa alat itu yang mana pasti sudah pernah di pakai dan pasti meninggalkan air urine di dalamnya.

Tapi aku tidak peduli, sama sekali tidak peduli dengan tanggapan orang lain tentangku, bagiku hanya benda ini yang membuatku jadi merasa terhubung dengan mereka berdua, anak dan istriku yang sekarang masih tidak ku ketahui keberadaannya.

"Aku mungkin sudah katakan ini ribuan kali kalau aku sudah menyerah, jadi aku mohon keluarlah dari persembunyian dan biarkan aku menemukan kalian"

Aku membuka kotak itu dan kupandangi dua garis merah yang tercetak jelas pada kertas alat itu, hal yang selalu aku lakukan setiap hari selama satu tahun bahkan sampai saat ini.

"Apa kamu tidak lelah bersembunyi Laras ? Mau sampai kapan kamu begini, saya sudah tidak kuat lagi"

Aku merindukan orang sampai seperti ini yang bahkan orang itu tidak kuketahui wajahnya seperti apa, aku yakin dia mengandung anakku karena hanya aku pria satu-satunya yang melakukan itu padanya, aku jamin, aku yakin sekali.

"Apa saya harus buta dulu baru kamu mau kembali, Laras ? Saya lakukan ini untuk bisa melihat kamu bukan untuk kamu pergi meninggalkan saya" gumamnya.

"Dia perempuan atau Laki-laki ? siapa namanya ? atau mungkin mereka kembar ?"

Pertanyaan ini selalu muncul dalam benakku, jika sudah begini yang aku rasakan hanya sesak di dada dan kepala pusing tak terkira.

Aku tidak tahu dimana anakku, bagaimana wajahnya, siapa namanya dan itu benar-benar membuatku sakit sekali. Aku ayahnya tapi aku bahkan tidak pernah bertemu dengan anakku sendiri.

"Keterlaluan kamu Laras"

Kalau sudah begini ingin sekali rasanya aku membenci wanita itu, tapi lagi-lagi aku pasti aku gagal karena setiap aku tidur dan bangun yang aku lakukan adalah memikirkannya dan juga anak kita.

"ARRGGHHH!"

Javas segera berlari kearah kamar bosnya begitu ia mendengar suara teriakkan bosnya itu.

"ARGGHH SIALAN!"

Javas menemukan bosnya yang sudah menjambak rambutnya dan melemparkan barang-barang di sekitarnya hingga berserakan di lantai.

"Pak Rafan tenang Pak!" Javas segera menahan kedua tangan Rafan yang terus saja menjambak rambutnya sendiri bahkan memukul-mukul kepalanya.

"CARI DIA SAMPAI KETEMU! CARI DIA JAVAS! SURUH KRIS, VANO ATAU BAYAR MATA-MATA PALING HANDAL, SURUH MEREKA CARI WANITA ITU!"

Sebenarnya ini bukan lagi hal baru, bahkan untuk satu tahun belakangan ini, Dia tahu Rafan pasti frustasi setelah banyak hal yang harus dia hadapi, apalagi setelah satu tahun lamanya dia mencari dan mencoba menyelesaikan masalah ini namun tidak kunjung menemukan titik terang.

Javas melepaskan genggamannya pada Rafan dan langsung berjalan kearah laci yang mana disana ada obat yang harus Rafan minum jika pria itu mulai hilang kendali dan membuatnya bisa kembali tenang tak lupa juga segelas air yang selalu tersaji diatas nakas ranjangnya.

"Minum dulu Pak" Javas langsung membantu Rafan meminum obatnya itu perlahan emosi Rafan pun mulai mereda, Dia sebenarnya sudah menduga kalau hal ini pasti akan terjadi maka dari itu dia tidak benar-benar keluar dari kamar hotel bosnya ini dan menunggunya di ruang tamu. dugaannya memang benar dan beruntung dia bisa langsung menangani bosnya.

