"Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya." Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.
Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.
Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.
Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun tiga hari yang sudah berlalu itu tidak Grisse habiskan dengan bersantai. Semuanya ia jalani dengan mengurus berbagai surat untuk keperluannya belajar selama satu semester di kampus ini. Itulah kenapa ia merasa capek luar biasa.
"Vidwan." Panggil Grisse dengan suara lirih. Gadis itu ingin mengatakan keberatannya pada ajakan Vidwan untuk melanjutkan belajar. Grisse berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi penolakan. Ia membuat raut mukanya setenang mungkin.
Vidwan segera menghentikan langkah kemudian berbalik menghadap Grisse.
"Iya, Sayang?"
Mendengar Vidwan kembali memanggilnya dengan kata sayang, wajah Grisse pun bersemu kemerahan.
"Mm… bisakah kita lanjutkan belajarnya besok pagi? Aku sangat ingin beristirahat. Tubuhku lelah sekali." Ujar Grisse takut-takut. Meskipun ia telah berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin, nyatanya Grisse takut jika Vidwan meledak amarahnya kemudian mengecapnya sebagai mahasiswa pemalas.
Vidwan perlahan melangkah mendekati Grisse. Begitu ia sampai di hadapan gadis itu, Vidwan mengulurkan satu tangannya, hendak membelai pipi Grisse.
"Kau kelelahan?"
Grisse mengangguk. Ia tidak bohong. Tubuhnya sangat lelah. Ditambah kegiatan yang baru saja ia lalui di kamar mandi bersama Vidwan, yang sukses membuat Grisse lemas untuk beberapa saat, nyatanya kini menyisakan tambahan rasa tidak nyaman pada tubuhnya.
"Sebenarnya aku ingin mengajarimu yang lain."
Grisse mengerutkan keningnya mendengar apa yang baru saja dikatakan Vidwan. Ia memang sengaja untuk tidak melontarkan pertanyaan pada Vidwan, tapi dari ekspresi wajahnya, Vidwan tahu jika Grisse ingin sekali bertanya lebih jauh padanya.
"Yang akan kita pelajari sekarang bukan tentang Sanskrit. Bukan tentang aksara Devanagari, atau tata bahasanya. Aku ingin mengajarimu tentang hal lain yang tidak kalah menyenangkannya dari Sanskrit."
"Apa itu, Vidwan?" Grisse tak kuasa untuk membendung rasa ingin tahunya yang sangat besar.
"Suatu hal yang mungkin, sama kunonya dengan bahasa Sansekerta itu sendiri."
Setelah mengakhiri kalimatnya yang jelas-jelas semakin menggelitik rasa ingin tahu Grisse, Vidwan menangkup wajah Grisse. Melalui sepasang telapak tangannya yang menempel di bagian pipi Grisse, Vidwan seolah menuntut Grisse agar fokus menatapnya.
"Aku… aku masih belum mengerti."
Grisse mulai salah tingkah. Gugup mulai menyerangnya. Napasnya pun juga mulai tersengal. Grisse sangat yakin jika saat ini wajahnya pasti tak ubahnya kepiting rebus.
"Aku ingin mengajarimu hal yang menyenangkan." Vidwan tampaknya enggan untuk langsung menjawab rasa ingin tahu Grisse. Sebagai gantinya, ia lebih memilih melanjutkan memberi teka-teki pada Grisse.
"Ada banyak hal menyenangkan, Vidwan."
"Ya, tapi kurasa ini adalah hal yang paling menyenangkan."
Grisse mulai terlihat tidak sabar.
Sementara Vidwan bersorak dalam hati. Ia senang tatkala melihat Gadis di hadapannya telah masuk ke dalam perangkap yang dibuatnya.
Vidwan mengangguk sebagai bentuk persetujuan atas analisis yang dibuat oleh Grisse. Kenyataannya memang ada banyak hal yang menyenangkan di dunia ini. Namun, di antara semua hal tersebut, manakah yang ia maksud?
"Kumohon segera katakan padaku." Suara Grisse mulai terdengar seperti rengekan di telinga Vidwan. Gadis itu benar-benar tidak sabar ingin mengetahui jawaban Vidwan.
"Apa imbalannya jika sudah kukatakan hal yang kumaksud?"
Grisse sontak membelalakkan matanya. Apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki ini?
Diam-diam, Grisse berharap bahwa apa yang nanti Vidwan katakan adalah hal baru yang tadi sempat Grisse nikmati, meskipun sebentar.
"Aku tidak punya apa pun saat ini, Vidwan. Aku tidak tahu apa yang harus kuberikan sebagai imbalan." Grisse meraih tangan Vidwan yang masih berada di pipinya. Grisse mencoba menjauhkan tangan laki-laki itu dari wajahnya. Vidwan sebenarnya tidak terima dengan apa yang telah dilakukan Grisse. Laki-laki itu tadinya berencana mencium Grisse. Bukan sekedar ciuman yang lembut, tapi ciuman yang menuntut. Ia sengaja ingin menyulut api gairah Grisse.
"Guru Vidwan…" Grisse sengaja memanggil Vidwan dengan embel-embel guru. Vidwan menatap Grisse dengan mata berkilat.
"Kau sengaja memanggilku seperti itu?" Vidwan kembali berlutut agar matanya sejajar dengan mata Grisse. Grisse mengangguk cepat sambil menahan tawa.
"Apa kau ingin dihukum?" Vidwan kembali bertanya. Kali ini ia memperlihatkan ekspresi tidak suka.
