webnovel

His Deepest Secrets

Keith dan aku telah bersahabat sejak kecil. Hingga pada suatu hari ia menyatakan perasaannya padaku. Aku yang selama ini selalu diam-diam menyukainya pun merasa sangat beruntung karena Keith juga memiliki perasaan yang sama. Namun, ada sesuatu yang selalu terasa mengganjal di hatiku. Keith selalu menghindari kerumunan ramai. Ia juga sering menghilang tanpa jejak dan akan muncul kembali setelah beberapa hari. Terlebih lagi, Keith tidak ingin mengatakan apa pun tentang hal itu. Hal itu terus berlanjut hingga suatu malam ketika aku pulang dari kelas sore. Sekumpulan preman menggangguku saat sedang menunggu bis di halte. Mereka menggodaku dan berusaha mengajakku untuk ikut serta dengan mereka. Aku yang ketakutan berusaha untuk lari, namun mereka tetap mengejarku hingga ke jalan kecil di bawah konstruksi bangunan. Aku berusaha untuk meminta bantuan kepada siapa pun, namun di sana tidak ada satu pun orang yang dapat mendengarku. Saat aku sudah putus asa, muncullah seekor serigala besar berbulu perak entah dari mana. Serigala itu berhasil membuat preman-preman itu lari ketakutan, namun entah mengapa serigala itu terlihat sangat sedih. Dari matanya menitik setetes air mata ketika ia berbalik melihatku. Tapi entah mengapa aku sama sekali tidak takut. Manik matanya yang berwarna hijau kelabu mengingatkanku pada seseorang yang penting bagiku. Seseorang yang telah lama hilang. "Keith...?"

Nightmare_3Moon · Fantasia
Classificações insuficientes
4 Chs

Omen

Berkat teguran dari Mr. Jibs sebelumnya, aku sekarang harus menghabiskan setidaknya tiga lembar tugas lebih banyak daripada yang lainnya. Guru sejarah itu memang tidak memberikan detensi padaku meski sudah tertangkap basah masih di luar kelas setelah bel jam pelajaran berbunyi, tetapi ia malah menyuruhku untuk mengerjakan esai tambahan untuk materi baru kami.

Seolah tak dapat menjadi lebih buruk, Mr. Jibs bahkan memintaku untuk mempresentasikannya nanti di depan kelas karena bahan yang kukerjakan adalah materi baru yang sama sekali belum di bahas di kelas. Saat aku mengeluh meminta keringanan darinya, Mr. Jibs mengancam akan menambah pekerjaanku lagi untuk bahan pelajaran berikutnya. Tentu saja aku langsung menolak dan lebih memilih untuk diam dan mengerjakan tugas itu meskipun terpaksa. Untuk sekarang lebih baik aku bermain aman daripada nanti dipersulit lebih banyak oleh guru sejarah itu.

"Mengapa Anda meminta saya untuk mengerjakan esai ini, Mr. Jibs? Menurut saya, jika dibandingkan dengan tulisan Anda, penjelasan materi Anda tentu jauh lebih baik," tanyaku.

"Kau tahu dengan pasti hal itu tidak benar, Ms. Charles. Kau hanya ingin menyanjungku, bukan? Mendengar pujian dari seorang jenius sepertimu itu membuatnya terdengar seperti sindiran bagiku," jawab Mr. Jibs.

"Saya mengatakan hal yang sebenarnya, Sir. Sungguh!" kataku.

Mr. Jibs tertawa mendengar pujian dariku.

"Jika kau mengatakan hal itu agar hukumanmu diringankan, maaf saja Ms. Charles. Aku tak berencana untuk melakukannya. Bahkan jika terus berdebat seperti ini, aku mungkin akan memintamu untuk menggantikanku mengajar nanti. Tapi, kuhargai usahamu barusan. Untuk sekarang kau boleh mengerjakan sebagian saja dari latihan yang kuberikan. Fokuskan pada esai itu," kata Mr. Jibs.

Aku menghela napas pasrah. Itu adalah keputusan akhirnya. Jika aku tetap memaksakan keberuntunganku pada Mr. Jibs lebih jauh, bisa-bisa ia benar-benar membuatku menggantikannya mengajar nanti.

