webnovel

Hikayat 1: Buah Jatuh Jauh dari Pohon

Masa sekarang ...

Angin pagi berhembus dingin, meniup pelan butir-butir embun di pucuk daun. Mencampakkan ke awang-awang dan kemudian melebur. Menghadirkan aroma kesejukan, menawarkan bulir-bulir kesegaran. Udara pagi masih bersih, belum kotor, belum tercemar. Debu dan kotoran pun masih enggan berkeliaran bebas dan beterbangan kesana kemari. Nampaknya, debu dan kotoran masih mengantuk, dan enggan untuk beranjak dari peraduan. "Terlalu sayang untuk lekas bangun!" mungkin begitu pikirnya.

Dari arah timur, arah terbit sang fajar, terciprat semburat rona merah menembus cakrawala. Matahari telah membuka mata dan terbangun dari tidur. Fajar telah datang, semesta suka cita menyambut dengan cara mereka masing-masing. Kelelawar bersiap untuk pulang ke tempat persembunyian setelah malam yang panjang mereka berkelana. Mereka hanya tinggal menunggu isyarat selanjutnya dari alam. Serangga-serangga malam mulai bersembunyi, menghilang dan menyatu dengan habitat. Ayam jago tidak lagi berkokok, suaranya sudah habis, atau tuan rumah sudah bangun.

Dari Surau, Mushala, Langgar dan Masjid-Masjid, bergema lantunan pujian kepada Tuhan, adzan Shubuh sebentar lagi berkumandang. Segelintir orang berjalan pelan, merangkak, tertatih menuju Masjid terdekat. Lebih banyak orang tua dan lansia daripada anak kecil maupun anak muda. Dalam hati dan pikiran, mereka sudah selesai dengan kehidupan, dan hanya tinggal menunggu waktu pertemuan dengan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang telah tercerahkan.

Dari sebuah gubuk reot, atau katakanlah rumah kecil namun kumuh, tidak jauh dari Mushala kecil. Seorang laki-laki, setengah abad lebih, sudah terbangun dari tidur dan tengah bersiap-siap. Sesekali laki-laki itu menyeruput segelas kopi hangat, salah satu kebiasaannya setiap pagi. Sebenarnya, kopi hangat itu tidak lebih adalah ampas kopi sisa semalam yang kembali diseduh ulang, "Terlalu sayang untuk dibuang!" katanya. Jadilah ampas kopi sisa semalam diseduh kembali dengan air panas, dan diberi sedikit tambahan gula sebagai pemanis rasa. Meskipun hasil seduhan sudah tidak sehitam kopi, bahkan lebih nampak seperti seduhan teh, "Setidaknya masih tercium aroma kopi!" begitu pikirnya. Laki-laki paruh baya itu tidak lain adalah Zainudin.

"Mus, bapak berangkat dulu!" berkata Zainudin kepada anaknya setelah menyeruput habis segelas kopi di meja kecil. Bersamaan dengan itu, adzan Shubuh berkumandang dari Mushala kecil tidak jauh dari rumah. Suara adzan itu memanggil dengan merdu siapa saja yang mendengarnya agar lekas menghampiri Mushala kecil.

"Nggak Shalat dulu to pak? Sudah adzan kan?" jawab sang anak yang tidak lain adalah Mustafa menimpali bapaknya, berharap sang bapak menunda sebentar keberangkatannya.

"Ah buang-buang waktu saja Mus! Bisa-bisa bapak telat! Nanti kalau keduluan orang lain bisa-bisa bapak nggak dapet apa-apa hari ini. Jangan lupa kamu cuci bersih gelas kopi bapak!" ucap Zainudin kemudian.

Zainudin pun berlalu dan bergegas pergi untuk memulai rutinitas pekerjaan hariannya memulung sampah dan barang bekas. Ya benar, Zainudin adalah seorang pemulung sampah dan barang bekas atau apapun yang dapat dijual dan menghasilkan uang. Ia biasa berangkat dari rumah menjelang Shubuh dan berkeliling menyusuri jalanan dengan gerobak sampah kesayangannya, keluar masuk gang perumahan penduduk, dan hinggap dari satu bak sampah ke bak sampah yang lain. Tidak jarang ia sering dicurigai sebagai pencuri oleh penghuni kompleks. Meskipun jika memang ada kesempatan yang memungkinkan, Zainudin tidak akan segan untuk mengambil barang milik orang lain tanpa izin. "Rezeki takkan lari kemana! Siapa suruh tidak kamu jaga dengan benar jika barang itu memang milikmu?" begitu pikir Zainudin setiap ia mengambil barang yang bukan haknya.

