webnovel

Si Pemaksa

Sepulang dari toko buku, Aslan nekat mengantarkan cewek itu pulang. Dilihat dari kaca spionnya, Meysa cemberut sejak tadi, cewek itu menolak keras ajakan Aslan.

Hujan turun deras secara tiba-tiba. Keduanya berhenti di halte terdekat.

"Tau gini, gue naik angkot. Gak basah kuyup, cepet sampai rumah," sesal Meysa.

"Sebentar lagi juga reda, udah tunggu aja."

Cowok duduk di bangku panjang yang ada di sana, menarik tangan Meysa memaksanya bergabung.

"Gak usah pegang-pegang!"

"Duduk makanya!"

Tak ada pembicaraan yang keluar, merasa suasana tak nyaman, Aslan mencoba membuka percakapan dengan cewek itu.

"Lo pindahan dari mana? Kenapa bisa sebangku sama gue?"

"Mana gue tahu, guru nyuruh duduk di bangku kosong dan cuma ada di samping Lo, kalau pun ada pilihan lain, pasti gue pilih itu," jawabnya.

"Gak nyambung banget gue nanya, Lo pindahan dari mana?" ulang cowok itu.

"Gue dari sekolah Bina Nusa, kepala sekolah gue yang rese dan buta itu ngeluarin gue," cetusnya kesal jika mengingat kejadian lampau.

"Buta gak bisa lihat maksudnya?"

"Bukan gitu, gue dikeluarin dari sekolah karena kesalahan yang gak gue perbuat. Padahal udah jelas, buktinya masih saja kekeh, ngeselin emang. Gue sumpahin kena sial tuh, orang!"

"Hem, pantes sih, kalau Lo dikeluarin."

Ucapannya membuat kedua bola mata Meysa membulat sempurna.

"Maksud Lo, apaan?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Eits, santai ... jadi cewek itu yang lembut gak kayak gini," sindirnya semakin membuat emosi Meysa meledak.

Untung saja berhasil dia tahan. Cewek itu kembali duduk dengan kasar.

"Hujan sudah reda, gue antar pulang sekarang," ajaknya.

Karena merasa suasana sudah berubah, Meysa sudah tidak bisa lagi diajak bercanda, akhirnya cowok itu langsung mengantarkannya pulang.

"Maaf, kalau ucapan gue nyinggung," sambungnya.

"Santai aja, gue gak baperan kok, ayo pulang!"

Sampai di depan rumah Meysa. Rumah tingkat dua, dengan halaman luas, dan pohon besar serta ayunan dan seluncuran juga mainan lain, ada di depan sana.

"Ini rumah gue, mau masuk dulu?"

"Gak usah, gue harus ke basecamp, lagi buru-buru. Oh iya, Lo punya adek?"

"Tahu dari mana? Jangan bilang kalau Lo stalking gue, sampai segitunya?" tanyanya begitu percaya diri.

"Gak usah kepedean jadi orang. Itu ada mainan di sana, mana mungkin Lo udah gede masih main begituan," tunjuknya ke arah halaman rumahnya.

"Hem, bener banget cerdas juga Lo. Ya udah, sana pergi katanya buru-buru," suruh Meysa mengusir cowok itu.

"Bilang terima kasih kek, atau apa dasar cewek aneh, ngeselin lagi," ejeknya lantas menginjak gas motornya dan pergi meninggalkan rumah itu.

"Lo itu yang aneh!" teriak Meysa.

Mamanya yang baru pulang dari pasar, dengan sebuah tas belanjaan di tangannya, terlihat heran dengan kelakuannya. Dia lihat tidak ada siapapun, tapi putrinya malah teriak-teriak gak jelas sendirian.

"Mey, kamu bicara sama siapa?"

"Eh, Mama, itu temen ngeselin banget," jawabnya.

"Gak ada siapa-siapa di sini sayang, kamu kenapa sih, sakit?" Mamanya menempelkan telapak tangannya ke jidat Meysa.

Gadis itu mengibaskan tangan mamanya.

"Meysa masih waras Ma, udah ah mau masuk, capek!"

Malam itu, Meysa menfokuskan diri untuk belajar. Mengingat lusa akan ada ulangan matematika, dan dia harus bisa mencari perhatian guru dengan nilainya yang tinggi.

