webnovel

I FEEL ALONE

Peyvitta Aqueena. Seorang gadis berparas cantik yang memilih menjalani hidup dengan kesendirian, karena kebersamaan yang ia rasakan tak sesuai dengan apa yang dia bayangkan. Mencoba mengubah apa yang dirasakan pada masa lalu dengan mengubah semua sikap dan perilakunya. Hidup dengan bayangan masa lalu yang sangat tidak baik membuat Peyvitta mempunyai kebiasaan yang buruk. Peyvitta sering melukai dirinya pada saat dia kembali teringat akan masa lalunya atau pada saat hatinya kembali terusik. Bertemu dengan sosok cowok dingin yang mencoba masuk ke dalam kehidupannya membuat dia mulai merasakan yang namanya cinta dan juga kebersamaan, tapi... Tapi apa? Baca saja yuk ceritanya. Bagaimana kebiasaan Peyvitta saat ia melukai dirinya dan bagaimana ia menjalani hidup bersama dengan bayangan masa lalunya? Semuanya ada di cerita. Happy reading♡

Van_Pebriyan · Adolescente
Classificações insuficientes
444 Chs

I FEEL ALONE - Gue gak Sebodoh Lo

"Lo mau bawa gue ke mana?" tanya gue penasaran saat gue sudah masuk ke mobilnya.

"Pulang," jawab dia begitu singkat.

"Motor gue masih di sekolah," ucap gue saat teringat bahwa motor gue masih terparkir di tempat parkir sekolah.

"Kunci motor lo," ucap orang itu yang lagi-lagi membingungkan gue.

Gue bingung nih orang itu tanya atau minta sih. Gue memberikan kunci motor gue pada dia, berharap bahwa yang dia maksud adalah permintaan.

Orang itu menekan klakson mobilnya yang membuat satpam yang tengah berdiri di depan pintu Rumah Sakit itu melihat ke arahnya. Dia hanya melambaikan tangannya dan satpam itu menghampiri dirinya.

Dia memberikan kunci motor gue pada satpam itu. "Pak titip ya, nanti ada teman saya yang bakalan ambil," ucap dia yang membuat gue melongo heran, kenapa dia berbicara sepanjang itu bahkan sesopan itu pada satpam itu sedangkan sama gue? Dia hanya berucap satu atau dua kata dan dengan nada yang teramat begitu datar.

"Pelat nomor?" tanya dia datar.

"B 4753 VD," jawab gue tanpa mendapat jawaban lagi darinya.

Dia membuka layar ponselnya kemudian mengetik sebuah pesan yang entah apa yang barusan ia ketik dan ke pada siapa dia mengirim. Gue tidak tahu itu dan gue tidak mau bertanya tentang hal itu.

Dia melajukan mobilnya berjalan keluar dari area Rumah Sakit. Dia hanya fokus menatap jalanan, bahkan beberapa lama gue menatapnya dia tidak pernah menatap gue.

"Rumah lo di mana?" tanya dia dengan tatapan yang hanya menatap jalanan sekitar.

Ada perasaan yang mengganjal di hati gue saat dia menanyakan rumah. "Jangan sebut kata itu, gue gak suka dan gue males denger kata itu," jawab gue begitu ketus, karena memang gue tidak suka mendengar dia mengucapkan kata itu

"Tempat tinggal," ucap dia menghilangkan kata rumah, gue pikir dia menanyakan tempat di mana gue tinggal.

"Lurus aja nanti gue tunjukin."

*****

"Ikut masuk yuk." Entah kenapa kali ini gue mau mengajak orang lain untuk mampir dulu ke Apartemen gue.

"Gak," tolak dia datar.

Sialan! Sia-sia gue sudah ngajak lo.

"Ya udah, eh motor gue gimana?" tanya gue saat ingat kalau kunci motor gue sudah dia berikan ke satpam tadi.

"Sudah di parkiran," jawab dia wajah yang begitu datar, sepintas gue bingung tapi bodo amatlah yang penting motor gue sudah kembali.

