Hari ini adalah hari terakhir Alin mengikuti ujian, dia merasa sudah sangat siap untuk itu. Bahkan sejak tadi hanya dia yang terlihat tenang dan santai. Kebanyakan dari siswa yang lain, mereka malah terlihat tegang dan cemas. Bagaimana tidak, pelajaran terakhir yang akan diujikan adalah pelajaran Matematika.
Salah satu mata pelajaran yang kurang begitu bersahabat dengan siswa kebanyakan. Namun berbeda dari Alin, karena dia yang notabennya mantan siswi home schooling, dia harus bisa menguasai segala macam pelajaran termasuk Matematika.
Dan tidak dipungkiri pula, dia suka dengan matematika. Jadi kini dia sangat amat siap untuk mengerjakannya.
Lembaran ujian itu dibagikan ke semua siswa, termasuk Alin. Dan seperti yang sudah bisa ditebak, dia cukup familiar dengan soal-soal itu.
"Aduh, bersyukur banget kemarin giat ngulang materinya."
Gadis itu tersenyum tenang sembari membuka lembaran soal. Dan setelah yakin, Alin pun mulai mengerjakannya.
Suasana di dalam ruangan ujian pun terbilang cukup kondusif. Beberapa siswa yang tidak mengerti saling lirik dan bertukar jawaban, namun sama sekali tidak ada suara yang terdengar.
Guru yang bertugas mengawasi pun terlihat tak terganggu dengan itu.
***
Kini ujian sudah selesai, Alin yang merasa lega pun terlihat berjalan menyusuri koridor kelas. Beberapa siswa yang lain juga berjalan melewatinya.
Dia memang sendiri hari ini karena Anita tidak datang seperti biasa. Alin sudah selesai kontrak dengan sang guru, karena dia yang sebentar lagi akan lulus sekolah.
"Alin!"
Langkah gadis itu terhenti saat mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Alin berbalik dan menemukan seorang remaja putra, memakai seragam sepertinya sembari menahan senyum dan menatapnya canggung.
"I-iya, kenapa Nathan?"
Ya, Alin mengenali laki-laki itu. Dia adalah salah satu siswa di kelasnya.
Nathan kembali diam, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia terkesan ragu, namun juga tidak ingin beranjak begitu saja tanpa mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Hm, itu Lin. Aku mau ngomong sama kamu."
"Oke, ngomong aja."
Alin menatap wajah itu saksama, membuat Nathan makin salah tingkah karenanya. Namun dia yakin jika ini sudah saatnya dia bicara, tidak akan ada lagi kesempatan kedua.
Sosok itu menarik napas dalam, sebelum akhirnya membuka suara. "Aku boleh save kontak kamu?"
"Eh? Maksudnya?" Alin tentunya terkejut, dia mengerti benar apa maksudnya namun tidak berani untuk menyimpulkan terlalu cepat.
"Iya, aku mau kontak kamu Lin. Boleh?"
Alin yang selama ini belum pernah sama sekali menjalin hubungan dekat dengan seseorang dan terlebih dimintai kontak seperti halnya Nathan, tentu merasa bingung untuk meresponnya.
Alhasil, gadis itu hanya diam tanpa bersuara. Namun ternyata hal itu malah membuat Nathan ciut, dia merasa tertolak secara halus.
"Kamu enggak mau ya, Lin?"
"Eh? Enggak kok, aku mau. Eh? Maksudnya, iya boleh. Kamu boleh save kontak aku."
Perlahan senyum Nathan kembali mereka, "beneran?"
"Iya, bener."
"Ya udah, nih." Benda persegi itu diulurkan ke hadapannya dan langsung diterima oleh Alin.
Jemarinya mengetikan barisan nomor kontaknya, sesuai yang Nathan minta. Dan tak lama, benda itu dikembalikan ke yang punya.
"Itu kontak aku."
"Makasih ya, Lin. Aku save ya."
Alin mengangguk sembari tersenyum malu. Dia baru pertama kali mengalami hal ini dan entah mengapa dia malah malu sendiri. Padahal Alin belum tahu apa maunya Nathan.
