webnovel

I’LL STAY (tamat)

"I'll have been falling in love with you today, tomorrow, and forever." Menerima perasaan yang sama dari orang yang disukai apalagi dia orang terkenal adalah suatu yang mustahil, tapi Kirana mendapatkan semua itu dalam sekejap. Tapi saat itu terjadi Kirana menyadari bahwa hatinya sudah dicuri oleh laki-laki yang sama sekali tidak dia harapkan.

Rufina_Dian · Adolescente
Classificações insuficientes
21 Chs

EMPAT BELAS

Kirana duduk termenung menatap layar televisi yang menampilkan opera sabun yang sama sekali tidak ia pedulikan, pikirannya terus memikirkan perkataan dokter Bayu. Memang kemungkinan besar Dylan bisa sehat, tapi rasa takut dan kemungkinan gagal itu selalu ada. Pandangannya kembali menatap tumpukan obat yang diberikan dokter Bayu di atas meja.

Ia menaikkan kedua kakinya lalu memangku keningnya di atas lutut−membenamkan wajahnya diantara kedua lengannya sambil memejamkan mata. Apa rasanya sesakit ini mengkhawatirkan seseorang yang kita cintai?

Dan sebuah sentuhan hangat dikepalanya membuat dirinya menengadahkan kepala dan tanpa disadari pelupuk matanya mulai panas, air matanya langsung tumpah saat melihat laki-laki itu menatapnya dengan lembut.

———

Dylan membuka matanya, ia terbangun karena mimpi yang ia benci muncul. Dirinya mencoba duduk menyadarkan dirinya sendiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi kepalanya tidak sepusing tadi sore. ia menunduk melihat kemeja yang ia kenakan sedikit basah karena keringat dan melempar pandangannya ke sekeliling ruangan kamar gadis itu, semuanya benar-benar menggambarkan Kirana.

Sambil tersenyum tangan Dylan menyusuri tempat tidur yang sedang ia duduki dan kembali membenamkan tubuhnya ke tempat tidur; ada aroma tubuh gadis itu di bantal, selimut, dan sprei dan membuat dirinya merasa begitu nyaman. Saat menatap langit-langit kamar gadis itu ia melihat tempelan bintang-bintang dan dirinya tersenyum malu mengingat lukisan di langit-langit kamarnya sendiri. Ternyata kita sama...

Dylan melirik jam dinding yang tepat berada di arah jam dua belas tempatnya berada, ia beranjak dari kamar karena mendengar suara televisi dari arah ruang tamu. Tanpa memperhatikan ia melewatinya menuju dapur mengambil segelas air putih, tenggorokannya terasa kering karena dehidrasi. Ia menghabiskan minumnya hanya dalam beberapa kali teguk dan mengisi kembali gelas kosong tersebut, meminumnya perlahan sambil berjalan menuju Kirana yang duduk memunggunginya menatap layar televisi.

Saat mendekati Kirana ia melihat gadis itu tertunduk lesu. Dylan meletakkan gelasnya di meja dan membiarkannya bersanding dengan bungkusan plastik putih yang bisa ia pastikan isinya tanpa perlu ia buka.

Dylan mengangkat tangannya dan mengusap kepala gadis itu dengan lembut. Kirana menoleh ke arahnya dengan raut wajah terkejut dan air mata jatuh membasahi pipiya yang bulat. "Kenapa?" tanya Dylan lembut yang berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat gadis itu manangis.

Kirana menggeleng-gelengkan kepalanya dan buru-buru mengusap air matanya. "Kamu lapar?" tanyanya parau. "Aku masak bubur,"

"Nanti," jawab Dylan sambil menunjuk ke arah kantong plastik putih yang berada di atas meja. "Titipan dokter Bayu kan? Hmm... obat pusing, obat demam, obat... vitamin deh,"

"Dylan..."

"Ya?" Dylan mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum, duduk disebelah Kirana dan mengusap air mata yang masih membasahi pipi gadis itu. "Kamu kok makin mirip sama kelinci ya?"

