webnovel

Prolog

Perempuan itu bergumam dengan matanya yang sesekali terpejam, tubuhnya terhuyung di setiap langkahnya. Mata biru itu tidak bisa fokus pada apa yang ada di depannya, dia hanya bisa melihat koridor panjang yang sepi. Dia mengumpat, menyandarkan tubuhnya di dinding mencoba mengembalikan kewarasannya. Efek ganja dan alkohol yang begitu kuat merasuk ke dalam tubuhnya, membuat otaknya melayang pada khayalan yang dia impikan.

Kepalanya mengadah, merasakan khayalan yang dia impikan selama ini terwujud. Seseorang menggenggam tangannya, mengajaknya berjalan di atas karpet merah. Bibir tipis itu tersenyum dengan mata yang semakin rapat terpejam, dia melangkah beriringan bersama pria impiannya. Di ujung jalan sana, dia dapat melihat mobil balap hasil modifikasi yang akan menjadi pengantar bulan madu.

Dan ketika tangannya terangkat, hendak menggapai pintu mobil berwarna emas itu, dia merasakan dunia dilanda gempa yang sangat kuat. Perempuan yang sering diserupakan dengan boneka barbie itu berteriak saat otaknya memutar kejadian dirinya berpisah dari pria impiannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mobil impiannya terperosok ke dalam tanah yang retak. Teriakannya semakin kencang.

"Nona?"

"Fuck!" Dia membuka matanya dan menatap seorang perempuan yang mengguncangkan tubuhnya, matanya menyipit seakan ingin memakannya. Dirinya hampir saja masuk ke dalam mobil balap itu, menuju bulan madu.

"Apa anda butuh bantuan menuju kamar?"

Jemari tangannya yang lentik itu mendorong, menolak pertolongan dengan sangat kasar. "Pergi kau! Pelayan di sini memang payah, hotel bodoh," racaunya sambil kembali melangkah berpegangan pada dinding lorong.

Samantha nama perempuan itu, parasnya yang rupawan membuatnya sering dijuluki sebagai boneka barbie. Bukan hanya itu, perempuan yang kerap disapa Sam itu memiliki julukan lain yang menjelaskan sifatnya, seperti moonflower, naughty barbie, batgirl dan kinky parfume. Perempuan yang berteman dengan malam hari itu kini takluk oleh minuman dan makanan yang sebenarnya sering dia jumpai.

Dia mengeluarkan kartu dari celananya, menatap nomor kamar yang tertera di depannya sebelum memasukannya secara paksa. Dan emosinya semakin meningkat ketika pintu itu tidak terbuka, Samantha yang murka berteriak di koridor sepi itu sambil melemparkan kartu itu asal. Dia mengusap wajahnya kasar sebelum kembali menatap nomor kamar yang ada di depannya. "Oh, fuck," umpatnya lagi dengan pelan.

Saat matanya semakin melihat dengan jelas, angka yang ada di depan pintu itu membuatnya menelan ludah kasar. Itu bukan nomor kamarnya, pantas saja kartunya tidak cocok. Samantha mengalihkan pandangan, mencari kembali kartu yang dia lemparkan. Akibat matanya yang buram dengan kepalanya yang terasa pusing, Samantha tidak dapat melihat kartu itu berada di samping lift, tepat di dekat pot pohon bonsai.

Dirinya sudah pasrah, Samantha duduk di depan pintu kamar itu dan menyandarkan punggungnya tepat di pintu. Tangannya merogoh tas, mengambil ponsel dan menatap jam yang menunjukan pukul 2 dini hari. Penglihatannya kembali memburam, ponsel itu tidak terlihat sama sekali ketika dia hendak mengirimkan pesan pada temannya. Samatha kembali memasuki dunia khayal, di mana dia kembali melangkah menuju mobil balap yang sangat menggairahkan.

Senyumannya mengembang, mobil itu semakin dekat dan sangat dekat. Dia mengerutkan keningnya, mobil itu berubah menjadi warna hitam, tapi tetap keren.

"Hei, minggir."

Samantha menggelengkan kepalanya dan menatap pria yang berdiri di depannya, tubuhnya yang tinggi dan besar menjulang membuatnya tampak seperti raksasa dari tempat Samantha duduk. Dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, Samantha berdiri dengan punggung masih menyandar di pintu. "Siapa kau?" kerutan di keningnya semakin dalam.

"Menyingkirlah, itu kamarku," ucapnya kemudian sendawa satu detik setelahnya.

Samantha tertawa, dia bisa mencium aroma alkohol dari mulut pria itu. "Kau mabuk?"

"Kau menghisap ganja?"

Samantha merasa tertantang dengan pria yang ada di depannya itu, dia bukan pria biasa. Tangannya terangkat membuka jaket yang dia kenakan, Samantha mengibaskan rambutnya yang ada di bahu. "Siapa kau?" Dia mencoba membuka matanya, tapi tetap saja, yang Samantha lihat hanya pria dengan wajah buram.

"Menyingkirlah," ucapnya terdengar seperti penuh penderitaan. Samantha tersenyum kecut, pria ini terkendali oleh alkohol seperti dirinya.

Dia mengangguk sebelum menyingkir, mempersilahkannya membuka pintu kamar. Dan sebelum tertutup, Samantha dengan cepat masuk ke dalamnya, mendorong dada pria itu pelan ketika ruang di sekitarnya sempit.

"Apa yang kau lakukan?"