Nathan mengalihkan pandangannya sejenak, lalu kembali menatap wajah Alin yang ada di depannya. "Mau kedepan bareng?" tanya Nathan tanpa ragu.
Alin dengan segera menatap wajah itu, dan seperti tak bisa diajak kerja sama, kepalanya mengangguk tanpa beban membuat Nathan makin yakin jika semua baik-baik saja. Pilihannya untuk mendekati Alin tidaklah salah.
"Ya udah, ayo."
Dengan ragu-ragu Alin mengikuti langkah Nathan, keduanya berjalan dengan canggung menyurusi koridor sekolah.
Alin yang setiap harinya ditemani Anita kini merasa ada yang berbeda karena sosok di sebelahnya bukanlah sang guru, melainkan Nathan. Remaja putra yang baru saja meminta kontaknya.
***
Hubungan Alin dan Nathan kini berlanjut, bahkan setelah beberapa hari keduanya masih saling berbalas pesan. Sampai akhirnya, ada sebuah notif pesan dari Nathan.
Alin yang memang menunggu pesan Nathan pun merasa bersemangat. Jemarinya meraih benda persegi yang tergeletak di atas nakas.
Gadis itu membuka pesan tanpa ragu, dan seketika dia tertegun setelah membaca isi pesan yang baru saja dikirim.
"Ini, aku enggak salah baca? Si Nathan ngajakin aku nonton? Siang ini juga?"
Alin bermonolog dalam kamarnya karena masih tidak percaya dengan apa yang dia baca. Namun di dalam hati, dia juga kegirangan karena itu.
Dia mencoba untuk tenang dan membalas pesan Nathan dengan hati-hati. Alin memang ingin merasakan hal-hal seperti itu, pergi menonton bersama seseorang dan menghabiskan waktu bersama. Itulah yang menjadi alasan untuknya menjawab iya, ajakan Nathan tersebut.
Jarum jam menunjukkan pukul satu siang, Alin dan Nathan sudah ada di sebuah bioskop yang ada di mall. Keduanya duduk sembari menunggu pemutaran film.
Nathan yang sejak tadi duduk di sebelah Alin, melirik ragu gadis itu.
"Kamu kenapa?" tanya Alin yang menyadari kelakuan Nathan tersebut.
Merasa sudah tertangkap basah, Nathan pun akhirnya membenarkan posisi duduknya agar bisa melihat jelas wajah gadis itu.
"Lin, aku mau ngomong sama kamu."
"Ngomong aja."
Mata Nathan menatap tepat manik hitam itu, dia berusaha keras mengumpulkan keberaniannya. "Alin, sebenarnya aku itu suka sama kamu. Selama beberapa hari ini kita deket, aku makin yakin sama perasaan aku. Dari awal aku emang udah tertarik sama kamu, kamu mau enggak jadi pacar aku?"
Detik itu juga Alin merasa ada desiran aneh dalam tubuhnya. Dia tidak bisa mendengar apapun kecuali suara Nathan yang menggema dalam kepalanya.
"Alin, kamu mau enggak?"
Alin yang belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun tidak bisa menolak gejolak itu. Dia juga menyukai perlakuan Nathan padanya, dan yang lebih utama, dia juga mulai menyukai Nathan.
"I-iya, aku mau," lirihnya, hampir tidak terdengar oleh Nathan. Namun mampu membuat wajah laki-laki itu berubah lega.
"Kamu serius kan Lin? Ini aku enggak salah denger kan? Kamu terima aku kan barusan?"
"Iya, Nathan. Aku terima."
Nathan tersenyum senang karena ternyata Alin pun membalas perasaannya. Dia merasa lega karena usahanya selama ini tidak sia-sia.
Alin pun sama senangnya, karena dia juga ingin merasakan apa yang namanya jatuh cinta. Selama ini hanya perawatan melawan penyakitnya lah yang dia tahu.
Selain kasih sayang sang ayah dan orang-orang terdekat, Alin ternyata juga membutuhkan seseorang yang bisa dia jadikan tempat untuk membagi semua hal.
Dan tanpa sadar, Nathan lah orangnya.