webnovel

Harmonic Convergence - The System To Take Over the Earth

10.000 tahun sekali delapan planet yang ada di Tata Surya akan berada segaris lurus ke matahari, mereka menyebutnya: Harmonic Convergence. Yang tidak mereka tahu, pada saat itu terjadi maka para iblis dan pasukannya akan bisa menyerang Bumi sebab akan tercipta portal antar dimensi. Ardha Candra adalah pria yang terpilih untuk menerima Divine Sword yang merupakan salah satu pedang milik Malaikat Maut. Ia ditugaskan untuk menghancurkan pasukan iblis yang berusaha menguasai Bumi menggantikan manusia.

Ando_Ajo · Fantasia
Classificações insuficientes
409 Chs

Melupakan Sejarah

"Bangsamu memang yang terkuat, Bardhom," ujar Aka Manah. "Tapi kau jangan lupa, bahwa sepuluh ribu tahun yang lalu bahkan leluhurmu tidak mampu menaklukkan Bumi."

"Padahal mereka masih sangat primitif," ujar Eredyth seraya mengelus-elus surai makhluk seperti singa itu.

"Kau dengar itu?" kata Aka Manah seraya menunjuk ke arah Eredyth. "Dia benar. Apa kau kira aku tidak berpikir yang sama sepertimu, hemm?"

"Dengar…" Merryath lalu mendekati Bardhom.

Wanita yang satu itu sepertinya cukup tertarik dengan pria botak tersebut. Satu tangannya mengelus tubuh Bardhom dari samping kiri ke kanan.

"Kau pasti tidak merasa nyaman di dalam tubuh manusia, bukan?"

"Itu yang aku maksudkan," ujar Bradhom. "Tubuh mereka menjijikkan."

"Tapi kita harus melakukan ini," dan kini Merryath sudah berada di depan Bardhom. Begitu rapat, membelakangi Martin. "Sampai Harmonic Convergence terjadi dengan sempurna."

"Itu benar," ujar Aka Manah.

Sementara itu, Martin Hasibuan yang diakibatkan kondisinya yang semakin mengenaskan, ia merasa semakin sulit mencerna semua perkataan orang-orang di dekatnya itu.

Peristiwa 10.000 tahun yang lalu? Leluhur Bardhom dikalahkan manusia zaman neolitikum? Yang benar saja!

Harmonic Convergence? Menggunakan tubuh manusia?

Apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan tumpang tindih di dalam kepala sang detektif polisi.

"Baiklah, baiklah," ujar Bardhom. Ia menatap Marin dengan pandangan yang menyipit. "Bagaimana kalau langsung aku kuliti saja dia? Jadi, aku tidak perlu memakan kepalanya."

"Aku setuju!" ujar Merryath lalu memandang pada tiga yang lainnya. "Lagipula, otak yang satu ini tidak berharga. Laki-laki mesum!"

"Jangan konyol!" Aka Manah melipat dua tangan ke dada. "Dia," tunjuknya pada Martin Hasibuan, "ada kaitannya dengan pria yang mampu membunuh salah satu Nimfa."

Semua mata tertuju kepada Aka Manah, tidak terkecuali dengan si detektif polisi.

"Kau bilang apa?" tanya Merryath sebab ia sulit menerima kenyataan yang disampaikan Aka Manah tersebut.

"Membunuh salah satu Nimfa?" ulang Pharas pula.

"Apa itu benar?" Bardhom mencengkeram rahang Martin.

"Percuma saja," sahut Aka Manah. "Dia tidak tahu soal itu. Dia dan seorang rekannya hanya mencurigai laki-laki bernama Ardha Candra itu telah membunuh seorang perawat."

Bola mata Martin Hasibuan membesar tiba-tiba mendengar ucapan Aka Manah.

Jangan-jangan, apa yang dikatakan oleh Ardha Candra ketika aku bersama Clara menginterogasi laki-laki itu adalah sebuah kebenaran? Tanya Martin di dalam hatinya.

Tapi sepertinya terlambat untuk Martin sendiri. Kendatipun ia menyadari ucapan Ardha Candra adalah sebuah kebenaran, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Bahkan untuk melepaskan dirinya saja dari orang-orang itu ia tidak bisa melakukannya.

"Kalian tahu," ujar Aka Manah, lagi. "Wujud yang aku gunakan sekarang ini adalah dokter yang merawat laki-laki yang aku ceritakan tadi. Dari memori di kepalanya, aku bisa menyimpulkan bahwa laki-laki bernama Ardha Candra itu mampu membunuh Nimfa dengan cepat dan tanpa terluka sedikit pun."

"Berarti benar," tanya Eredyth, "manusia sudah mengetahui cara membunuh ras kita?"

"Aku masih ragu soal itu…" Aka Manah menghela napas dalam-dalam sembari mengusap dagunya dengan satu tangan. "Tapi aku yakin, ada sesuatu yang tidak semestinya di sini."

"Apa mungkin para malaikat ikut campur, dan memberi tahu pria itu cara membunuh ras kita?" tanya Pharas.

"Entahlah," sahut Aka Manah. "Tapi, itu bisa saja terjadi."