Begitulah Zainudin, setiap kali diingatkan untuk Shalat selalu saja ada alasannya untuk tidak Shalat. Padahal jarak Mushala dari rumahnya kurang dari 100 meter, namun serasa jauh, sangat jauh! Untuk seorang Zainudin. Bahkan sekedar Shalat di rumah pun Zainudin enggan. Di lain waktu, setiap kali diingatkan untuk Shalat, Zainudin akan berkata "Shalat nggak Shalat sama saja Mus! Tetap saja dari dulu aku melarat!".

Namun, disaat Zainudin sedang beruntung dan mendapatkan banyak rezeki hari itu, dari hasil memulung atau dari hasil mengambil barang orang lain yang bukan haknya, Zainudin akan berkata dengan entengnya "Tuh kan! Biarpun nggak Shalat, kalau memang sudah rezeki nggak akan lari!".

Di lain kesempatan, ketika suasana hati sedang tidak baik, atau sedang mendapat ketidak beruntungan dan kesulitan yang benar-benar menyusahkan serta membuat sempit pikiran, Zainudin akan menjawab dengan nada menghardik, kasar dan keras "Kamu ini anak kemarin sore Mus! Tidak perlu kamu ceramahi aku! Aku jauh lebih paham urusan agama daripada kamu!"

Memang benar apa yang disampaikan Zainudin. Dia memang orang yang cukup paham urusan agama. Di masa lalu Zainudin merupakan orang yang taat beragama. Bahkan cukup lama menjadi guru ngaji bagi anak-anak kecil di sekitar lingkungan tempat tinggalnya dulu. Jalan takdir dan peristiwa kelam di masa lalu telah mengubah seorang Zainudin menjadi Zainudin seperti yang sekarang.

Orang yang baru mengenalnya akan mengatakan bahwa Zainudin merupakan orang islam abangan. Beragama islam, tapi enggan untuk Shalat, dan Zainudin tidaklah sendiri, ada banyak Zainudin-Zainudin lain yang abangan di Indonesia. Fenomena yang banyak ditemui di negara ini.

Apakah boleh kita mengatakan bahwa Zainudin adalah orang kafir? Apakah boleh kita mengatakan bahwa Zainudin bakal masuk neraka? Apakah surga hanya milik mereka, orang-orang yang bukan seperti Zainudin? Apakah Zainudin tidak pantas masuk surga dan lebih pantas ditempatkan di neraka? Tidak adakah cinta untuk seorang Zainudin?

Lain Zainudin, lain pula Mustafa. Bila Zainudin enggan untuk Shalat dan beribadah, Mustafa justru sangat rajin beribadah, dan tidak pernah meninggalkan Shalat 5 waktu. Sepertinya pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, tidak berlaku untuk bapak dan anak yang satu ini.

Atau mungkin belum berlaku? Bukankah Zainudin juga dulunya adalah orang yang rajin beribadah? Bahkan sempat cukup lama menjadi guru ngaji? Bukankah Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia? Bukankah kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari? Bahkan kita tidak pernah tahu dengan pasti takdir kita 1 jam kemudian? Bukankah Manusia bisa jahat bisa baik? Hari ini menjadi orang baik, siapa yang bisa menjamin esok hari tetap menjadi orang baik? Begitu pula sebaliknya, hari ini bisa jadi ia adalah orang jahat, siapa tahu esok hari justru bertaubat dan berubah menjadi orang baik? Begitulah kehidupan dengan segala keindahan dan keruwetannya. Semoga saja Mustafa tetap istiqamah dalam ketaatannya beribadah dan beragama.

Selepas Zainudin pergi, Mustafa berganti pakaian, mengenakan sarung dan kupluk peci hitam kemudian bersiap pergi ke Mushala. Mustafa tidak ingin membuat kakek Aminudin Shalat Shubuh di Mushala sendirian. Ya benar, jamaah Mushala kecil di dekat rumah Mustafa hanyalah Mustafa dan kakek Aminudin, seorang kakek tua renta yang hidup sendirian dan sudah sering sakit-sakitan. Kemana tetangga yang lain?

Sebelas dua belas dengan Zainudin. Mereka datang hanya jika sedang ingin datang saja, atau ketika sedang menghadapi suatu permasalahan yang membuat mereka tidak ada pilihan lain selain kembali mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahkan tidak jarang pula mereka datang dan Shalat di Mushala ketika sedang bertengkar dengan istri mereka di rumah, jadilah Mushala mereka gunakan sebagai tempat pelarian dan persembunyian sementara mereka dari amarah dan amukan sang istri. Setidaknya masih lebih baik daripada tidak pernah datang sama sekali bukan?

Iqamat sedang berkumandang bersahutan dari tiap penjuru. Saatnya untuk melaksanakan Shalat Shubuh berjamaah. Mustafa bergegas berlari menuju Mushala. Belum sempat ia membereskan dan mencuci gelas sisa minum kopi bapaknya tadi, "Nanti saja setelah Shalat Shubuh baru aku cuci!" pikirnya.

***