Samantha yang sudah muak dengan semua khayalan itu segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang begitu lampu menyala, dia dapat mendengar pria itu membuka jas dan gespernya sebelum memukul pantat Samantha dengan kemejanya. "Menyingkir."

Perempuan itu segera mendudukan tubuhnya dan menatap pria yang tinggi itu sambil menyipit. "Kartuku hilang. Aku butuh tidur."

"Begitu pula denganku."

"Tidur di sini," ucap Samantha menepuk bantal lain dan kembali tidur di sisi lain.

Tanpa bicara lagi, pria itu membaringkan tubuhnya, matanya yang kembali berkabut dan kepalanya yang terasa pusing kembali menyelimuti.

Ketika Samantha menggapai lampu di nakas untuk mematikannya, dia membalikan tubuh menghadap pria yang sudah memejamkan mata itu. Dia masih pusing, khayalan juga masih mengganggunya, tapi dia merasa tidak asing dengan pria yang tidur menghadapnya ini. Semua ilusi itu membuatnya tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan, Samantha dengan berani mengelus rahang kokoh milik pria itu sebelum memeluknya. Parfume yang dipakai pria bertelanjang dada itu membuat imajinasinya semakin liar, terbang ke langit hingga tidak ingat lagi mana daratan kenyataan.

"Shit!"

Samantha terkekeh lalu mengadahkan kepalanya menatap pria asing yang kembali terjaga itu. "Siapa kau?"

"Apa yang kau lakukan?"

Sentuhan tangan kokoh pada pinggangnya membuat Samantha semakin terbawa arus imajinasi. "Oh, Nigel, aku milikmu," ucapnya sambil menindih tubuh pria itu.

***

Bukan sinar matahari yang membuatnya terbangun menggapai kenyataan, tapi sesuatu yang sedang memegang dadanya. Itu terasa halus, tapi juga membuatnya geli. Perempuan berambut pirang pucat itu membuka matanya dan langsung menatap dadanya, dia mengangkat bahunya saat melihat tangan yang sedang memeluknya. Sedetik kemudian dia membulatkan matanya dan menyingkirkan tangan itu secara kasar, Samantha membalikan badannya sambil duduk. Dia meringis pelan saat merasakan sakit pada pangkal pahanya.

"Shit!" umpatnya menarik rambut pria yang tengah tertidur itu, matanya kembali terbelalak saat mengenali pria yang sama bertelanjang seperti dirinya.

Pria itu tetap memejamkan mata meskipun Samantha menghempaskan kepalanya ke atas bantal, dia mengeratkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang hampir terekspos. Dia memejamkan matanya rapat dan menyembunyikan kepalanya diantara lutut, berharap semua ini bukan kenyataan. Namun, mengingat lagi kejadian sebelumnya, ini memang kenyataan, semalam dia benar-benar melakukannya.

Semua ini berawal dari pertengkarannya bersama Tommy, ayahnya. Dia berniat menikah untuk yang ke-12 kalinya, dan yang paling parah perempuan yang akan dinikahi Tommy adalah teman Samantha saat di Paris Senior High School. Pria itu benar-benar gila, dia bergunta-ganti pasangan. Dan itu bukan kencan sesaat seperti pada umumnya, Tommy selalu menikahi wanita pilihannya lalu bercerai 3 atau 4 bulan kemudian. Dan selalu seperti itu, dia memainkan pernikahannya.

Itu sebabnya semalaman dirinya menghabiskan waktu di bar dengan Sandra, seorang bartender juga temannya. Dia memasukan narkotika ke dalam cup cake yang Samantha makan tanpa sepengetahuannya, kemudian setengah sadar mengajaknya untuk menghisap ganja. Dan semuanya berlebihan, membuatnya hilang kendali atas tubuhnya.

Suara erangan pria yang ada di sampingnya membuat Samantha menoleh, dia kesal hingga dengan sadisnya memukul-mukul wajah pria itu dengan bantal. Dan itu tidak berpengaruh sama sekali, pria itu tetap memejamkan matanya seakan tidak terjadi apa-apa.

"Bangun kau! Ayo kita selesaikan!"

Wajah Samantha merah menahan amarah, dia merutuki dirinya sendiri. Kenapa harus pria ini? Pria yang memberinya hukuman penjara selama 1 setengah tahun, itu terjadi dua tahun yang lalu. Dialah Francisco La Vaughn, hakim agung di Cour de Cassation dan Conseil d'État, Palais de Justice. Benar-benar membuat Samantha muak! Pria ini yang membuatnya mendekam di penjara selama itu. Bahkan Samantha masih ingat bagaimana pria itu menatapnya dingin ketika membacakan keputusan untuknya.

Sial! Sial! Ini lebih sial dari pernikahan ayahnya. Melihat wajah polosnya yang sedang tertidur membuat Samantha memiliki ide, dengan sengaja dia menyibakan selimut yang menutupi dirinya dan Francisco. Perempuan itu kembali membaringkan tubuhnya di samping Francisco sambil memeluk pinggang pria itu dengan erat setelah mengambil ponselnya dari dalam tas.

Samantha mencari posisi yang pas sebelum akhirnya memotret dirinya sendiri dan Francisco. Perempuan bermata biru itu tersenyum miring. "Kau harus merasakan hujatan dari media, Hakim Agung. Tuan sempurna dengan lambang keadilan akan diterpa berita miring jika tidak menurutiku."

---