webnovel

Luka Tak Berdarah

Malam ini Una menginap di rumah Dilla, sepupunya. Ibu Dilla, adik Emak. Sejak lama Dilla mengajak Una menginap di rumahnya. Mereka tidur berdua.

Una terlelap sebentar, lalu kaget terjaga seketika. Sebuah tangan hangat meraba dadanya dengan kasar. Menggosok pahanya, membuatnya terlentang dengan paksa, tubuh yang berat menindihnya.

"Sayangku Una yang cantik. Tenang yaaa..Om akan menyayangimu, Cantikku."

Una merasa tak nyaman, mengapa Om Dirga membuka bajunya, tangannya yang kasar terasa menusuk kulitnya yang halus. Melenguh mengeluarkan suara kasar yang menakutkan. Hilanglah sikap manisnya saat bermain di taman tadi sore.

Una semakin takut saat Om Dirga mulai menindihnya, tubuhnya terasa tak nyaman, bahkan pahanya terasa lecet. Una memang sangat lambat merasakan sakit.

Tak sengaja, reflek Una mengambil batu yang telah dipilihnya di taman. Batu yang tersimpan dengan rapi di bawah bantal, takut diambil Dilla. Batu-batuan yang menurutnya cantik, dia menghantamkan sekuat tenaganya ke pipi Om Dirga. Mungkin Om Dirga sedang kemasukan roh jahat. Soalnya kami tadi masih ada di luar rumah saat magrib.

"Una kalau magrib, pintu segera tutup. Masuk rumah, Ngaji!" terngiang nasihat Emak.

"Kenapa sih, Mak?"

"Biar setannya keluar, gak nempel."

Mungkin Om Dirga sedang kerasukan, dia gak sadar. Una segera membetulkan bajunya dan berdiri. Lupa tak memakai sandal, hanya batu itu yang terus dia genggam.

"Aww. Dasar anak setan!" Dirga berteriak dengan marah. Una menangis tak bersuara, dia harus segera pulang ke rumah.

Malam gelap pekat, terdengar suara Dilla memanggil lemah. Una tetap berlari kencang.

Gedoran pintu rumahnya terasa lemah, Una berharap segera pintu terbuka, ketakutan Om Dirga menyusulnya. Terdengar sandal diseret pelan.

"Emaak... ." Una ambruk terjatuh lemas di depan pintu.

Pagi yang cukup sibuk. Suara televisi menyembunyikan teriakan emak. Isak tangisnya tersendat.

"Tak mungkin Dirga tega melakukannya, Mak. Mungkin Una terlalu berkhayal seperti biasanya," samar-samar suara bapak terdengar merayu emak.

"Dirga mungkin hanya membela dirinya sendiri, Pak. Una pakaiannya compang-camping gitu. Dia sangat penurut. Gak mungkin memukul kalau tak disakiti duluan."

"Sudahlah Mak, jangan keras-keras. Malu!"

"Mengapa malu? Una tak bersalah, Pak!"

"Kita tak tahu apa yang terjadi, Mak."

"Bapak mau membiarkan saja hal ini berlalu begitu saja? ayo kita dengarkan cerita Una, Pak."

"Emak mau masa depan Una hancur? Ini desa Mak. Benar atau salah, Una, dia akan hancur. Tak ada laki-laki baik yang akan mau memperistrinya kelak. Una sangat cantik, pandai. Semua itu takkan ada gunanya. Mak mau itu terjadi pada Una?"

Emak diam, isakannya masih terdengar pelan. Bapak menghela nafas. Una membayangkan Bapaknya merokok tiada henti. Kebiasaan Bapak jika lagi galau berat.

Una mendengar semuanya. Hatinya kosong. Tak merasakan apapun. Dia hanya berpikir. "Apapun alasan dan akibatnya, seharusnya tak ada orang yang menyakiti gadis kecil seperti dirinya."

"Una kau sudah bangun, Nak?"

Wajah Emak menyembul dari kelambu yang tersingkap.

Apa gunanya alasan untuk hal yang dapat dilihat dengan begitu jelas? Dia tidak perlu lagi rayuan bahkan bujukan atas rasa sakit hati yang diterimanya. Una sudah tahu bahwa tidak ada yang percaya dan akan membelanya. Mengapa Emak dan Bapak tidak bertanya kepada Una?

"Nduk? Una? ayo makanlah walau sedikit!"

"Mengapa Bapak dan Emak tak melaporkan semuanya kepada polisi? lihat paha Una memar, Mak? bahkan dia menyumpahi Una. Anak Setann! Una tak merasa bersalah, Mak."

Emak hanya memeluk Una. Matanya sudah mengering. Bapak masuk ke dalam kamar Una yang sederhana. Daun pintunya hanya tertutup selembar kain tipis. Bapak memandang.

Pandangan yang Una ingat hingga kini. Ingatan samar-samar tentang hal itu begitu melekat. bahkan kini setelah 15 tahun berlalu. Una masih ingat dengan jelas. Bukan rasa sakit itu, juga bukan kebencian pada om Dirga yang merasa tak pernah terjadi apapun. Tetap main ke rumah Una, dan disambut dengan baik oleh emak atau bapak.

