Key berdiri di depan jendela besar di kamar mansionnya. Kedua tangannya memegang railing jendela, sedangkan pandangan matanya tertuju ke luar jendela yang menampakan pemandangan kota Milan yang tertutup awan gelap.

Sebentar lagi akan hujan, pikirnya.
Dia masih menggunakan jas serta semua atribut lengkap seorang CEO. Bosan berdiam disana, Key beranjak menuju ranjang. Tapi sebelumnya dia telah melepaskan jas hitamnya dan sekarang tengah berusaha melepaskan dasinya.
Key membanting tubuhnya di atas ranjang, pukul baru menunjukkan jam dua belas siang. Tapi dia sudah bersantai di mansionnya, mungkin karena dia kelelahan yang membuatnya pulang lebih cepat.
Dia mendengar rintik hujan mulai berjatuhan, perlahan suara rintiknya terdengar lembut lalu lama-lama mengeras di susul dengan suara petir yang mulai menyambar.
Key sama sekali tidak terganggu dengan suara bising rintik hujan serta suara petir yang saling bersaut-sautan itu. Justru sebaliknya, dia merasa kebahagiaannya kembali saat hujan datang.
Key memejamkan matanya dengan kedua tangan yang dia lipat sebagai bantal. Dia terseyum, sembari mengingat kenangan manis di kepalanya.
"Ine... kamu tau, aku sangat suka dengan hujan. Tapi, mom tak pernah membiarkan aku hujan-hujanan."
"Oh ya? Bagaimana kalau sekarang kita hujan-hujan?"
"Really? Tapi sekarangkan sedang tidak ada hujan Ine."
"Maksudku hujan-hujanan di bawah shower Zeea." ucap anak lelaki itu lalu tertawa.
Key membuyarkan memori manis itu lalu beranjak menuju pintu lain di kamarnya. Membuka pintunya perlahan. Ruangan itu adalah perpustakan mini sekaligus ruang kerjanya.
Dia berjalan ke arah lemari kayu yang terdapat di ruangnya. Key membuka lemari itu perlahan lalu mengambil satu buku yang terlihat sudah tua tetapi masi terawat.
Buku itu adalah album foto masa kecilnya. Tidak ada yang special, hanya foto hitam putih tanpa warna. Tapi bagi Key, satu-satunya yang membuat album foto tua itu berarti adalah potret gadis kecil di dalam foto itu.
Key membuka album itu satu persatu, dia bisa merasakan kenangan itu seakan baru saja terjadi kemarin di hidupnya. Kenangan yang begitu membahagiakan.
Liontin?, pikirnya saat menemukan seuntai liontin perak dengan bandul kepingan salju di dalam selipan album itu.

Key mengingat-ingat siapa pemilik liontin itu. Lalu seakan tersadar Key memukul pelan keningnya. Ahhh...
ya bagaimana aku bisa lupa?, pikirnya.
"Ine kalung ini kamu simpan ya. Agar kamu selalu mengingat aku. Maaf ya Ine kita tak bisa bermain salju bersama lagi atau pun bermain prisces and prince lagi. Aku harus ikut mom and dad. But, saat aku sudah besar nanti, i'm promies kita pasti akan bertemu kembali."
Anak lelaki itu mengeleng, "No, aku tau kamu sangat menyayangi liontin ini. Jadi kamu bawa saja ya."
Anak perempuan itu menggeleng kuat, "Untuk kamu, jaga kalung ini ya Ine. Nanti saat aku sudah besar aku akan memintannya kembali. Good by Ine."
"Bukan good by, tapi see you again, Ine."
Anak perempuan itu menyunggingkan seyuman sampai menampakan semua gigi susunya. Lalu merentangkan tangan dan memeluk anak lelaki di depannya.
Mereka berdua berpelukan beberapa detik, lalu si anak perempuan melepaskan pelukannya, dan berlari memasuki mobil orang tuanya.
