webnovel

Terus Diperlakukan Buruk

Kalea melirik Arthur yang bersiul senang saat menyetir mobil. Pria itu pun menyadari jika sedari tadi tengah diperhatikan.

"Ada apa? Kau mencuri pandang begitu padaku," tanya Arthur seraya tersenyum.

"Tidak, aku hanya penasaran kenapa di hari weekday seperti ini kau justru menjemputku. Kau terlihat seperti pengangguran, melakukan ini dan itu bersama wanita," ujar Kalea yang terlalu jujur. Arthur seperti mendapat banyak hujaman panah mendengar kalimat kejam gadis itu.

Arthur hanya tertawa menanggapinya. "Selama ada sekretarisku semua aman terkendali."

"Kau bos yang kejam sekali," komentar Kalea. Ia jadi mengingat lelaki yang pernah ia temui saat Arthur menolongnya dari John, manager gila itu. Sepertinya itu sekretaris Arthur.

"Enak saja, aku ini atasan yang sempurna. Lagipula selama ini aku tidak sering menemuimu karena sibuk bekerja bukan semata-mata bermain dengan wanita lain," sahut Arthur tidak terima dicap jelek.

"Tapi bermain dengan wanita lain juga termasuk, kan?"

"Y—ya ... sesekali."

Kalea menahan tawa, biarkan saja Arthur dengan mulut buayanya itu.

"Oh, iya. Hari ini aku ingin tinggal di rumah," ujar Kalea seraya memegang lengan Arthur agar mengantarnya ke rumah. Ia sudah beberapa hari ini tidak bertemu dengan ibunya sendiri. Setiap kali ia mengirim pesan, tidak ada satu pun yang dibalas oleh Freya.

"Padahal aku ingin menghabiskan malam denganmu hari ini," sahut Arthur dengan raut wajah sedih, ia juga mengerucutkan bibirnya. Kalea mencubit bibir itu dengan gemas.

"Ingat umur, Arthur. Tidak perlu bersikap seperti anak kecil yang diambil permen lolipopnya," balas Kalea.

"Biar saja, aku masih cocok."

Kalea memutar bola matanya malas. Arthur pun menuruti kemauan gadis itu, mengantar Kalea pulang ke rumah. Seperti biasa, Kalea tidak ingin siapa pun tahu tepat di mana rumahnya dan hanya mengizinkan Arthur mengantar sampai di depan gang. Setelah sampai, Kalea melepas seat beltnya.

"Terima kasih sudah mengantar dan menjemputku," ujar Kalea seraya tersenyum simpul.

Arthur menunjuk pipinya sendiri memberi kode jika ia ingin dicium. Kalea melihat ke sekeliling, di rasa kosong ia dengan cepat mencium pipi pria itu. Arthur terkekeh pelan dan membalas Kalea dengan ciuman di bibir. Ia menekan tengkuk Kalea agar semakin memperdalam ciuman itu. Tangannya mulai nakal mengarah pada dada Kalea dan meremasnya.

Gadis itu tersadar dan langsung menepis tangan tersebut. "Kita di tempat umum," ujar Kalea mengingatkan.

"Tidak ada siapa pun di sini," balas Arthur tidak acuh. Kalea hanya geleng-geleng kepala menghadapi kemesuman Arthur.

"Kalau begitu aku pulang dulu," pamit Kalea seraya membuka pintu tetapi lengannya ditahan.

"Sampai kapan?" tanya Arthur.

"Entahlah, aku tidak mungkin terlalu sering di luar. Ibu akan mencurigaiku," jawab Kalea. Meski ia sendiri tidak yakin Freya akan memperhatikan dirinya.

"Baiklah, beri tahu aku jika kau kembali ke penthouse."

Kalea mengangguk pelan, tidak biasanya Arthur bersikap seperti itu padanya.

"Cium lagi," pinta Arthur.

"Tidak!" tolak Kalea mentah-mentah dan langsung keluar dari mobil. Jika ia terus menunda, yang ada permintaan Arthur akan semakin banyak dan tidak masuk akal.

Kalea memandang rumah berwarna hitam dan putih itu. Ia harus mempersiapkan mentalnya jika sudah bertemu dengan Freya. Tak bisa dipungkiri, meski sang ibu tidak membalas pesan dan memberi kabar, Kalea tetap merindukannya. Ia khawatir apa yang dilakukan Freya yang hanya sendirian di rumah. Kalea mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia membuka pintu yang sudah cukup tua itu dan menghasilkan suara geretan.