"Kenapa tadi lo bawa gue ke Rumah Sakit? Di sekolah kan ada UKS?" Gue baru ingat di sekolah juga ada UKS dan ada dokter jaga yang bertugas di UKS untuk mengobati luka ringan.

"Gue gak sebodoh lo."

Kenapa sih ucapan dia sakit banget anjir rasanya? Meski dia tak berbicara dengan nada menghina ataupun mengejek yang jelas perkataannya terasa begitu menyakitkan.

"Maksud lo?" Gue bertanya dengan nada yang begitu sinis. Gue kesal sama dia, karena barusan dia sudah mengatai gue bodoh.

"Masih punya otak?" tanya dia yang langsung membuat gue terdiam. Lagi-lagi pertanyaannya terasa begitu menyakitkan, bahkan sangat menyakitkan.

"Punyalah lo pikir gue gak punya otak?" tanya gue dengan begitu sinisnya, namun dia masih memasang ekspresi wajah yang kalem.

"Pikir sendiri jawabannya."

"Auuu!" Gue berteriak refleks, saat gue merasa sakit di bagian telapak tangan gue. Dia dengan sengaja menekan telapak tangan gue yang masih dibalut perban.

Tindakannya barusan membuat luka yang semula sudah mulai mengering menjadi kembali basah dan membuat darah yang semula sudah berhenti menjadi kembali mengalir, bahkan darah itu sampai merembes ke luar perban.

"Ih lo jadi cowok kasar banget sih!" ucap gue setengah membentaknya, tapi sedikit meringis. Gue memegang tangan gue sambil mengusapnya perlahan.

"Sakit?" tanya dia datar, jujur gue emosi banget saat dia menanyakan hal itu.

Sebenarnya nih orang punya perasaan gak sih?

"Ya iyalah, lo pikir gue gak punya rasa? Udah tahu luka malah lo genggam, argh!" Emosi gue sudah semakin memuncak.

"Masih punya rasa sakit? Terus buat apa lo lukai diri lo sendiri?" Pertanyaan dia barusan langsung membuat gue diam membeku di tempat. Apa yang dia ucapkan memang benar, tapi dia tak tahu alasan kenapa gue melakukan hal ini.

"Lo gak tahu apa alasannya, makanya lo semudah itu menanyakan hal itu!" Nada bicara gue semakin meninggi dan semakin membentaknya.

Gue langsung membuka pintu mobil itu yang kemudian membanting kasar pintu mobilnya. Gue berlari meninggalkan dia di sana. Kenapa gue berlari meninggalkan dia? Sakit? Bukan. Bukan sebab sakit gue berlari, namun gue sudah tidak bisa lama-lama dengan dia. Ucapan dia barusan membuat gue teringat akan luka yang membuat gue melukai diri gue.

Entah karena hal apa, semua kata yang dia ucapkan seakan punya sihir yang bisa membuat gue diam tak mampu berkutik apa pun, bahkan emosi yang gue lakukan barusan tak membuat dia kapok, yang ada dia malah semakin mempertajam perkataannya.

Gue memeluk diri gue sendiri di sudut ruangan, pikiran gue bercampur. Apakah dia peduli atau dia hanya pura-pura peduli? Gue bingung meski gue belum mengenalnya, namun hati gue seakan takut dengan semua perkataannya.

Sedari tadi gue tidak berani buat menatap matanya secara langsung. Saat dia berkata sambil menatap mata gue, dengan sekejap tubuh gue serasa mati karena di tatapnya.

"Arghhhh!!!"

****

"Kamu itu punya mata gak sih?" tanya Mama dengan nada yang begitu tinggi sambil menatap gue dengan tatapan yang sangat tidak bersahabat. Gue hanya bisa diam dan menunduk.

"Punya tangan gunain yang bener, jangan bisanya hanya merusak apa yang ada!" Nada bicara yang Mama berikan sangat tajam, bahkan hat gue merasa teriris.

