Tiga bulan kemudian
Farzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.
“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.
“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.
Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)
“Trus siapa yang masak buat kamu? Kakak nggak bisa delivery makanan,” komentar Arini masih khawatir dengan adik iparnya.
“Duh Mami ini. Kayak Abang baru pergi jauh aja,” timpal Alyssa geleng-geleng kepala. Netra hitam kecilnya mengerling ke arah Farzan. “Ke Zürich aja Mami mau lepasin Abang. Ini ke Cikarang ‘kan deket, masih bisa disamperin kalau kangen.”
Farzan mengalihkan pandangan kepada Alyssa yang berdiri di dekat pintu sejak tadi.
“Tetap aja Mami kepikiran, Al.”
Pemuda itu melangkah ke dekat Arini, lantas berlutut di sampingnya. Dia meraih jemari kakak iparnya itu dengan menatap lembut.
“Kakak jangan pikirin aku. Udah biasa ini hidup mandiri.” Farzan memandang mata cokelat Arini satu per satu. “Aku udah gede, Kak. Don’t worry ya.”
Arini menarik napas berat dengan bibir melengkung ke bawah. “Makanya cepet cari calon pendamping, biar Kakak nggak khawatir lagi.”
“Dih Mami ujung-ujungnya bahas jodoh lagi. Kasihan ‘kan Abang jadi terbebani.” Lagi-lagi Al berkomentar.
Gadis itu melangkah ke dekat Farzan yang sudah berdiri lagi. Dia menepuk pelan pundak pamannya.
“Aku boleh dong main ke sana kalau lagi libur.” Alyssa nyengir kuda sambil menaik-naikkan kedua alis.
“Aman, Dek. Nanti kita jalan-jalan juga di sana.”
Alyssa tersenyum manis dengan mata berkedip cepat. “Tuh, Mi. Jangan larang aku ke Cikarang ya?”
“Asal perginya sama supir dan sampai di sana VC, harus ada Abang biar Mami percaya.” Arini menyipitkan mata ke arah Al.
Gadis itu memberengut dengan bibir berkerut.
“Makanya, udah dilarang ke klub malam masih bandel. Jadinya Mami nggak percaya lagi, ‘kan?” ujar Farzan mengusap puncak kepala keponakannya.
“Ih, Abang. Jadi ikut-ikutan deh. Itu ‘kan masa lalu, biarlah berlalu. Jangan diungkit lagi!” sungut Al setengah protes. “Bahasnya yang sekarang. Orang aku udah tobat kok.”
“Iya, tobat karena ada Fatih.” Terdengar suara setengah matang milik El mendekat.
“Apa-apaan lagi nih? Mau ngajak berantem?” cicit Alyssa kesal.
“Kenapa sih pada jahat sama aku? Sebel!” rajuknya kemudian pergi meninggalkan ketiga orang yang tertawa senang melihat ekspresi kekanak-kanakannya. Al berlalu sambil mengentakkan kaki ke lantai.
“Lagi bad mood, Dek?” seloroh El tak dihiraukan adiknya.
“Lagi dapet mungkin, El. Jadi sensitif.” Arini menengahi agar kedua anak-anaknya tidak bertengkar. Wanita itu menggamit tangan meminta El duduk di samping kanan. Dia menarik tangan Farzan agar duduk juga di sebelah kiri.
Suasana menjadi hening ketika Arini terdiam beberapa saat. Kedua mata indah itu terpejam ketika tarikan napas panjang terdengar dari hidungnya.
“Dengarkan Kakak dan Mami baik-baik,” tutur Arini meraih tangan El dan Farzan bersamaan.
“Kita memang nggak tahu kapan, tapi yang jelas kondisi Mami pasti akan menurun seiring berjalannya waktu.” Arini menoleh ke kanan, kemudian ke kiri. Sementara kedua pemuda itu menundukkan kepala, seakan tahu apa yang ingin disampaikannya.
“Al satu-satunya perempuan di rumah ini. Kalian yang akan menjaganya nanti.” Mata cokelat lebar Arini berkedip cepat, menghalau air mata yang ingin keluar.
Farzan menaikkan pandangan melihat mata Arini yang mulai basah. Dia tidak suka dengan keadaan ini. Terutama diingatkan lagi dengan penyakit kakak iparnya. Pemuda itu bahagia melihat Arini ceria, tanpa menunjukkan penyakit yang diderita.
“Mami dan Kakak minta tolong banget sama El dan Farzan. Tolong awasi Al baik-baik. Jangan sampai dia salah jalan lagi,” pinta Arini tercekat.
El mengangguk cepat, begitu juga dengan Farzan.
“Kamu, Dek.” Arini melirik Farzan yang duduk sisi kiri. “Kalau misal nanti perusahaan butuh banget kehadiran kamu, balik ya? El masih belum bisa handle perusahaan sendirian.”
Elfarehza manggut-manggut setuju dengan yang dikatakan sang Ibu. “Bener banget, Mi. Ini aja kepalaku udah pusing belajar manajemen perusahaan,” keluhnya.
“Maaf, Kak. Untuk hal ini aku nggak bisa janji,” ucap Farzan keberatan.
Arini menggeleng singkat. “Kali ini kamu harus janji sama Kakak.”
“Sekarang kamu bebas mau kerja di mana aja, tapi once perusahaan butuh kamu, please balik lagi,” tegas Arini menatap serius adik iparnya.
Farzan menarik napas berat, karena tidak bisa menyanggah permintaan Arini. Bayangan bagaimana senangnya Ayu nanti, melintas di pikiran. Dia tidak suka jika ibu kandungnya memanfaatkan kedudukan Farzan kelak.