"Bukan waktunya bercanda," jawab Kirana sambil memukul-mukul Dylan pelan dengan tinjunya yang tidak bertenaga.

Dylan menangkap tangan Kirana lalu memeluknya dengan erat, dadanya terasa sakit dan sesak. Ia bisa merasakan gadis itu kembali terisak di pelukannya.

"Apa yang kamu rasa? Apa yang kamu pikirkan? Bagilah semuanya padaku,"

"Aku nggak apa-apa," kata Dylan sambil terus memeluk gadis itu seakan-akan gadis itu akan lari dari sisinya. Aku pasti bisa bertahan. Dylan melepaskan pelukannya dan menatap jauh ke dalam mata gadis itu. "I love you,"

Dylan bisa melihat Kirana membeku tidak berkutik setelah ia menyatakan perasaannya. "Aku nggak akan mengulang dua kali," kata Dylan lalu mencium kening Kirana dan beranjak dari tempat duduknya. "Aku lapar, ayo makan." Dylan beranjak menuju dapur yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang tamu dan meninggalkan Kirana yang masih duduk terpaku.

Hanya beralaskan matras tipis Kirana berusaha memejamkan matanya yang tidak mau tidur. Dengan gerakan lembut Kirana menarik selimut hingga batas leher sambil terus memandangi langit-langit kamarnya yang terlihat semakin indah. Selain detak jam dinding yang terdengar begitu seirama, ia bisa mendengar hembusan nafas Dylan yang begitu teratur dan membuat jantungnya berdebar-debar.

Kirana memiringkan tubuhnya kekiri dan kekanan untuk mencari posisi yang tepat, tapi tetap saja dirinya tidak bisa tidur.

"Kirana?"

"Ya?" jawab Kirana cepat saat mendengar Dylan memanggil namanya. "Kamu mau sesuatu? Minum? Atau lapar?" Kirana duduk menghadap tempat tidur yang tepat berada disisi kanannya.

"Nggak," jawab Dylan. "Kamu nggak bisa tidur ya?"

"Ah, bisa kok," Kirana kembali merebahkan tubuhnya. "Kamu sendiri?"

"Aku nggak bisa tidur,"

"Kenapa?" karena aku... karena aku... bilang karena aku! Pikirnya dalam hati.

"Mikirin wanita yang bareng sama kamu sore tadi, tetanggamu itu."

"Oh," jawab Kirana lesu.

"Kamu pikir aku nggak bisa tidur karena kamu ya?" tanya Dylan sambil tertawa kecil.

"Ih, enggak tuh! Sudah ya, aku mau tidur. Besok aku mau mampir ke tempat tante Elisa ngembaliin obat demam."

"Besok aku ikut ya, lagipula aku masih ada hutang tanda tangan untuknya sekalian mau ngucapin terima kasih."

"Ya terserahlah!"

"Tapi kamu juga salah satu penyebab aku nggak bisa tidur," kata Dylan yang membuat jantung Kirana berdebar-debar.

Kirana mengusap wajah dan meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena tidur di atas matras tipis. Matanya masih terasa berat dan terpaksa bangun karena panggilan dari manajer Koh di ponselnya yang terus mengganggunya.

"Pagi!" sapa Dylan.

"Y, Ya pagi," jawab Kirana malu yang baru saja keluar dari sarang tidurnya sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Dirinya juga malu karena sarapan omelet sudah tersedia di meja makan, ternyata Dylan itu laki-laki yang diluar dugaan. "Aku mandi dulu," kata Kirana sambil berlalu. Ia bisa melihat melalui ekor matanya kalau laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum.