"Masih mending kalau yang pecah itu kepala kamu, tapi ini yang pecah malah piring." Gue gak salah dengar kan? Dia bilang mending kepala gue yang pecah? Apa hidup gue sangat tidak berarti untuknya? Bahkan jika dibandingkan dengan piring, ternyata jauh lebih berharga piring? Ya Tuhan, berikan aku kesabaran yang berlebih.

"Kamu ini anak macam apa sih? Ngelakuin hal kayak gitu aja gak bisa, coba kamu liat Della, Della saja bisa ngelakuin itu. Kenapa kamu enggak?" Gue terus terdiam sambil sesekali memejamkan mata gue, gue merasa sakit saat Mama membandingkan gue dengan Della.

"Dasar bodoh!" Au, gue rasa hati gue hancur saat ini juga.

Gue terbangun. "Argh!!! Mimpi itu lagi!" Gue bosan, karena isi mimpi gue kebanyakan adalah kejadian masa lalu gue yang tak ingin gue ingat, bahkan gue tengah berusaha untuk melupakan itu meski kenyataannya belum bisa.

Bayangan gue terus berputar di berbagai kejadian buruk pada waktu dulu. Banyak banget hal yang sudah gue alamin selama gue bersama dengan mereka yang berstatus keluarga, hal yang gue alamin hampir 95% adalah hal buruk.

Kejadian yang menurut gue tidak pantas buat gue terima justru sering mereka lakukan pada saat itu. Bentakan? Tamparan? Itu semua menjadi tindakan rutin yang mereka lakukan, sekali pun gue ada di posisi benar mereka tetap akan melakukan hal itu, apalagi jika gue berada di posisi salah, mereka akan semakin menyiksa gue.

Mereka tak pernah berhenti melakukan hal yang terbilang sangat tidak wajar itu. Kejadian seperti itu berhenti pada saat gue sudah tak bersama dengan mereka, yang artinya kejadian itu berhenti pada saat di usir untuk yang ke sekian kalinya dan akhirnya pada waktu itu gue mencoba memberanikan diri gue untuk memilih hidup sendiri.

Tak mudah untuk melakukan hal itu, meski gue mendapatkan bantuan fasilitas dari Om gue, tetap saja untuk mulai terbiasa akan kesendirian itu sangat berat dan sangat sulit.

*****

"Sial! Gue telat lagi," gue mengumpat kesal saat gue baru sadar kalau sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 08:00.

Sepertinya gue baru bisa melanjutkan tidur saat otak gue berhenti mengingat kejadian itu. Gue langsung turun dari ranjang dan langsung berlari ke arah kamar mandi. Selesai memakai seragam gue langsung buru-buru ke sekolah, gue sudah terlambat lama banget.

"Kenapa kamu telat? Sudah siang begini kamu baru sampai?" tanya Bu Ela selaku guru BK di SMA ini, Bu Eka sudah terbiasa berdiri di depan gerbang menemani Pak satpam saat jam masuk sudah berlalu.

"Kesiangan Bu."

"Ya iya. Kalau gak kesiangan kamu gak bakalan telat," omel Bu Eka. Telinga gue sudah bosan mendengar omelan Bu Eka, karena ini bukan kali pertamanya gue kesiangan.

"Jadi salah gak Bu, saya ngomong?" tanya gue balik yang kemudian langsung membuat Bu Eka terdiam sesaat dan gue rasa Bu Eka langsung merasa kesal.

"Arghh kamu ini, masih pagi sudah buat saya emosi," ucap Bu Eka dengan wajah yang mulai memerah, karena emosi.

"Bukannya barusan Ibu bilang siang?" Gue kembali mengingat lagi bahwa benar Bu Eka barusan berkata siang.

"Jawab saja terus ya, masuk sana terus kamu lari 5 keliling lapangan!" seru Bu Eka.

"Bukain dulu Bu, gerbangnya."

