webnovel

KETAHUAN

Setelah mendengar perkataan yang temannya layangkan, Karin memutar bola mata. "Tidak. Bahkan, kami berdua merupakan anak tunggal," balasnya memberitahu.

"Oh. Mungkin dia hanya sekadar mirip saja dengan mantanku,"

Guina tak merespon jawaban Karin. Wanita itu bergeming dalam hati. Sesekali masih menilik Ronald dari ekor mata. Memandangnya membuat dada Guina berdebar-debar.

Waktu telah berganti. Antara Setyo ataupun Guina, sama-sama memiliki urusan tersendiri. Karenya, mereka memutuskan pulang setelah puas mengobrol dengan keluarga Ronald.

"Ibu Karin kalau mau izin dulu selama beberapa hari juga tidak apa-apa kok,"

Setyo harus selalu berpura-pura formal pada Karin saat di depan orang lain. Ia mengulum senyum miring. Bisa saja Setyo membocorkan rahasia dirinya bersama Karin kepada Ronald. Namun, Setyo tak akan melakukan hal itu karena tidak ingin Ronald menjauhkan Karin dari dirinya. Mana sanggup Setyo berpisah untuk yang kedua kali.

"Ehm. Iya, Pak," balas Karin dengan senyum terpaksa.

Karin juga harus mengelabui keadaan. Apapun yang terjadi, jangan sampai suaminya tahu kalau Setyo pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup Karin beberapa tahun lalu.

Setyo dan Guina melangkah pergi setelah mengucapkan salam perpisahan kepada Aru. Bocah itu tersenyum tipis. Sejak tadi ia tak banyak berbicara. Rasa mual menguasai seisi perutnya, membuat Aru tidak berselera melakukan apapun.

"Terimakasih banyak, ya," Ronald kembali bersalaman dengan Setyo dan Guina.

"Semoga saja akan ada pertemuan lagi setelah ini." Perempuan yang dijabat tangannya, sontak berbunga-bunga. Tanpa sadar, ia sudah tertarik dengan suami sahabatnya sendiri.

***

"Terimakasih atas waktunya. Saya padakan rapat jurusan sampai di sini,"

Krit…

Setyo memundurkan bangkunya setelah menutup meeting seluruh staff jurusan ilmu komunikasi tersebut. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Menjadi kepala tertinggi di sebuah wadah bukanlah sesuatu yang mudah. Setyo kerap memeras otak guna menemukan jalan terbaik untuk membangun elektabilitas jurusan yang ia pegang saat ini.

Seluruh staff sudah beranjak dari ruang rapat dan kembali ke meja mereka masing-masing. Hanya menyisakan Setyo dan Guina di sana. Perempuan itu sibuk mengemas berkas-berkas dan memasukkannya ke dalam map.

"Kapan acara Communication Science Fair diadakan, Pak?" ucap Guina memecah keheningan. Sekaligus mencari informasi terbaru dari jurusannya.

Setyo merebahkan dirinya di punggung kursi. Kedua tangannya memijit pelipis. Pria itu sudah terbiasa memandang wajah Karin kala pagi. Terasa sunyi saat istri sahabatnya itu tidak nangkring di kampus.

"Seminggu lagi," jawab Setyo irit bicara.

Guina menghela napas berat. Tak lama lagi ia dan rekan-rekannya akan disibukkan dengan pekerjaan baru. Sejenak Guina ikut bersandar di punggung kursi. Sudah selayaknya ia melakukan self healing agar tidak kehilangan semangat dalam bekerja.

Saat Guina sedang bersantai, ia mendapati Setyo yang tengah menarik layar ponselnya berulang kali. Tidak. Setyo sedang tidak membuka Whatsapp atau aplikasi chatt lainnya. Melainkan ia tengah fokus sambil sesekali tersenyum, memandang gambar seorang wanita berparas ayu di sana. Guina mengernyit. Yang Setyo lihat saat ini bukanlah foto istrinya. Perlahan, leher Guina memanjang. Tak apalah, sesekali kepo dengan urusan pribadi sang atasan.

Semakin ke sini, Guina merasa kian tak asing dengan sosok di dalam ponsel Setyo tersebut. Netranya memicing. Memastikan agar ia tak sampai salah lihat.

Tap!

Dan, benar saja. Seketika kepala Guina tersentak ke belakang. Ia mematung sejenak. Gegas ia memutuskan untuk menarik tubuh. Sementara itu, Setyo tidak sadar kalau wanita di sebelahnya sudah membeku bak mumi dalam peti.

"Ka- Karin?" Guina bertanya dengan pikirannya sendiri.