Sunyi. Sepertinya Freya berada di ruang televisi. Kalea menutup pintu lalu berjalan mencari sang ibu. Ia tersenyum lega ketika melihat sosok Freya yang tengah asik menonton televisi seraya memakan cemilan. Hatinya sedikit sedih karena botol-botol alkohol masih banyak berserakan di sekeliling wanita itu.

"Ibu, aku pulang," ujar Kalea. Meski kemungkinannya kecil, ia berharap Freya menoleh padanya dan menyambut kedatangan Kalea. Namun, sampai ia menunggu lama pun, Freya tidak menggubris perkataan anaknya. Kalea tersenyum getir, ia memutuskan untuk kembali berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

'Tidak apa-apa, melihat kondisi ibu yang baik-baik saja sudah sangat cukup bagiku,' batin Kalea.

Setelah Kalea membersihkan tubuhnya, ia kembali turun ke lantai bawah untuk mempersiapkan makan malam. Ia memandang sedih dapur yang begitu berantakan dengan cup mie instan dan makanan instan lainnya. Sang ibu tidak pernah masak dan hanya memesan makanan dari luar. Kalea dengan sabar membersihkan dapur tersebut sebelum ia memulai memasak.

Satu jam ia telah selesai membuat makan malam, semua olahan yang begitu lezat telah siap di meja makan. Kalea berjalan menghampiri Freya lagi untuk mengajaknya makan bersama. "Ibu, ayo makan."

Freya tidak menyahut tetapi mulai berdiri dan menyusul anaknya ke meja makan. Suasana tetap sunyi, hanya ada suara dentingan alat makan yang beradu.

"Lea," panggil Freya yang langsung membuat Kalea menatapnya. Jarang sekali Freya memanggil anaknya dan itu tentu membuat Kalea senang.

"Ya, Bu? Ada apa?" tanya Kalea seraya tersenyum manis.

Wajah Freya tetap dingin, ia tetap melahap makanan buatan anaknya. "Aku minta uang."

Kata-kata Freya membuat senyum Kalea menjadi luntur. Gadis itu menunduk, ada rasa sakit ketika ternyata sang ibu hanya memikirkan uang dibanding bertanya bagaimana keadaannya saat di luar rumah. Kalea kembali tersenyum getir. "Berapa yang ibu inginkan?"

"Lima ribu dollar," jawab Freya sekenanya.

"Baiklah, setelah makan Kalea berikan," ujar Kalea kembali menyantap makanan. Entah kenapa rasa dari makanan itu menjadi hambar dan pikiran Kalea hanya terfokus pada sikap dingin sang ibu terhadapnya. "Tapi ibu harus makan dengan teratur. Jangan terlalu sering memesan junk food, ya?"

"Di tambah ... bisakah ibu sedikit mengurangi alkohol? Aku akan menghidupi ibu dengan sangat baik tapi tolong—"

"Ah, berisik sekali kau!" bentak Freya seraya melempar piringnya ke dinding belakang Kalea. Gadis itu tersentak kaget dan sangat gemetar karena piring itu hampir mengenai wajahnya. "Siapa yang menyuruhmu untuk mengatur hidupku, huh?! Kau sudah merasa hebat karena aku terus meminta uang padamu?! Jangan mimpi! Kau tetap aku terima di sini karena aku hanya membutuhkan uangmu!" lanjut wanita itu dengan suara tinggi yang memekakan telinga. Kalea hanya menunduk dalam, ia takut jika Freya menghampiri dan kembali menyiksanya.

"Ma—maaf, Ibu ...," cicit Kalea pelan.

"Kau benar-benar brengsek, tidak perlu mengatur dan menasihatiku! Aku tahu apa yang membuatku senang!" Freya bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Kalea sendirian dengan piring yang pecah dan berserakan di lantai. Pundaknya bergetar, air mata yang terus ia tahan kini mengalir deras. Kalea tetap menahan isak tangisnya, ia menutup mulut agar suara tersebut tidak keluar dan diketahui sang ibu.

Selama hidup, tepatnya setelah ditinggal suami sekaligus ayahnya, yang Freya pikirkan memang hanyalah uang. Kalea terus memenuhi kemauan Freya meski tidak pernah sekali pun wanita itu memuji atau menanyakan kondisinya. Entah sampai kapan Kalea bersabar, tetapi ia selalu berharap dan mendoakan Freya agar kembali menjadi ibu yang pernah menyayanginya dengan penuh kasih sayang.