"Manajer telepon mau kemari," jelas Kirana membuka pembicaraan saat menghampiri sarapannya yang mulai dingin. Kali ini penampilan Kirana jauh lebih rapi dari biasanya, selain menyapukan eyeliner pada matanya ia juga mengenakan sedikit blush on pada pipinya supaya terlihat lebih segar. "Aku yakin manajer Koh pasti mau bicara ke aku soal kemarin,"

"Yah nggak apa-apa, dengan begitu kamu bisa kembali kedunia tata rias dan mengejar impianmu kan?" Dylan mengangkat omelet dari teflon dan meletakkannya di atas piring. Wangi keju langsung menyeruak ke seluruh ruangan. Dylan menukar piring yang ada dihadapan Kirana dan langsung melahapnya. "Aku nggak suka makanan panas,"

Mereka duduk berhadapan menikmati sarapan dan sesekali saling melemparkan pandangan malu-malu. Kirana juga bisa melihat laki-laki itu sedikit salah tingkah dihadapannya. Bukan kali ini saja laki-laki itu menunjukkan sifat aslinya pada dirinya, tapi kali ini jauh berbeda. Kirana suka cara Dylan malu-malu. "Biar aku yang bereskan," Kirana mengambil piring kotor sisa mereka sarapan yang hendak dibereskan oleh Dylan.

"Ini obatnya," Kirana menyerahkan segelas air putih dan obat yang perlu Dylan minum sesuai petunjuk dokter Bayu. Dylan langsung meminumnya tanpa banyak bicara, sepertinya laki-laki itu tahu kalau Kirana sengaja terus melihatnya untuk memastikan bahwa obat itu diminum.

Suara ketukan pintu membuyarkan keheningan mereka. "Aku rasa itu manajer Koh,"

Dylan mengangkat kedua tangannya ke udara sambil menguap. "Siapkan diri untuk menerima wejangan!" canda Dylan.

Dengan perasaan bersalah gadis itu membuka pintu apartemennya, ia melihat manajer Koh dan Alva berdiri tepat dihadapannya. Tanpa dipersilahkan, manajer Koh sudah masuk mendahului Kirana yang masih berdiri di pintu dan matanya memperhatikan Alva yang mengikuti langkah manajer Koh dari belakang. Alva menoleh pada Kirana dan melemparkan senyum padanya yang dibalas dengan rasa enggan.

Manajer Koh duduk sambil menghela nafas dengan kencang dan terdengar berat. Matanya menatap Dylan yang baru muncul dan melempar pandangannya pada Kirana yang berdiri di hadapannya dan kembali fokus pada hal yang ingin dibicarakannya. Alva yang duduk bersebelahan dengan manajer Koh terlihat lebih diam dari biasanya.

"Kalian sudah nonton tivi? Semua infotaiment heboh dengan berita kalian berdua. Padahal semua itu cuma gosip, tapi mereka mendramatisir luar biasa," manajer Koh melirik Alva. "Single baru Alva juga ditunda sementara karena hal itu."

Manajer Koh menatap Kirana, "Satu lagi, beberapa teman-mu dari tempat kerjamu yang dulu mencoba mencari kesempatan untuk tenar di televisi." Kirana menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia tidak menyangka teman-teman kerjanya berani berbuat hal seperti itu? sebagian dari mereka mengaku sebagai sahabat baiknya dan berusaha membelanya, ada juga yang menjelek-jelekkannya. Semuanya sama saja mencari celah untuk diri sendiri, batinnya.

"Soal gosip itu benar," ujar Dylan dan cukup membuat kening manajer Koh berkerut. "Iya semua itu bukan gosip."

"Jadi?" manajer Koh melemparkan pandangan ke arah Dylan dan Kirana secara bergantian. Mencoba meminta penjelasan yang lebih spesifik, tapi mereka berdua hanya diam menatap manajer Koh dengan wajah serius. Diluar dugaan manajer Koh malah tertawa hambar, lalu mengusap wajahnya dengan cepat dan kembali menatap mereka berdua dengan tatapan heran.

"Maaf manajer," ucap Kirana lirih dan dirinya juga tidak berani melihat Alva yang ia yakini pasti terkejut dengan jawaban Dylan yang sangat diluar dugaan.

"Sudahlah saya nggak mau dengar alasan yang panjang dan berbelit-belit. Kamu tahu konsekuensinya kan? Besok baru kita bicarakan di kantorku. Dan aku minta tolong sama kamu Kirana, untuk saat ini biarkan Dylan tinggal disini dulu selama beberapa hari, biar semua media bosan dulu dengan berita kalian."