Ya. Guina tidak salah lihat. Atasannya sedang fokus memandangi wajah ayu Karin. Namun, Guina tidak tahu itu foto tahun berapa. Karin tampak lebih kurus di sana. Agaknya, potret empat atau lima tahun yang lalu.

"Saya duluan ya, Pak." Guina menundukkan kepala, lalu menghilang dari pandangan Setyo.

"Gila! Kenapa si Setyo bisa mendapatkan foto Karin? Ah! Aku yakin mereka memang punya hubungan khusus, tapi apa? Setyo dan Karin selalu bersikap normal selama ini. Benar-benar sulit dicerna." Guina mendumel sendirian. Perempuan itu sudah sampai di meja kerjanya.

Frustasi. Guina menggigit bibir bawahnya sendiri. Pantas saja kemarin Dora datang ke kampus hanya untuk mencari tahu perempuan bernama Karin. Rupanya memang tersimpan sesuatu di balik ini. Guina harap-harap cemas. Apakah Setyo dan Karin sedang berselingkuh?

Sekali lagi, Guina membuang napas berat. Ia berharap pengelihatannya tadi salah.

***

"Syukurlah kalau anak saya sudah diperbolehkan pulang, Dok,"

Karin meremas jemarinya sendiri. Sudah tiga hari penuh ia menemani sang junior di rumah sakit. Karin selalu sabar dan siaga. Tak pernah sedikit pun Aru terlepas dari pengawasan serta penjagaannya.

Dan, kini Dokter sudah memperbolehkan Aru untuk pulang. Kata Dokter kondisi tubuhnya berangsur pulih. Aru tak lagi demam ataupun masuk angin. Cukup istirahat di rumah, maka Aru dikatakan pulih total keesokan harinya.

Tak hanya Karin, Ronald yang mendapat kabar baik itu pun kesenangan bukan main. Membutuhkan tenaga ekstra bagi Ronald untuk pulang balik café-rumah sakit.

Saat sang Dokter sudah keluar ruangan, buru-buru Karin memeluk tubuh mungil putranya. Aru juga tampak bahagia. Ia sungguh bosan berada di ruangan serba putih tersebut. Belum lagi bau obat-obatan yang terkadang membuat kepala pusing. Selain itu, tak dapat dipungkiri jika Aru sangat merindukan Isha. Adik sekaligus kembarannya yang bermulut remes.

"Ayo, Mommy. Tita pulang cekalang," seru Aru kegirangan.

Ronald membantu Karin menyusun barang-barang mereka selama berada di rumah sakit. Mungkin ke depannya, Ronald tak akan mau membawa putranya berendam di air mana pun. Ia trauma melihat Aru yang saban malam meringis menahan panas di badan.

Setelah semuanya beres, keluarga Ronald membelah keramaian Kota menggunakan mobil mereka. Aru banyak mengisahkan betapa lelahnya ia menanggung sakit. Tak lepas anak itu dari dekapan Karin. Kasih sayang seorang ibu sangatlah nyata.

Tak butuh waktu lama, keluarga Ronald sudah sampai di kediaman mereka. Sebuah tempat yang sangat dirindukan oleh Aru. Bocah cilik itu berlari menuju daun pintu. Ia menggedor benda persegi panjang tersebut dengan keras.

Dor dor dor!

Dor dor dor!

"Ayo, buta pintuna. Alu udah pulang nih," teriaknya seraya memukul pintu berulang kali.

"Sayang. Jangan keras-keras, Nak,"

Karin datang dengan membawa barang-barang mereka. Sedangkan Ronald memilih untuk memarkirkan mobil di garasi. Karin mengambil alih pintu tersebut. Ia memencet bel yang tak dapat digapai oleh Aru.

Ting nong ting nong…

Tak lama kemudian, tampak kepala seorang wanita muda melongo dari balik pintu yang terbuka. Melihat siapa yang datang, membuat kedua sisi bibirnya tertarik. Ia bersorak, kemudian memeluk tubuh kecil Aru.

"Halo, Sayang. Kau tidak berkabar kalau pulang hari ini," ucap sang baby sitter. Wanita yang merawat si kembar kala kedua orang tuanya bekerja.

"Alu, udah pulang? Hole. Alu udah pulang." Suara cempreng itu melaung. Suara yang hadir bersamaan dengan bocah perempuan yang usianya sepantaran dengan Aru. Siapa lagi kalau bukan Isha. Gadis cilik itu meninggalkan mainannya karena mendengar suara kembarannya.

"Ayo, Alu. Temani aku belmain." Isha merebut paksa kakaknya dari dekapan baby sitter.

***

Bersambung