Setelah meminta maaf dan berterima kasih pada Mr. Jibs, aku segera kabur dari mejanya. Aku juga menolak tawaran terakhir yang ia katakan sebelumnya. Dapat kusadari bahwa ia bersungguh-sungguh akan membuatku mengajar di kelasnya hari ini. Untuk menghindari hal itu, aku segera kembali ke tempat dudukku dan segera memulai pekerjaanku.

"Leherku sakit," keluhku.

Aku baru saja selesai menulis ringkasan materi yang menjadi bahan esaiku. Untung saja aku berhasil menyelesaikannya dalam waktu kurang dari dua jam pelajaran. Terima kasih atas keringanan dari Mr. Jibs, akhirnya aku dapat menyelesaikan esai itu dengan cepat. Aku merosot di tempat dudukku.

Aku lalu melirik Keith yang sedari tadi diam bergeming di sampingku. Ia terlihat sedang tenggelam dalam lamunannya. Keith hanya menatap kosong lembaran esai yang baru separuh ia kerjakan. Aku menunduk untuk melihat wajahnya yang melamun. Ekspresi wajah Keith kosong seolah arwahnya sedang tidak berada di tubuhnya saat ini. Kulambaikan tanganku di depan wajahnya.

"Hey, Keith. Apa kau masih di sana?" tanyaku.

Tiba-tiba Keith menyambar tanganku yang melambai di depan wajahnya. Ia menyentakkan tanganku ke atas dengan keras hingga aku terjungkal ke depan karena terkejut. Aku terjatuh dengan suara keras. Semua orang di kelasku langsung menoleh ke arah kami.

Aku mengaduh dan tanpa sengaja mengumpat. Tanganku sakit. Aku saat ini sedang tersungkur di depan Keith dengan sebelah tanganku masih dalam cengkeramannya. Ia bahkan sepertinya tidak sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ekspresi wajah Keith yang masih kosong itu membuatnya terlihat seperti orang yang sedang terhipnotis.

Mr. Jibs lalu datang menghampiri kami. Keith tersentak dari lamunannya. Begitu ia tersadar akan apa yang sedang terjadi, ia menunduk ke arahku terkejut. Ia menyadari bahwa ia masih memegang tanganku dengan kuat. Keith lalu mengendurkan cengkeramannya, tidak sampai terlepas, dan membantuku berdiri.

"Apa yang sedang kalian lakukan Ms. Charles, Mr. Blackwood?" tanya Mr. Jibs dengan nada bicara agak kesal.

"Sepertinya hari ini kau sedang ada masalah denganku, Mr. Blackwood. Sejak tadi kau bahkan tidak memperhatikan apa pun yang kukatakan di kelasku," sambung Mr. Jibs.

Aku masih berlutut di posisiku. Kepalaku pening. Aku bahkan tak dapat merespons pertanyaan Mr. Jibs. Bagian belakang kepalaku berdenyut-denyut ngilu. Rasanya seperti ada palu yang sedang dihantamkan berkali-kali di sana.

"Maafkan aku, Mr. Jibs. Aku yang sa- Akh!" seruku.

Kalimatku terpotong oleh rasa nyeri mendadak yang menyerang kepalaku. Karena ketika aku berusaha bangkit dari posisiku, tanpa sengaja kepalaku terantuk bagian bawah meja. Tanganku menyentuh benjolan di belakang kepalaku. Ada darah segar yang mengalir deras dari benjolan itu. Tak hanya itu, dari hidungku juga mengucur darah segar berwarna merah dengan deras yang langsung menodai t-shirt dan celana jeans yang kukenakan.

"Ah..." kataku terpana.

Keith segera melepaskan tanganku dan menahan bahuku. Aku menatapnya bingung. Kedua tanganku sekarang sudah berlumuran darah. Selama ini aku tak pernah sekalipun mengalami mimisan karena aku bukanlah seseorang dengan fisik yang lemah.

"Hey! Apa kau baik-baik saja? Hey! Jawab aku!" seru Keith panik.

Ia menggoyang-goyangkan bahuku dengan panik. Bukannya membantu, hal itu malah membuat kepalaku semakin pening. Duniaku terasa berputar dengan cepat. Mataku berkunang-kunang. Hal berikutnya yang kulihat adalah kegelapan pekat.