"Iya bagus juga sih, soalnya nggak ada satupun media yang tahu soal tempat tinggal Kirana," timpal Alva dengan raut wajah datar tapi tetap terlihat kalem.

"Kalau begitu aku mau bicara empat mata dengan manajer Koh," kata Dylan.

Manajer Koh menatap Alva dan Kirana bergantian, lalu menganggukkan kepalanya sebagai kode agar mereka berdua pergi.

Manajer Koh meremas tengkuk lehernya dan kembali mengatupkan kedua tangannya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan berusaha terlihat lebih santai dan berusaha mendengarkan baik-baik apa yang ingin dibicarakan oleh Dylan.

Manajer Koh menatap Dylan dengan tatapan penuh curiga. Jarang sekali Dylan mengajaknya membicarakan hal serius, terakhir kali Dylan berbicara serius dengannya terjadi beberapa hari lalu dan membuatnya marah. "Ada apa?"

"Soal waktu itu,"

"Oh, oke. Kamu sudah siap? Mau mulai kapan?"

"Minggu depan. Tempatnya aku sudah tentukan."

"Manajer Koh menganggukkan kepalanya mengerti tanpa mengalihkan pandangannya dari Dylan. "Dimana?"

"London," jawab Dylan sambil melipat kedua tangannya di dada dan melihat reaksi manajer Koh yang berlebihan.

"Kamu gila, itu butuh biaya besar. Nggak ada persiapan sama sekali kalau harus di sana. Nggak bisa!" seru manajer Koh.

"Tapi manajer sudah membicarakan sama pihak-pihak terkait kan? Soal kru dan yang lain-lainnya?"

"Sudah, masalahnya−"

"—Masalahnya sudah beres semua, aku sudah minta bantuan Pevita soal di London. Semua biaya aku keluarkan secara pribadi. Aku juga sudah membeli tiket untuk minggu depan."

"Gila! Gila! Terserahlah," manajer Koh menyandarkan tubuhnya sambil meringis tidak percaya.

"Maafkan aku sudah merepotkan,"

Manajer Koh melirik Dylan, "Sebenarnya ada apa sih Dylan? kamu bisa cerita semuanya, saya siap mendengarkan kamu."

Dylan menatap manajer Koh dan rasanya semua energi di ruangan itu terserap dalam kesuraman dirinya.

___

Kirana menyeruput Slurpee-nya dalam diam, kecuali matanya yang sekali-sekali menyapu tempat nongkrong di Seven Eleven yang sepi karena masih terlalu pagi. Biasanya banyak remaja belajar kelompok sambil ngemil, kali ini hanya ada mereka berdua dan seorang pemuda yang asyik dengan laptopnya.

Mata Kirana kembali memandang gelas kertas miliknya−menarik sweater abu-abu miliknya, ia tidak berani menatap wajah Alva.

"Soal Dylan," ucap Alva membuka pembicaraan. Jemarinya mengelilingi bibir gelas kertas berisi kopi dengan pelan supaya tidak tumpah. Matanya menatap Kirana yang terus menunduk memandangi gelas yang ada dihadapannya. "Itu bukan drama?"

"Mm," Kirana menganggukkan kepalanya pelan. "Aku minta maaf, seharusnya aku menjelaskan dari awal."

"Kamu jangan minta maaf karena yang seharusnya yang minta maaf itu aku. Padahal aku sudah tahu semuanya, tapi aku terlalu takut mendengar jawabannya langsung." Alva meringis pelan sambil tertunduk malu, lalu kembali menatap Kirana. "Nggak keren ya,"

"Kamu tahu?"

"Tadinya kupikir kamu suka sama Dylan seperti kamu menyukaiku karena nge-fans," Alva mengangkat sebelah bahunya dan menyunggingkan senyuman tipis. "Ternyata nggak, dari caramu melihat dia, mendengarkan dia bicara, perhatianmu ke dia, semuanya berbeda. Aku hanya menghibur diriku sendiri dengan menganggapnya sama."