"Pak Rafan sebaiknya istirahat saja, saya akan membatalkan penerbangan kita pagi ini dan mengubahnya jadi siang hari agar Bapak bisa istirahat kembali" Ucap Javas tapi tidak ada sahutan sama sekali yang terdengar hanya suara nafas RAfan yang saat tengah berbaring dengan mata terbuka yang terus memandang kearah langit-langit kamar hotel ini.

Laras memang keterlaluan, gadis itu pergi dan menghilang bagaikan ditelan bumi, meninggalkan Rafan benar-benar sendirian ditambah Nareswara yang seolah ikut mendukung kepergiannya dengan membantu menghilangkan jejak wanita itu hingga kami kesulitan untuk menemukannya.

Aku, Kris dan vano bahkan yang mengetahui wajahnya wanita itu tetap tidak berhasil menemukanya apalagi Rafan, bisa saja kita memakai jasa mata-mata tapi apa yang mau kita kasih padanya untuk menyelidiki keberadaannya tak ada foto, alamat bahkan nomor ponselnya pun kita tidak punya, tadinya kami pikir alamat bank gadis itu masih bisa memberikan kita semua harapan untuk bertemu dengannya tapi ternyata kami salah, Gadis itu tetap tidak ditemukan bahkan sepertinya dia sengaja tidak menarik uang yang setiap bulan selalu Rafan transfer. Satu-satunya penarikkan uang yang wanita itu lakukan adalah dua hari sebelum kepergiannya, dia menarik uang di tabungannya hingga tak bersisa dan hanya itu.

Bahkan demi agar pernikahannya tetap sah di mata Tuhan dan Negara, Rafan setiap bulan tetap mentransfer uang gajinya ke rekening istrinya itu, dia bilang karena dia tidak mau lepas tanggung jawab dan membuat pernikahannya tidak diakui lagi dimata Tuhan karena meski dia tidak memberikan nafkah secara batin Rafan tetap mau memberikan nafkah lahirnya agar membuat dia dan Laras tetap terhubung.dalam ikatan pernikahan walaupun semua orang tau kalau caranya itu terkesan sangat memaksa, Rafan juga tidak mendaftarkan gugatan apapun ke pengadilan agama meski ayahnya sudah ribuan kali memaksanya agar Rafan bisa mengajukan perceraian tapi pria itu tetap tidak melakukannya.

Ponsel Javas tiba-tiba bergetar, sebuah panggilan masuk terlihat. "Halo Pak Kris" ucap Javas begitu pria itu mengangkat panggilannya.

"Dimana Rafan ? kenapa saya telepon dari tadi gak diangkat ?" ucapan Kris yang terdengar begitu khawatir.

"Pak Rafan masih tidur Pak"

"Kapan kalian pulang dari Medan ?"

"Mungkin siang ini Pak, karena Pak Rafan kecapekan jadi saya sengaja mengganti jadwal penerbangan yang seharusnya pagi ini jadi siang hari agar Pak Rafan punya waktu untuk istirahat" jawab Javas menjelaskan.

"Tapi rafan baik-baik aja kan ? Dia gak kambuh ?"

Javas menghelah nafas kecewa, sepertinya memang dia tidak bisa tidak mengatakan apa yang telah terjadi pada Rafan. "Pagi ini beliau kambuh lagi Pak, tapi saya langsung berikan obatnya sesuai dengan apa ayang Pak Kris suruh"

"oke oke, bagus kamu Javas. Saya kebetulan sudah buat janji dengan salah satu psikolog, kamu nanti setelah sampai di Jakarta langsung beritahu saya ya, biar saya langsung kasih kamu alamat Psikolog, jangan bilang pada Rafan, kamu datang saja bersama Rafan langsung ke alamat yang saya kirimkan"

"Baik Pak"

"Oke, kalau begitu saya tutup teleponnya, tolong jaga Rafan dengan baik"

"Baik pak"

Kris menutup panggilannya, setidaknya masih ada yang benar-benar peduli dengan Rafan, bahkan Vano sebagai musuhnya Rafan lama-lama berbalik arah menjadi temannya, hanya Nareswara, ayah kandung Rafan itu benar-benar tidak berubah bahkan lebih parah dan kejam dari sebelumnya.