-----

Hal pertama yang muncul dari indra penciumanku adalah bau antiseptik dan pembersih lantai yang memualkan. Aku pasti sedang di ruang kesehatan sekarang. Hampir sekejap setelah aku mengumpulkan kesadaranku, aku langsung mengingat hal terakhir yang terjadi sebelum aku jatuh pingsan.

Aku mencoba untuk menggerakkan kepalaku sedikit. Dapat kurasakan bahwa sekarang kepalaku sudah diperban. Lalu aku sayup-sayup mendengar suara orang-orang yang sepertinya sedang berdebat di dekatku. Aku mengenali suara Keith dalam perbincangan itu. Tak hanya suara Keith, aku juga menangkap suara ibuku di dalamnya. Kenapa ibu ada di sini? Batinku heran.

Tunggu, apakah itu ayah yang sedang menangis? Dan ada suara Paman Aran juga di sana. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Perlahan kubuka kedua mataku. Awali aku mengintip sedikit dari sela bilu mataku. Aku sudah menantikan dengan penuh antisipasi saat-saat dramatis seperti silaunya cahaya lampu ruang kesehatan ketika aku membuka mata. Tapi mengapa ruangan ini gelap sekali? Apakah lampunya rusak?

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha untuk menangkap pergerakan apa pun yang ada di sekitarku. Yang herannya tak ada. Bukankah ada orang di dekatku? Batinku bingung.

Siapa saja, tolong hidupkan lampunya! Apakah kalian belum menyadari kalau aku sudah bangun? Hey! Lihatlah kemari!

Nihil. Sepertinya mereka sudah lupa jika ada aku yang terbaring di ranjang di dekat mereka ini. Tapi tunggu, mengapa mereka berbicara di tempat gelap seperti ini? Apakah mereka sedang ada di luar? Sepertinya tidak. Aku sangat yakin mereka sedang berbicara di dekatku meskipun hanya terdengar sayup-sayup.

Seperti berbicara di kedalaman air.

Entah kenapa pemikiran itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku langsung panik. Kubuka mulutku dan berusaha untuk memanggil ibuku. Namun, tak ada suara yang keluar. Aku semakin panik. Apa yang terjadi pada diriku?

Kupaksakan diriku untuk berteriak. Namun tetap saja tidak ada suara yang keluar. Ada apa ini? Kenapa tidak ada suara yang keluar? Aku sudah sangat panik sekarang. Dapat kurasakan tetesan keringat dingin mengalir di leherku. Aku mulai menangis. Siapa saja, tolong bangunkan aku. Aku pasti sedang bermimpi, kan? Ibu, kumohon bangunkan aku dan katakan bahwa aku hanya sedang bermimpi buruk. Kumohon, siapa saja tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Aku mulai terisak menahan tangisanku yang tanpa suara.

Seolah Tuhan baru saja menjawab doaku, aku mendengar suara ibuku yang terkejut melihatku yang sedang menangis. Aku juga mendengar suara Paman Aran yang pergi terburu-buru untuk memanggil dokter.

Tunggu, dokter? Berarti, saat ini aku tidak sedang berbaring di ruang kesehatan di sekolah tetapi di rumah sakit? Tapi kenapa rumah sakit dapat segelap ini? Apa jangan-jangan aku sebenarnya sudah mati? Tetapi ibuku sekarang sedang menangis di sebelahku dan ayahku serta Paman Aran sedang pergi memanggil dokter. Apa benar ini mimpi, ya? Jika ini memang benar ini mimpi, maka kumohon pada siapa saja untuk segera membangunkanku dari mimpi buruk ini.

-----

"Alecia sayang, apa kau dapat mendengar ibu, Sayang? Ya Tuhan, terima kasih banyak. Akhirnya kau membuka matamu, Sayang," tangis Ibu penuh syukur.

Aku menoleh ke arah suara Ibuku. Ia berada tepat di sebelah kiriku. Aku sangat terkejut mendengar penuturannya itu. Ibu seolah mengatakan bahwa aku telah tidur dalam waktu yang lama, seolah kembalinya kesadaranku adalah sesuatu yang sudah sangat dinantikannya. Aku bergidik ngeri oleh pemikiran itu. Karena tak mungkin rasanya bagiku untuk pingsan selama itu hanya karena kepalaku terbentur meja kelas, kan? Itu terdengar sangat konyol bahkan untukku.