"Definisi cari perhatian yang elegan. Gak usah sana-sini minta dukungan, deketi guru segala lagi," gumamnya merasa bangga.

Sebuah notifikasi pesan berhasil membuat perhatiannya pada buku itu teralih.

"Pakai acara lupa matiin data segala lagi, siapa sih, yang chat malam-malam," kesalnya menyalakan ponsel.

Pesan dari nomor tidak dikenal.

"Besok gue jemput."

"Lo siapa?" balas Meysa.

Hanya diread. Tidak ada balasan sama sekali. Meysa langsung memblokir nomor itu, karena ini bukan pertama kalinya dia mendapat pesan dari orang aneh seperti ini. Dia pikir kali ini sama seperti yang terjadi sebelumnya.

Keesokkan paginya.

Bima sudah berada di depan menunggu cewek itu keluar. Bahkan dari lima belas menit yang lalu. Meysa keluar, setelah sarapan bersama dengan sang adik, dan juga mamanya.

"Mey, kamu antar adik kamu dulu ke sekolah," suruh mamanya.

"Iya Ma, tenang aja ada ojek pribadi Meysa," ucapnya melirik ke arah Bima.

"Gajinya jangan lupa loh, ya," sahut cowok itu membuat mereka tertawa.

Mamanya kini pergi terlebih dulu ke kantor papanya, untuk mengambil beberapa berkas milik sang papa yang tertinggal. Baru saja mobil mamanya keluar dari pagar rumah, sebuah motor masuk menuju ke rumahnya.

"Mey, itu bukannya si Aslan? Lo minta dijemput sama dia? Gue berangkat dulu aja deh, takut kena masalah," ujarnya hendak memakai helm.

"Eh, jangan pergi gue gak nyuruh dia buat jemput kok, di sini aja jangan sampai Lo ninggalin gue kayak kemaren," ancamnya mengingatnya kejadian hari itu.

"Pagi Mey, ini adik Lo? Mirip," ucapnya sok akrab.

"Ngapain Lo ke sini, mending sekolah sana ganggu mood orang aja pagi-pagi," cetusnya.

"Lah, semalam Lo udah baca pesan gue, kalau hari ini gue jemput Lo buat ke sekolah, gak inget?"

"Lo bohong sama gue, Mey?" tanya Bima menyahut.

"Ini lagi, ngapain sih, nempel mulu sama dia, suka Lo?"

"Sembarangan aja kalau ngomong, Bima itu sahabat gue dan dia ke sini buat jemput gue pastinya," jawab Meysa menyahut.

"Udah berangkat duluan sana."

Aslan menggenggam tangannya membuat kepalan dan dia gunakan untuk mengancam Bima. Cowok itu kesulitan menelan salivanya.

"Gue nyerah Mey, terserah Lo mau marah atau apain gue, yang penting gue selamat sekarang!"

Untuk kedua kalinya, Bima melakukan kesalahan yang sama dan itu hanya karena dia takut dengan Aslan. Cowok itu tertawa puas melihat wajah ketakutan Bima.

"Kakak ini siapa?" Pertanyaan anak kecil itu menarik perhatian Aslan.

"Kenalin, Kak Aslan."

"Pacarnya Kak Meysa?"

"Bukan!!" Keduanya menjawab secara bersamaan, membuat gadis kecil itu tersentak.

"Dia cuma teman Kakak, udah ayo berangkat nanti kamu telat lagi," ajaknya mengalihkan pembicaraan.

Saat sampai di depan sekolah Keysa, beberapa orang ibu-ibu yang juga tengah mengantarkan anak mereka kini mulai membicarakan keduanya yang baru saja datang.

"Jangan-jangan itu anaknya lagi, masih SMA udah punya anak saja."

"Namanya juga nyicil Bu, biasa anak muda jaman sekarang," sahut yang lainnya.

Ucapan-ucapan buruk itu, membuat telinga Meysa panas. Niatnya ingin memberi pelajaran kepada mereka.

"Gak usah pedulikan, cuma bikin penyakit hati, mending kita berangkat sekolah," cegah Aslan.

Meysa tak menyangka, lelaki seperti Aslan ini ternyata punya jiwa penyabar yang begitu besar. Di lain sifatnya yang nakal dan susah diatur dia juga punya sisi positif yang baru Meysa ketahui kini.

Bersambung ....