Ghaisan mengusap wajahnya kasar. Ayah Syakila memintanya untuk melupakan wanita yang begitu ia cintai. Tentu saja itu tidak akan mudah baginya. Walau potensi untuk lupa dan mengalihkan cinta pada wanita lain begitu besar, tapi tetap saja itu butuh waktu dan perjuangan.
"Tidak bisa! Syakila adalah wanita yang melekat di hati saya!" ujar Ghaisan seraya bangkit dari duduknya.
"Tapi sekarang keadaannya sudah berubah, Ghaisan! Kamu sudah menikahi seorang gadis. Tidak boleh lagi mengingat Syakila dan berharap untuk tetap berhubungan dengannya. Syakila mungkin punya alasan mengapa ia dengan nekat pergi ke Eropa. Ayah harap kamu bisa mengerti, Ghaisan," imbuh Ayah Syakila yang tampak menekan setiap ucapannya.
Ghaisan terdiam dan tidak menanggapi ucapan Ayah Syakila. Lelaki tampan itu justru melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Entah apa yang akan ia lakukan.
"Ghaisan! Kamu mau ke mana? Sebaiknya cepat pulang! Orang tuamu akan menyalahkan Ayah jika tahu hal ini!" teriak Ayah Syakila yang sangat kesulitan meluluhkan hati Ghaisan.
Ghaisan tak peduli. Ia terus melangkahkan kakinya hingga ke lantai dua. Lantai di mana kamar Syakila berada.
"Ghaisan, kamu masih di sini," ucap Bunda Syakila.
"Ghaisan tidak akan pulang sebelum mendengar suara Syakila," ujar Ghaisan tanpa ragu.
"Itu tidak akan mudah. Syakila sudah melupakanmu. Dia tidak akan mau bicara denganmu," ucap Ressa seraya menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
"Omong kosong! Syakila tidak akan bisa melupakan saya, Bunda. Dia sangat mencintai saya. Seharusnya Bunda tahu apa yang sebenarnya terjadi pada putri Bunda!" tukas Ghaisan yang tak mau kalah.
Resta menghela napasnya dalam lalu membuangnya berat. Ia tahu jika putrinya sangat mencintai Ghaisan, pun dengan Ghaisan yang sangat mencintai putrinya. Namun, melihat keadaan yang sudah terjadi, tentu saja tidak akan membuatnya membiarkan Ghaisan terus menaruh harapan pada putrinya yaitu Syakila.
"Bunda paham. Tapi, tolong jangan membuat masalah, Ghaisan. Sudah cukup rasa malu dan bersalah ini padamu dan kedua orang tuamu. Belum hilang rasa malu ini gara-gara perbuatan Syakila padamu, Ghaisan. Coba kamu pikir, apa yang akan terjadi jika kedua orang tuamu tahu bahwa saat ini kamu ada di sini. Mereka pasti akan salah paham, Ghaisan. Bunda dan Ayah hanya tidak ingin semakin dibenci oleh kedua orang tuamu!" Resta benar-benar memohon pada Ghaisan agar Ghaisan dapat mengerti.
Ghaisan terdiam dan seperti sedang berpikir keras. Syakila pergi dari hidupnya memang bukan perintah Bunda dan Ayahnya. Wanita cantik itu pergi tanpa memberi tahu sebelumnya. Memang benar, keberadaannya di rumah Syakila saat ini pasti akan menambah masalah. Bagaimanapun, kedua orang tua Syakila tidak sepenuhnya bersalah atas hal ini. Sepertinya ia memang harus mengikis egonya.
"Baiklah, Bun. Tapi, sebelum pulang, tolong izinkan Ghaisan masuk ke dalam kamar Syakila. Bagaimanapun, Ghaisan sangat merindukannya. Setidaknya, Ghaisan bisa berbaring sejenak di atas tempat tidurnya. Karena, semestinya hari ini kami menikmati moment pengantin baru," pinta Ghaisan dengan ekspresi wajah yang begitu memelas.
Resta menatap iba pada lelaki muda yang harusnya kini sudah menjadi menantunya. Sejauh ini, ia mengenal Ghaisan begitu sangat baik. Tentu saja ia pun akan selalu berbuat baik pada lelaki yang harusnya menjadi suami putrinya.
"Silakan," ucap Resta mengizinkan Ghaisan masuk ke dalam kamar Syakila.
