webnovel

Tiga

Araya melipat tangannya, menatap seorang pria yang tertidur di atas kasur luasnya. Tadi Araya membawa pria yang tergeletak di gang tersebut ke rumah dengan bantuan sopir pribadinya, Araya tidak tega membiarkan seseorang mati di hadapannya; terlepas dari pemeran utama kedua.

Rasa kemanusiaannya tersentil jika membiarkan sebagaimana di novel.

Arum memasuki kamar, membawa kaos milik Regan.

"Yakin kamu yang ganti? Minta tolong ke Arga aja."

Araya menerima kaos berwarna hitam polos tersebut, "Emang dia di rumah?"

"Ck, anak satu itu..." decak Arum.

Segera Arum keluar, barulah Araya berjalan mendekat; berusaha membuka setiap kancing kemeja pria itu tanpa membangunkan. Namun Araya hendak membuka kancing terakhir, tangan pria itu segera menahan tangan Araya kasar membuat cewek itu jatuh ke atas tubuh Niko; pemeran utama kedua dan antagonis pria.

"Siapa lo?" Suara berat Niko terdengar tepat di telinga Araya, nafas hangatnya menerpa kulit lehernya, bulu halus Araya lantas meremang.

Tubuh Araya masih berada di atas Niko, jantungnya berdetak cepat, jika boleh jujur Rana maupun Araya baru pertama kali sedekat ini dengan lawan jenis. Aroma maskulin menguar lembut dari Niko.

Niko juga dapat menghirup aroma lembut dari tubuh Araya. Mereka sama-sama terdiam sampai Niko sadar bahwa dia berada di kamar asing, mata Niko melirik ke arah nakas dan menemukan figura foto gadis yang berada di atasnya.

Araya berdehem canggung, segera bangkir berdiri. Melemparkan kaos dari Arum kepada Niko, "Gue bukan mesum, cuman baju lo kotor makanya mau gue ganti." Jelas Araya, tidak mau dia di sangka mesum oleh pria ini.

"K--kalau gitu gue keluar."

Wajah Araya memerah melihat penampilan setengah telanjang Niko. Niko sendiri dapat melihat telinga merah cewek itu sebelum dia menghilang tertelan pintu.

Langkah Araya membawanya ke dapur, mengambil segelas air; meneguknya hingga habis sembari mengatur suhu wajahnya. Niko memiliki fitur wajah luar biasa membuat jantung Araya berdetak kencang jadi wajar saja dia seperti ini.

Bibir seksi dan mata sayu Niko masih terekam di memori Araya, lagi pipinya kembali memerah malu. Mengontrol ekspresi, Araya mengambil gelas baru dan mengisi dengan air hangat kemudian membawanya ke kamar miliknya.

Pintu kamar terbuka, menampilkan Niko terduduk diam sembari memperhatikannya. Araya menyodorkan gelas berisi air hangat kepada Niko, memberi isyarat pada pria itu untuk segera membasahi tenggorokan.

Niko melihat ke gelas lamat tanpa mau nerima. Kesal akan tatapan tidak percaya Niko, Araya meminum sedikit airnya lalu memberikan pada Niko dan kali ini barulah pria itu minum.

"Gatau diri." Gumam Araya kesal, udah di selamatin, tetep aja masih waspada.

Gelas tadi Niko letakkan ke nakas. "Kenapa lo bawa gue ke sini?"

"Hati gue ga tega liat ada yang mati depan mata gitu."

Jawaban Araya membuat Niko mendelik. Di balas pelototan oleh Araya.

"Kata Bunda nginep di sini aja. Kondisi badan lo belum oke."

Niko membenarkan ucapan Araya, saat ini seluruh tubuhnya sangat amat sakit akibat pukulan dari musuh dari segala sudut, Niko masih ingat jelas bagian mana saja yang kena pukul menggunakan benda tumpul. Araya bertepuk sekali, dia menunjuk kulkas berukuran sedang di dekat lemarinya. "Kalau lo laper, ambil aja makanan di sana. Buah, susu, snack, pokoknya lengkap."

"Lo ga takut?"

"Sama lo? Dengan keadaan kaya gini? Engga tuh, yaudah lah gue mau tidur."

Araya keluar dari kamarnya setelah mengambil selimut baru dari dalam lemari.

***

Sarapan kali ini hanya ada tiga orang, untuk Arum dan Regan mereka tidak berada di rumah karena tadi subuh berangkat pagi sekali ke luar kota. Arga menatap tajam pada Araya di sebabkan membawa orang asing ke rumah dan mengajaknya sarapan bersama.

Araya meletakkan segelas susu di samping piring Niko dan juga miliknya dia letakkan berdampingan, mengambil nasi goreng untuk Niko makan, sedangkan untuknya hanya mengambil dua lembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang.

"Punya gue mana Aya?"

"Kayanya lo tuli Arga, kita bukan keluarga buat lo bisa manggil gue Aya sesuka lo." Decak Araya kesal.

Niko mengerenyit, sembari mengunyah makanannya. Ternyata rumor tentang si kembar tentang Arga membenci Araya terbukti fakta, tapi anehnya Araya tidak menyukai Arga berbeda dengan rumor. Niko cukup kenal dengan Arga karena pria itu salah satu anggota Demetri rivalnya TheBlood.

"Cih, lagi pula kenapa lo bawa manusia busuk ini ke rumah?!"

Araya menelan rotinya, menatap Niko yang juga sudah selesai sarapan.

"Lo lebih busuk btw, dan rumah ini masih punya Papa. Lo maupun gue masih numpang, jadi ga ada hak buat ngasih larangan ke gue."

Niko tersenyum miring, Araya cukup menarik.

"Ayo pergi." Ajak Araya.

Niko memperhatikan Araya mengendarai mobilnya, sesudah memberi alamatnya; Araya langsung membawa kendaraan roda empat itu dalam kecepatan normal. "Gue Niko." Perkenal Niko.

"Oke Niko, salam kenal." Sahut Araya cuek.

"Nama lo?"

Araya berhenti tepat di depan gerbang hitam rumah besar milik Niko, "Malaikat pencabut nyawa Erlangga."

Niko tertawa, bukannya memberi tau nama aslinya malahan dia memberikan julukannya. "Cari tau sendiri, okei?"

***

Saat berjalan di koridor tiba-tiba tubuh Araya terhuyung ke belakang karena ada seseorang menabraknya, sebab reflek Araya lumayan bagus alhasil si penabrak yang terjatuh.

"ARAYA!"

Nah,

Padahal Araya tidak melakukan hal apapun.

Bersedekap dada, melihat Devano membantu Floren untuk berdiri. Araya mengeluarkan tisue basah dari tasnya dan menyapu pundaknya seakan jijik. Merasa tidak melakukan apapun, lantas Araya pergi dari sana; buat apa juga dia memperhatikan drama ampas seperti itu.

"Araya sehari aja jangan ganggu Floren!"

"D--devano..."

Devano menggengam jemari Floren, gadis rapuh tersebut meringis karena lututnya. Araya mengerenyit, "Minta maaf."

"Lo becanda?"

Devano menyorot dingin, Araya tersenyum miring. "Floren, lain kali kalau jalan gunai mata lo."

Setelah mengucapkan kata tersebut, Araya menabrakkan bahu ke Devano sembari menggelengkan kepala. Masih pagi, Araya terlalu malas mencari ribut dan membuang tenaga.

Floren tertegun, biasanya Araya akan segera menjambak rambutnya jika berpapasan di manapun berada, namun sekarang mengapa berbeda?

Sikap Araya terlalu tenang seperti bukan dirinya saja.