Una mencatat hal itu dalam hati, segera setelah kejadian itu. Una meminta untuk pergi tinggal bersama saudara emak yang ada di kota. Bersekolah di sana dan jarang pulang.

Ingatan dan trauma masa kecil itu berlangsung selamanya. Rasa percaya diri yang runtuh, kasih sayang yang ternoda dan ketakutan akan bertemu dengan laki-laki yang salah. Jika saat itu bapak melaporkan Dirga ke polisi. Una akan lebih menghargainya. Tak usah memperhatikan pembicaraan orang. Masalah jodoh pikirkan kemudian!

"Apa sih yang sedang kamu pikirkan hari ini, cemberut aja dari tadi?"

"Huh kamu membuatku kaget, Lina!"

"Lagian dari tadi apa aja yang kamu pikirkan? merenung terus! awas belum selesai loh pekerjaanmu ingat bos sangat kejam! hiii takuut!"

Una tersenyum menatap sahabatnya Belina yang begitu ceria dan sangat cerewet. Lina bertubuh montok dan cukup mungil. Sikapnya yang bersemangat dan penuh keceriaan membuat Una merasa seimbang. Mengusir rasa rasa sepi yang terkadang menghinggapi.

"Nanti jadi mau pergi ke restoran yang kau janjikan?" antusias Lina mengingatkan.

"Siapp, tenang, udah sana! aku mau kerja, kau mengganggu aja!"

"Asyik aku memang sudah menunggu-nunggu hal itu, emangnya kau punya rezeki apa sih hari ini?"

"Biasaa kale..."

"Dapat honor dari tulisan?" Lina penasaran terus bertanya.

"Yups."

"Terima kasih ya kau baikk, selalu mengingatku."

Una memberi isyarat pada Lina untuk segera meninggalkan mejanya. Pekerjaan telah menumpuk butuh perhatian.

Sebelum Lina sampai di mejanya. "Hei siapa itu coba lihat Una!"

Dari jauh Bu Susan sekretaris senior dari Pak Jacob, direktur utama perusahaan ini ini berjalan ke arah Una.

"Sst.... Gawat nih Bu Susan ke sini ada apa ya? jangan-jangan dia akan memberimu pekerjaan baru, sehingga kita tidak jadi deh pergi ke restoran hari ini."

"Kau ini selalu berprasangka yang tidak-tidak sebelum terjadi."

Una tetap tenang.

"Iya Bu Susan? Ada yang bisa saya bantu?"

"Kau disuruh datang ke ruangan Pak Jacob sekarang! ada yang beliau ingin beliau bahas denganmu mengenai proposal yang kau tulis kemarin."

"Baik Bu Susan. Saya akan kesana!"

"Oh iya bawa salinan laporan itu ya, sekalian beberapa catatan untuk merevisi proposal itu. Catatlah biar tak lupa."

Una beranjak dari kursinya menuju kantor Pak Jacob.

"Hei Una! Hati-hati!" desis Lina khawatir, sebagai artis figuran beberapa rumah produksi, Lina terkadang terlalu capek untuk kerja di pagi hari.

Sebenarnya Jacob sangat baik, tegas dan sangat disiplin. Una merasa cocok dengan cara kerjanya. Sebaliknya Lina sangat takut pada Jacob. Yah, biasalah. Lina terkadang teledor kebanyakan mengkhayal jadi artis dan suka melupakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Bagi bu Susan ini sangat fatal.

Una mengetuk perlahan pintu besar dan berat di hadapannya. Meminta dengan sopan untuk diizinkan masuk.

"Masuk!"

"Selamat pagi, Pak Jacob."

"Pagi Una, kita bertemu kembali. Pagi ini aku ada pekerjaan instimewa untukmu."

"Ayah mengapa kau suruh orang lain? aku saja sudah cukup. Bahan tulisanku untuk materi buku ini cukup banyak. Risetku lengkap, nanti malah orang baru akan merusaknya."

Una baru sadar ada orang lain di ruangan itu. Seorang laki-laki tampan sekali, tapi sayang duduk di atas kursi roda. Wajahnya terlihat suram memandang Una dengan penuh kebencian.

"Apa ada yang aneh dengan kakiku?" Laki-laki itu membentak Una

yang segera tersadar dari lamunannya.

"Maafkan Saya tak bermaksud menghina Anda," Una meminta maaf. Merasa malu dengan kelakuannya sendiri yang tak sopan. Tentu saja laki-laki itu tersinggung.

"Tenang Una. Jangan takut pada Abian! Dia memang seperti singa, mengaum pada siapapun. Dia tak marah padamu kok. Hanya kesal pada dirinya sendiri karena harus membutuhkan orang lain. Hal yang sangat dibencinya hingga kini."

Abian menatap Una dengan kebencian yang terlalu kentara. Una merasa serba salah.