Kirana memperhatikan raut wajah Alva yang berusaha tetap tersenyum saat membicarakan dirinya.

Alva mengangkat tangannya ke udara dan membuat lingkaran di depan wajah Kirana. "Wajahmu selalu merona setiap kali bicara dengan dia,"

"Alva..."

"Cih, aku kesal nggak pernah menang melawan bocah keren itu."

"Alva juga keren kok, aku masih jadi penggemar setia Alva."

"Terima kasih, tapi apa sebaiknya aku jangan nyerah ya supaya jadi bintang yang disukai secara spesial." Alva menyeringai sambil mengaitkan jari-jarinya lalu memangku dagunya. Matanya terus menatap Kirana hingga membuat gadis itu langsung kikuk. "Aku cuma bercanda,"

"Kirana langsung tersenyum dan menghembuskan nafas lega yang tanpa sadar ia tahan dari tadi.

———

Dylan menyalakan televisi untuk menghabiskan waktu sambil menunggu Kirana kembali. Baru kali ini ia benar-benar menonton infotaiment yang memberitakan tentang dirinya. Ternyata jika berita buruk yang disebarkan tidak mengenakkan untuk dilihat dan didengar, terlebih berita itu bukan menjelekkan dirinya melainkan menjelekkan gadis itu. Jika Kirana melihat berita itu pasti gadis itu merasa tertekan.

"Hei," sapa Kirana yang baru saja kembali.

Dylan buru-buru mengambil remot yang tergeletak di meja dan mematikan televisi. "Alva?"

"Sudah pulang bareng manajer Koh tadi, mm... kok tivinya dimatiin sih?"

"Iya nggak ada acara yang bagus," jawab Dylan lalu berbaring di sofa pendek.

Kirana melihat Dylan berbaring membuatnya sedikit khawatir. "Kamu nggak apa-apa?"

"Ah, nggak apa-apa kok," jawab Dylan mengerti. Ia langsung mengambil posisi duduk, "Apa bisa aku cuma berada di belakang layar? Apa aku sudah siap?"

"Dibelakang atau didepan layar sama aja, semua karya kita asalkan dari hati tetap akan diterima dan pasti kita akan tetap bahagia." Jelas Kirana dengan tersenyum. Tangannya meraih tangan Dylan dan menggenggamnya dengan erat, memberi semangat. Terkadanng hanya dengan senyuman dan perhatian tulus cukup memberikan kata-kata tanpa harus bersuara.

Dylan tersenyum mendengar perkataan gadis itu. Dia baru tahu kalau kata-kata gadis itu begitu ajaib di telinganya.

Kirana dapat melihat ketenangan di kedua mata indah laki-laki itu dan membuat dirinya ikut lega. Tidak banyak hal yang bisa ia lakukan untuk membantunya meskipun ia ingin.

"Sebentar," Kirana meninggalkan Dylan dan beranjak dari tempat duduknya untuk menjawab panggilan ponselnya.

"Bulek?" Tanya Kirana yang bisa merasakan suara bibinya diujung telepon khawatir.

"Yu, kamu nda apa-apa kan? Bulek lihat berita ditivi,"

"Bulek tenang aja ya, aku nda apa-apa kok. Jangan khawatir," jawab Kirana berusaha menenangkan bibinya. Ia tidak ingin menjadi beban pikiran untuk bibinya, sudah cukup bibi merawat dirinya seperti anaknya sendiri. "Yanti tahu ndak bulek?"

"Iya ndak tahu, pokoknya kalau Ayu butuh sesuatu bilang karo Bulek yo?"

"Iya," Kirana menutup ponselnya dan menoleh ke arah Dylan yang kepergok memandanginya dari ruang tamu. "Bulek-ku,"

"Bulek?"

"Bibi-ku, dia adik mama." Kirana memasukkan ponselnya ke dalam tas slempang dan menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. "Ayo ke tempat tante Elisa!"