Meskipun aku tak dapat melihat wajah Ibu dengan jelas, aku tetap berusaha menunjukkan padanya apa yang sedang aku pikirkan melalui ekspresi wajahku. Pertama, aku ingin tahu sudah berapa lama aku berbaring tak sadarkan diri di rumah sakit ini.

"Ada apa, Sayang?" tanya Ibu. Ia terdengar tak mengerti.

Ah, sepertinya aku gagal.

Aku kemudian menutup mataku dan kembali berpikir bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan ibuku tanpa berbicara seperti ini. Aku kemudian mencoba menggerakkan kedua tangan dan kakiku. Semuanya terasa sangat berat dan lemah. Tapi setidaknya aku dapat menggerakkan anggota tubuhku walau sedikit. Ku angkat tangan kananku perlahan namun segera terjatuh.

Untung saja ada yang segera menangkap tanganku. Jika tidak, mungkin tanganku akan terlepas dari sikuku saking lemahnya. Bahkan untuk menggerakkan jemariku saja rasanya aku dapat mendengar sendi-sendi jemariku berderak. Seolah-olah tanganku sudah berada di posisi yang sama untuk waktu yang sangat lama.

Uwah... rasanya aku baru saja menghabiskan energi satu kali makan hanya dengan mengangkat sebelah tangan.

"Sepertinya Al ingin menanyakan sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, Bu," suara lembut yang sangat akrab bagiku itu muncul dari sisi kanan ranjangku.

Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Keith? Itukah kau? Kenapa suaramu terdengar parau? Apa kau baru saja menangis? Aku terkejut sekaligus terheran-heran karenanya. Belum pernah sekalipun aku mendengar suara Keith yang parau seperti itu sejak beberapa tahun yang lalu. Keith yang pendiam itu tidak pernah menangis lagi sejak kematian ibunya.

Tentu saja siapa pun akan menangis jika orang yang disayanginya pergi meninggalkan mereka. Tak terkecuali Keith yang pendiam ini. Meskipun ia selalu bersikap dingin dan terkadang sinis, Keith tetaplah seorang anak yang mencintai ibunya. Aku mengingat dengan jelas kenangan masa kecil kami itu.

Kami yang saat itu masih berusia tujuh tahun menangis tersedu-sedu sambil berpelukan di rumah duka, di depan peti mati tempat ibu Keith beristirahat dengan tenang. Masih terbayang jelas bagiku ketika Keith bersikeras untuk tinggal di pemakaman karena ia tak ingin meninggalkan ibunya sendirian dimakamkan di sana. Bagaimana ketika Paman Aran berusaha keras membujuk Keith untuk pulang di tengah derasnya hujan. Tanpa sadar air mataku menitik tanpa dapat kuhentikan.

Keith mengusap air mataku dengan lembut. Tangannya yang masih berada di wajahku mengusap pipiku dengan hati-hati.

"Kau baru sadar dari koma, Al. Kau sudah tidur seperti itu selama lebih dari dua bulan, enam puluh delapan hari, lebih tepatnya. Kau bahkan sudah beberapa kali menjalani operasi karena ada tumor di otakmu," jelas Keith.

Kedua mataku membelalak kaget. Aku tak mempercayai kedua telingaku yang baru saja mendengar hal itu. Koma? Enam puluh delapan hari tak sadarkan diri? Tumor otak? Operasi? Bahkan hal itu terlalu buruk untuk dijadikan lelucon.

Tidak.

Tentu saja itu bukan lelucon. Mengingat bagaimana kondisi tubuhku sekarang, aku seharusnya sudah menerima kenyataan itu sejak awal karena aku tahu sejak tadi aku hanya menghibur diri dengan pertanyaan- pertanyaan konyol tak berguna di kepalaku. Hanya saja, satu hal yang aku tahu dengan pasti.

Nasibku memang benar-benar buruk.

Al: (terdiam karena tak percaya telinganya sendiri)

Keith: Kau terlambat bangun, idiot. Nick dan Noelle baru saja pulang setelah menjengukmu. -kenapa kau tidak tidur lebih lama lagi, idiot? aku sudah sangat berharap ibumu menyuruhku untuk menciummu setelah kau berubah menjadi putri tidur-

Al: (-_-')

Nightmare_3Mooncreators' thoughts