Setelah gerbang terbuka gue berjalan menuju ke lapangan dan menyimpan tas gue di pinggir lapangan kemudian berlari keliling lapangan. Keringat sudah bercucuran membasahi baju gue.

Saat kembali ke kelas ternyata guru matematika sudah bertengger di kursinya.

"Kesiangan kamu? Habis dari mana kamu?" tanya guru matematika yang tengah mengajar di kelas gue.

"Habis dari lapang."

"Ngapain?" tanya dia lagi.

"Lari keliling lapangan."

"Ya sudah, sekarang kamu duduk dan kerjakan semua soal yang sudah saya berikan!" ucap guru itu, gue berjalan ke tempat di mana gue duduk.

Gue mulai mencatat soal-soal itu.

"Nih," ucap teman sebangku gue sambil memberikan buku matematika miliknya yang sudah terdapat jawabannya.

"Gue bisa sendiri."

"Aku tahu kamu bisa sendiri, tapi waktunya tinggal 10 menit lagi. Sangat tidak mungkin kalau kamu bisa menyelesaikan semuanya," ucap dia, gue terdiam sesaat.

"Aku gak sepandai kamu dalam hal matematika, tapi aku yakin kali ini jawaban aku benar kok dan setidaknya bisa membantu kamu, lagian rumusnya panjang banget gak bakalan cukup kalau hanya punya waktu 10 menit dan yang disuruh ditulis itu cuman jawaban akhirnya saja, jadi kamu gak bakalan telat kalau kamu mau nyalin tugas aku," ucap dia panjang lebar. Gue heran kenapa dia bersikap baik sama gue, sampai dia mau menjelaskan semua risiko kalau gue tetap mengerjakan tugas ini sendiri.

"5 menit lagi kumpulkan tugasnya," ucap guru itu yang membuat lamunan gue buyar.

"Tuh tinggal 5 menit lagi," ucap dia sambil mendekatkan buku matematika miliknya.

Dia tersenyum menatap gue sambil menganggukkan kepalanya. Gak ada pilihan lagi, gue langsung menyalin tugas miliknya dan setelah 5 menit berlalu akhirnya gue berhasil mengumpulkan tugas itu.

*****

"Kamu gak bisa terus-terusan ngelakuin apa pun sendiri, kamu juga butuh sama yang namanya teman," ucap dia saat guru pengajar itu keluar dari kelasnya dan waktu istirahat tiba.

"Gue gak butuh teman, karena gue gak punya teman!"

"Kamu sebenarnya punya teman, hanya saja kamu tak menganggapnya. Percayalah mempunyai teman itu tak seburuk yang kamu bayangkan, karena ketika kamu butuh bantuan, seorang teman akan datang untuk membantu temannya," ucap dia dengan lembut, namun hati gue tak menerima ucapan lembutnya.

"Jangan mentang-mentang lo sudah bantuin gue tadi lo bisa seenaknya ngatur gue dan jangan lo kira setelah lo memberikan jawaban sama gue barusan menjadikan lo sebagai teman gue, semua itu gak berlaku." Setelah gue berucap seperti itu dia terdiam sambil menatap gue, mungkin dia tak menyangka jika gue bakalan memberikan respons seperti itu.

"Tugas yang lo berikan barusan gak menjadikan diri lo punya hak buat ngatur gue!" Dia terdiam sambil menatap gue dengan tatapan polos miliknya.

"Thanks," ucap gue sambil menyimpan selembar uang berwarna merah di atas meja di depan matanya, gue langsung pergi tanpa mau mendengar ucapannya lagi.

Dia sakit hati? Gue tidak peduli, karena hati gue jauh lebih sakit saat dia membahas tentang teman dengan gue, apalagi dia berbicara tentang kesendirian gue. Gue tahu, kalau gue memang sendiri, tapi setidaknya dia tidak perlu mengatakan kalau gue sendiri.

Bagaimana kelanjutan hidup Peyvitta?

Siapa cowok itu? Tunggu aja:*

LOP U♡

Van_Pebriyancreators' thoughts