"Dihukum?" Grisse bertanya. Gadis itu sepertinya pura-pura lupa dengan kesepakatan mereka.
"Ya, apa kamu lupa kesepakatan kita Grisse?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Aku sengaja ingin menggodamu."
"Artinya kamu menginginkan hukuman dariku."
"Apa hukumannya?"
"Tidak akan kukatakan."
"Oh…." Grisse terlihat kecewa. Vidwan kembali membuatnya penasaran.
Menyadari bahwa rasa ingin tahunya tidak kunjung mendapatkan jawaban, Grisse beranjak. Ia melewati Vidwan tanpa mengatakan apa pun. Meninggalkan Vidwan yang terus mengikuti gerak-gerik Grisse melalui sepasang netranya.
"Kamu mau apa?"
"Cuci muka kemudian tidur. Aku sudah mengantuk."
Vidwan masih bergeming sampai Grisse keluar dari kamar mandi. Begitu dilihatnya Grisse naik ke atas ranjang, dengan cepat Vidwan beranjak kemudian menyusul Grisse, naik ke atas ranjang.
"Buka pakaianmu!"
"Untuk apa?"
"Bukankah tadi kamu mengatakan lelah, capek, penat, dan apa pun itu."
Grisse mengangguk. Ia yang tadinya sudah berbaring, kini bangun kemudian duduk. Vidwan bergerak mendekati Grisse sambil merangkak. Mereka saling memandang beberapa saat hingga tangan Vidwan terulur menyentuh kancing teratas kemeja yang dipakai Grisse. Grisse hanya terpaku. Ia tidak melakukan tindakan apa pun, kecuali menatap Vidwan nyaris tanpa berkedip. Melalui isyarat berupa anggukan lemah, Vidwan meminta persetujuan Grisse untuk membuka seluruh kancing kemeja gadis itu. Dan, entah apa yang merasuki Grisse, gadis itu mengangguk. Ya, meskipun memberi jawaban dengan melakukan hal yang sama, yakni mengangguk perlahan, Grisse menyetujui tindakan yang dilakukan Vidwan.
Sementara Vidwan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang terbuka lebar di depannya, ia pun meminta Grisse tengkurap setelah berhasil melepas kemeja yang membalut tubuh indah Grisse.
"Apa yang akan kamu lakukan, Vidwan?" Rasanya Grisse ini membalik tubuhnya atau segera duduk agar bisa leluasa menatap Vidwan. Kalau dalam posisi seperti ini, uh betapa susahnya jika harus melakukan itu. Alhasil, Grisse hanya bisa menoleh ke samping kiri sambil berharap dalam posisinya itu ia tetap bisa melihat Vidwan. Sementara Vidwan tak henti-hentinya tersenyum mendapati tingkah Grisse yang menurutnya begitu menggemaskan.
"Aku akan memijatmu. Bukankah kamu bilang bahwa kamu lelah?"
"Tidak perlu, Vidwan. Lelahku akan hilang setelah aku tidur." Grisse menggeliat sebagai bentuk protes.
"Aku tidak keberatan untuk memijatmu, Grisse. Kebetulan aku punya minyak aroma terapi yang akan membuatmu rileks dan nyaman."
Grisse masih ingin membantah. Ia benar-benar keberatan jika Vidwan sampai memijatnya. Grisse takut ia tidak bisa menahan diri. Tetiba ia teringat ketika dirinya tengah memainkan payudaranya di depan cermin. Dalam gerakan yang diciptakan oleh tangannya sendiri, Grisse sempat mengkhayalkan jika kedua tangan yang berada di payudaranya adalah tangan Vidwan.
"Oh, Vidwan…." Desis Grisse tanpa sadar. Vidwan yang hampir menuang minyak ke atas punggung Grisse pun menghentikan gerakannya. Sungguh ia tertarik mengapa Grisse membisikkan namanya dengan nada yang sangat menggoda.
"Grisse?"
Grisse tidak menjawab. Gadis itu malah mendesah beberapa kali. Membuat Vidwan semakin merasa panas terbakar birahi.
"Grisse?" Suara Vidwan kini berubah serak. Ia pun terangsang hanya dengan mendengar desahan Grisse serta tubuh telanjang mahasiswinya yang tengah terbaring tengkurap di depannya.
"Grisse, maukah kau bercinta denganku?"
"Hmm…."
"Jawab aku, Grisse." Vidwan menuntut jawaban dari Grisse. Cukup satu kata saja, ya, dan Vidwan tidak akan segan untuk menerjang lalu menindih Grisse. Mendapati Grisse tak kunjung menjawab, Vidwan memutuskan untuk memijat tubuh Grisse. Ia akan memulainya dari bagian tungkai gadis itu. Jemari Vidwan bergerak dengan lincah di atas permukaan kulit kaki Grisse. Ia terlihat sangat terampil memijat. Sesekali Vidwan melirik Grisse. Ia harap-harap cemas menanti reaksi Grisse.
Ketika pijatan Vidwan sampai pada bagian paha, tetiba Grisse sedikit membuka kakinya. Jarak yang tercipta antara dua paha Grisse tentu saja memperlihatkan kewanitaan gadis itu. Kewanitaan yang tidak tertutup apa pun. Dan Vidwan pun tergoda untuk menyentuh inti Grisse lagi. Ketika ujung-ujung jemari Vidwan mendarat di bagian pusat Grisse, gadis itu mendesah dengan suara manjanya.
"Oh, Vidwan… aku ingin yang lebih dari ini."
***