Tentu saja Resta mengerti bagaimana hancurnya Ghaisan saat ini. Ia tahu jika lelaki muda itu memiliki impian dan angan yang besar terhadap putrinya. Namun, ternyata Syakila dengan tega mematahkan impian dan angan yang telah tertanam.
Begitu mendapat izin, Ghaisan bergegas masuk ke dalam kamar Syakila. Aroma parfum khas wanita pujaannya begitu menyengat masuk ke dalam indera penciumannya. Seakan rintihan rindu menjalar ke setiap aliran syaraf dan urat nadinya. Sungguh, Ghaisan ingin menangis saat ini juga. Sosok Syakila begitu sangat ia inginkan.
"Syakila, aku sangat merindukanmu. Aku hanya ingin menikah dan menjalani rumah tangga denganmu," ucap Ghaisan dengan suara yang begitu berat.
Sebuah foto yang menempel di dinding berhasil membuat Ghaisan mendekatinya. Lelaki tampan itu menatap sendu dan penuh kerinduan. Ia sungguh tidak menyangka akan berpisah dan berjauhan dengan wanita yang ada di foto itu.
"Syakila, aku rasa kamu memilih jalan yang salah. Apa yang kamu cari di sana? Cinta yang besar untukmu ada di sini, di hatiku," ucap Ghaisan seraya menggerakkan tangannya mengusap lembut foto Syakila di hadapannya.
Puas menatap foto Syakila, Ghaisan pun beralih ke tempat tidur kekasihnya itu. Hatinya begitu sakit dan remuk redam saat membayangkan sosok Syakila ada di sampingnya. Memang harusnya saat ini ia bermanja-manja dengan wanita pujaannya. Namun, nyatanya Sang Maha Kuasa tidak mengizinkan itu terjadi.
Saat Ghaisan membaringkan tubuhnya di atas ranjang Syakila, tiba-tiba saja pendangannya menangkap sosok Syakila yang sedang duduk di tepi ranjang. Sontak saja hal itu membuat Ghaisan membulatkan kedua bola matanya penuh dan bergegas membangunkan tubuhnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika Syakila ada di hadapannya.
"Syakila," gumam Ghaisan seraya menatap binar pada Syakila yang kini tengah tersenyum padanya.
Ghaisan melangkahkan kakinya mendekati Syakila yang hanya diam sembari tersenyum manis. Entah apa yang terjadi saat ini. Yang jelas, Ghaisan benar-benar melihat sosok Syakila di kamar itu.
"Sayang, kamu ada di sini," ucap Ghaisan seraya mengarahkan tangannya hendak meraih wajah cantik Syakila.
Alih-alih dapat membelai lembut wajah kekasihnya, Ghaisan justru tak mendapati apa-apa. Dalam sekejap saja sosok Syakila tidak ada di hadapannya. Lelaki tampan itu mengusap wajahnya kasar lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Rupanya sosok Syakila hanya hadir sebagai bayangan saja. Hal itu membuat Ghaisan berdecak kesal dan terduduk lesu.
"Astaga, hanya bayangan kosong. Kukira kamu benar-benar ada di sini, Syakila," gumam Ghaisan seraya menatap foto kekasihnya yang menempel di dinding. Mungkin Ghaisan terlalu merindukan kekasihnya yang jauh di sana.
***
Malam telah tiba, sosok wanita cantik kini sedang duduk termenung di atas sofa. Sejak tadi ia tidak berani meniduri ranjang king size di kamar pengantin itu. Jarum jam terus berputar menyapa setiap angka. Kinayya nyaris bosan menunggu suaminya. Bukan berarti ia berharap suaminya datang untuk mencium dan melaksanakan kewajiban suami istri di malam ini, tapi ia hanya ingin segera merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Tentu saja ia perlu izin dari suaminya.
"Beginikah rasanya menjadi pengantin baru? Huft!" Kinayya membuang napasnya berat.
Sungguh sedih rasanya di malam pengantin ia hanya duduk sendiri di dalam kamar yang sunyi. Namun, ia sungguh tidak merasa heran karena sudah tahu jika dirinya bukanlah wanita yang diinginkan oleh Ghaisan. Walaupun Ghaisan sudah berucap janji di hadapan saksi, semua itu bukan berarti cinta telah berhasil Kinayya miliki.
BERSAMBUNG...