"Dasar makhluk surga brengsek!" dengus Eredyth dengan geram.

Eredyth menghentakkan satu kakinya ke lantai dengan kuat. Satu tangannya meremas surai makhluk serupa singa itu sehingga makhluk tersebut mengaum, mengembek dan berdesis kencang secara bersamaan.

"Tenanglah, Eredyth!" Aka Manah mendelik pada wanita yang mengaku sebagai ras Succubus sebelumnya itu. "Apa yang kau ketahui?" tanya pria itu kepada Pharas. "Kau berada di Bumi sudah lebih lama daripada kami semua. Kau pasti lebih tahu sifat manusia, apa aku salah?"

Semua mata tertuju pada wanita cantik berpakaian ala wanita kantoran itu. Pharas menyeringai, sembari tangan terlipat di dada ia melangkah pelan mengitari Martin Hasibuan, dari samping kiri ke samping kanan.

"Sebenarnya, aku pun ragu ras manusia mengetahui cara membunuh ras kita," ujar Pharas. "Juga, soal campur tangan ras malaikat. Kurasa mungkin itu hanya sebuah kebetulan semata, mungkin Nimfa itu melakukan kecerobohan."

"Kau punya alasan yang lebih baik?"

Pharas melirik Aka Manah sebelum lirikan matanya yang indah itu berpindah ke wajah Martin Hasibuan.

"Manusia zaman sekarang memang telah jauh berkembang. Mereka memiliki senjata-senjata yang kurasa mungkin bisa menyakiti kita."

"Kau tadi bilang meragukan kemampuan mereka membunuh ras kita," ujar Eredyth setengah mengejek Pharas. "Dan sekarang kau bilang mereka bisa melakukannya. Kau Alkonost yang plin-plan."

"Apa kau bisa diam untuk sebentar saja, hemm?" Pharas memandang Eredyth dengan tatapan laksana sepasang pedang tajam. "Dasar Succubus!"

"Hei, hei," Aka Manah menyeringai sembari geleng-geleng kepala. "Apa kalian tidak bisa berdamai untuk barang sesaat saja?"

"Sorry, Boss…" Eredyth menyeringai halus, perhatiannya kini ia alihkan pada makhluk besar serupa singa di sampingnya itu.

"Teruskan, Pharas," kata Aka Manah. "Kau pasti punya alasan kuat mengatakan itu, kan?"

Pharas tersenyum memandang Eredyth, namun sangat jelas itu bukan sebuah senyuman yang bersahabat. Lalu, perhatiannya kembali tertuju pada Martin Hasibuan yang tergantung di hadapan Bardhom dan Merryath.

"Ngomong-ngomong, apa yang aku katakan itu memang benar," ujar Pharas melanjutkan informasi yang ia punya pada yang lainnya. "Membunuh langsung? Kurasa tidak. Lebih kepada menyakiti, bagaimanapun, dalam batas tertentu kita pasti akan terbunuh pada akhirnya."

"Berarti mereka sudah memiliki kemajuan dalam teknologi persenjataan," Aka Manah mengangguk-angguk.

"Seperti yang satu ini," Merryath melemparkan sebuah pistol kepada Aka Manah.

Pistol itu milik Martin Hasibuan. Dengan memori milik Dokter Arya di dalam tubuhnya, Aka Manah bisa mengetahui senjata seperti apa yang sekarang ada di tangannya tersebut.

"Ada lagi?" tanya Aka Manah pada Pharas.

"Sejauh ini, hanya itu kelebihan mereka. Manusia-manusia zaman sekarang sepertinya sudah melupakan sejarah nenek moyang mereka dahulu. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan menasbihkan ras kita hanya sebagai dongeng pengantar tidur bagi keturunan mereka."

"Bagus," Aka Manah mengangguk-angguk. "Itu justru sangat bagus. Mungkin kita bisa melakukan ini dengan lebih cepat."

"Bukankah aku sudah mengatakan hal itu tadi?" kata Bardhom.

"Hei," Aka Manah tertawa-tawa pelan. "Sudah kukatakan, bukan? Jangan ceroboh! Jangan bertingkah seperti para Nimfa itu!"

"Akvan benar, Bardhom," ujar Eredyth. "Sebaiknya, kau segera melahap otak laki-laki itu. Dengan begitu, kita mungkin akan mendapat petunjuk lebih tentang laki-laki yang mampu membunuh Nimfa itu."

"Apa lagi yang kau tunggu?" ucap Merryath seraya menepuk bokong pria tinggi besar berkepala botak itu.

Bardhom menggeram dengan mata mendelik kepada Merryath, namun wanita yang hanya mengenakan bra oranye itu justru menanggapinya dengan tawa yang mengundang gairah.

Lalu, Bardhom kembali mencengkeram rahang si detektif polisi, satu tangannya terjulur ke atas. Dalam sekali tarikan saja, tali yang mengikat kedua tangan Martin Hasibuan putus.

Hanya saja, Martin tidak bisa berbuat banyak. Selain ia berada dalam cengkeraman laki-laki besar itu, kondisi tubuhnya sendiri juga sudah tidak memungkinkan untuk berbuat lebih.

TO BE CONTINUED ...