"See you again, Ine." teriak anak perempuan itu di dalam mobilnya lalu melambaikan tangannya ke arah anak lelaki yang mematung melihat kepergiannya.
Key memejamkan matanya yang terasa sangat panas karena menahan sesuatu, "I'm miss you so bad, Zeea." ucap Key lirih.
~ ♡ ~
Christal memasuki lobie rumah sakit, dia menaiki lift dan menekan angka tiga, Christal berjalan ke arah salah satu ruangan. Di pintu ruangan itu terdapat nama seseorang.
David Michele Smit Room
Christal berjalan mengendap-endap ke arah meja seseorang di ruang itu. Orang yang tengah duduk di kursi kebesarannya itu tidak menyadari kehadiran Christal karena dia tengah berkutad dengan berkas-berkasnya.
"BOOM!" teriak Christal sambil menggebrak meja.
Pria itu tersentak saat suara seseorang mengejutkannya. Sedangkan Christal yang mengejutkannya malah tergelak keras.
"Aww.... aww, Dave sakit." ucap Christal saat merasakan jeweran kuat di telinganya.
"Salah sendiri mengejutkan ku. Bagaimana jika aku tiba-tiba terkena serangan jantung."
"Kau ini, perasa sekali aku kan hanya bercanda." ucap Christal lalu menarik kursi di depan Dave agar duduk bersebelahan dengannya.
"Baiklah, tapi kenapa kamu bisa di sini? Oh, astaga kamu sakit Christal kamu harus pulang sekarang. Liat wajah mu pucat begitu. Ayo pulang Christal."
Christal menggeleng kuat lalu bersendekap sambil mengerucutkan bibirnya, "Tidak aku mau disini!"
"Tapi Christal kamu sedang sakit, kita pulang ya." ucap Dave lembut.
"Tidak pokoknya tidak, aku mau di sini!" putus Christal.
"Christal kenapa kamu sangat keras kepala, huh? Semakin lama kau sangat menyebalkan membuat ku muak berdekatan dengan mu." ucap Dave sarkastik.
Christal menatap tak percaya dengan apa yang di katakan Dave, "Oh okey, lalu kenapa kau masih di sini, huh? Pergilah, pergi seperti mereka semua. Tinggalkan aku sendirian disini. PERGI!" tekan Christal dengan mata yang memerah.
Christal memeluk tubuhnya sendiri, membiarkan rambut panjangnya menutupi wajahnya yang mulai basah karena air matanya sendiri.
Dave mengusap wajahnya kasar, sungguh dia tidak bermaksud mengatakan hal yang sangat sensitive di telinga Christal.
Kepergian dan Perpisahan. Dua kata yang menjadi momok menakutkan di dalam pikiran Christal selama beberapa tahun belakangan ini.
Dave menarik Christal kedalam dekapannya, memeluk lembut pinggang Christal dengan kedua tangannya. Menyalurkan kehangatan dan kasih sayang yang Dave miliki untuk Christal.
"I'm sorry." bisiknya di telinga Christal.
Dave bisa merasakan Christal menggeleng pelan di bahunya. "Aku mohon jangan pergi ya, aku akan menjadi anak penurut dan tidak melawan mu lagi." ucap Christal lalu membalas pelukan Dave.
Chirstal bisa merasakan surai hitam ke coklatannya di usap
pelan, "Kamu kenapa, hmm? Mau bercerita? Kamu sudah berjanji bukan?"
Christal mengangguk lemah, lalu melepaskan pelukan mereka berdua, "Dua hari yang lalu aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat lagi. Hal itu membuatku teringat akan dia."
Dave mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu dia mengerti kemana arah percakapan mereka.
"Lalu?"
"Melihat dua orang pria melakukan hubungan intim, membuat ku merasa sangat sakit entah kenapa. Padalah hal itu seharusnya bukan menjadi urusan ku." ucap Christal pelan.