***
Pandangan mata elang Farzan bergerak mengitari apartemen studio yang kini ditempati. Pada awalnya Arini sudah memilihkan apartemen dengan dua kamar, namun dia ingin apartemen tipe studio. Katanya agar tidak repot membersihkan nanti.
“Padahal dulu Mas tinggal di apartemen yang punya dua kamar loh, Dek,” ujar Arini pada saat itu, “tapi ada Bi Ijah sih yang bersih-bersih ke sana.”
Wanita paruh baya itu tersenyum mengenang saat pertemuan kembali dengan Brandon. “Tapi kadang apartemennya juga kotor sih.”
Ketika mendengar semua cerita tentang masa lalu mereka, Farzan hanya bisa menarik napas berat. Pemuda itu bisa melihat binar cinta yang tidak pernah padam untuk Brandon di mata Arini.
“Lumayan juga nih apartemen Abang,” komentar Alyssa setelah berjalan mengitari flat berukuran sedang itu. Gadis itu baru saja kembali dari area tempat tidur yang dibatasi tirai berwarna abu-abu.
Flat yang didominasi warna putih dan abu-abu tua itu tidak terlalu besar. Hanya ada sofa minimalis yang berada di tengah ruangan, berhadapan dengan televisi yang menggantung di dinding. Di sampingnya terdapat tempat tidur yang hanya dibatasi tirai. Tak jauh dari sana berada sebuah dapur minimalis.
“Aku nanti kalau udah kerja pengin tinggal di apartemen juga dong, Mi. Pengin mandiri juga kayak Abang,” imbuh El ikutan ingin mandiri.
“Emang Abang sanggup pisah sama Mami?” ledek Alyssa jail, mengingat El sangat dekat dengan Arini.
“Abang udah gede, Al. Jangan ngeledek lagi deh,” balas El dengan wajah mengerucut.
“Ini kok jadi berantem sih?” Arini melihat El dan Al bergantian. Dia kembali mengalihkan paras kepada Farzan yang tertawa melihat tingkah kedua ponakannya. “Kalau kamu kangen masakan Kakak, kabari ya?”
Pemuda itu mengangguk dengan seulas senyum di bibir. “Pasti, Kak. Aku bisa pulang juga kok.”
Mereka kemudian membantu Farzan meletakkan barang-barang yang tadi dibawa. Karena barang yang dibawa tidak banyak, Farzan tidak menggunakan jasa pindahan.
“Pulang sekarang, Mi?” tanya El setelah semua beres.
Arini melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.00. “Yuk, sebentar lagi Papi pulang dari kantor.”
Mereka berempat keluar dari flat, lalu turun ke lobi. Farzan mengantarkan Arini dan kedua ponakannya.
“Jaga diri baik-baik ya, Dek. Kabari kalau ada apa-apa,” kata Arini sebelum naik ke mobil.
“Iya, Kak. Kakak jangan khawatirkan aku. Jaga kesehatan juga. Jangan lupa minum obat,” tutur Farzan tersenyum kecut.
Arini membelai lembut pinggir wajah adik iparnya, sehingga membuat darah pemuda itu berdesir lagi. Sebuah kecupan singkat diberikan di keningnya.
“Kakak pulang dulu ya. Assalamualaikum,” pamit Arini diikuti dengan El dan Al.
“Waalaikum salam,” sahut Farzan melambaikan tangan.
Setelah mobil Honda tipe sedan keluaran terbaru itu menghilang di balik pagar gedung, Farzan memutar tubuh bersiap memasuki lobi lagi. Sorot mata elangnya berhenti ketika melihat seorang perempuan berjalan tidak stabil menuju pintu masuk gedung.
“Mbak Nadzifa?” gumamnya tidak yakin.
Ketika sosok itu mendekat, wajahnya semakin jelas. Keraguan yang sempat hinggap, kini berganti keyakinan.
“Farzan?” sapa Nadzifa dengan wajah mengernyit.
Farzan mengangguk cepat. “Mbak nggak apa-apa?” tanyanya melihat sesuatu yang aneh pada Nadzifa.
“Harusnya minta maaf, karena udah abaikan chat dan telepon gue,” sungut gadis itu tidak nyambung.
Tangan kanan Nadzifa naik ke atas meremas bagian perut yang terasa sakit. Tubuhnya condong ke depan ketika rasa sakit semakin menjadi.
Naluri kemanusiaan Farzan kembali terpanggil. Terlepas dari ketidak sukaannya terhadap Nadzifa, tetap saja ia mengulurkan tangan agar bisa membantunya.
“Mbak tinggal di mana? Biar saya antar,” tawar Farzan tidak tega.
Nadzifa mengerling ke atas gedung. “Flat nomor 510.”
Mata elang Farzan terbelalak mendengar perkataan Nadzifa. “510?”
Gadis itu mengangguk singkat dengan wajah mengernyit lagi. “Kenapa?”
“Saya tinggal di depannya, Mbak. Flat 505.”
Mata hitam lebar Nadzifa menyipit ketika tubuhnya kembali tegak. Senyum terurai di sudut bibir berisinya.
“Kayaknya kita jodoh deh, Farzan. Tuhan selalu pertemukan kita di saat yang nggak terduga.” Nadzifa tersenyum lebar. “Welcome to my world, My Neighbour.”
Tuhan Maha Baik. Dia permudah urusan gue dengan keluarga lo, batin Nadzifa senang di sela perut yang terasa sakit ketika tamu bulanan datang.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan review bintang 5 jika suka dengan novel ini yaa ^^