"Kamu merasakan hal yang namanya déja vu Christal, kejadian dua hari lalu itu membuat bayangan masa lalu itu kembali berputar. Kamu merasa seakan berada kembali di posisi sulit itu. Merasa tersaingi sebagai seorang wanita, merasa seakan... ya kamu mengertilah apa maksud ku."
Christal mengangguk paham, "Aku mengerti, lalu apa yang bisa aku lakukan?"
"Relakan dan lupakan dia. Aku tau rasanya sangat sulit tapi kamu tak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya lagikan?"
Christal merunduk, "Aku tau, tapi rasanya benar-benar meyakitkan Dave."
Sekali lagi Dave menarik Christal dalam dekapannya, memeluk Christal lebih erat dari pada sebelumnya. Christal juga melakukan hal yang sama, memeluk erat Dave. Melupakan bahwa ada cctv yang terpasang diruangan itu.
Tapi Christal tidak peduli, yang ada dalam benaknya adalah bagaimana caranya mengurangi rasa sesak di dadanya.
"Maaf karena aku tak bisa memberi cinta yang sangat kamu impikan. Maaf karena aku hanya bisa mencintai kamu sebagai seorang keluarga, bukan perasaan seorang pria kepada wanita. Maaf karena tak bisa hadir dalam hidup kamu untuk menjadi pemilik hati mu. Sayangnya kamu terlambat datang Chrisy, hati ku sudah memiliki ratunya dan aku juga sangat mencintainya. Andai saja kamu lebih cepat memasuki hidup ku, mungkin takdir kita akan berbeda. Mungkin aku bisa hadir dalam hidup mu dan menghentikan luka hati mu itu. Dan berjanji seumur hidup mencintai kamu tanpa pernah melukai mu. Tapi percayalah Christal, kamu akan mendapat seseorang yang lebih baik dari pada dia, aku dan setiap orang yang tak akan bisa kamu raih apa lagi miliki. Aku percaya, Tuhan telah menyiapkan sesuatu hal yang sangat membahagiakan dalam hidup kamu Christal."
Chirstal melepas pelukan mereka lalu terseyum miring, "Andai saja aku lebih dulu mengenal kamu, mungki aku yang akan mendapatkan seluruh cinta, kesetian serta perhatian mu itu."
"Aku---"
"Shtttt." Christal menangkup kedua pipi Dave hingga membuat bibir Dave mengembung. Menegakan badannya lalu mengecup kening Dave lama.

"Setidaknya kamu adalah seorang pria setia yang tidak akan pernah berpaling dari Yunna. Yunna beruntung mendapatkan kamu Dave, bahkan dia sangat percaya pada kita. Dia membiarkan aku terus bersama kamu, ada rasa kepercayaan yang sangat besar di matanya untuk kita berdua. Yunna sangat baik, kamu beruntung mendapatkanya begitu pula Yunna beruntung mendapatkan kamu." ucap Christal tulus.
Dave terseyum, Christal juga ikut terseyum, "Mungkin aku mengerti kenapa Tuhan mengirim kamu dalam hidup ku." ucap Christal.
"Memang kenapa?"
"Tuhan mengirim kamu untuk menjadi topangan ku di saat ada seseorang yang akan mematahkan hati ku. Dan di situ aku butuh kamu untuk memeluk ku dan menguatkan ku."
Dave menatap lekat kedua bola mata itu lalu mengecup pelan pipi Christal, "Aku menyayangi kamu seperti bintang yang tak akan pernah meninggalkan langitnya. Mungkin terkadang kamu tak bisa selalu melihat cahaya bintang itu. Tapi kamu harus percaya bahwa bintang tetap berada di posisinya dan selalu menemani langit. Begitulah persahabatan kita Christal."
Mereka berdua terseyum lalu tertawa kecil dengan kedua mata yang sama-sama memerah menahan air mata haru.
Perjalan kisah cinta pun di mulai.... Bukan hanya tentang kisah cinta. Tapi juga kisah tentang arti sebuah persahabatan.