webnovel

Harmonic Convergence - The System To Take Over the Earth

10.000 tahun sekali delapan planet yang ada di Tata Surya akan berada segaris lurus ke matahari, mereka menyebutnya: Harmonic Convergence. Yang tidak mereka tahu, pada saat itu terjadi maka para iblis dan pasukannya akan bisa menyerang Bumi sebab akan tercipta portal antar dimensi. Ardha Candra adalah pria yang terpilih untuk menerima Divine Sword yang merupakan salah satu pedang milik Malaikat Maut. Ia ditugaskan untuk menghancurkan pasukan iblis yang berusaha menguasai Bumi menggantikan manusia.

Ando_Ajo · Fantasia
Classificações insuficientes
409 Chs

Detektif Polisi

"Saya bertanya, apa yang terjadi di sini?" ulang sang dokter dengan penekanan suara.

"Maaf, Dok," ujar polisi itu lagi. "Ini sudah menjadi tugas kami untuk melakukan investigasi atas apa yang terjadi pada salah seorang perawat di rumah sakit ini."

"Yaah," angguk Arya seraya bertolak pinggang, seolah menantang petugas Kepolisian tersebut. "Memang sudah tugas Anda seperti itu. Tapi seharusnya Anda juga meminta izin dulu kepada saya. Ada hak-hak pasien yang juga harus saya penuhi. Bukan dengan jalan langsung masuk begini, menginterogasi."

"Baiklah, baiklah," kata polisi itu pula dengan lebih sabar dan tenang. "Maaf soal itu. Kami pastikan ini tidak akan terjadi lagi."

"Bagus kalau Anda mengerti," dengus sang dokter.

Pandangan tidak senang itu juga beralih kepada si perawat wanita berbadan besar, lalu perawat wanita kurus itu, juga pada perawat laki-laki di belakang.

"Sekarang," kata polisi kedua yang ada di hadapan Ardha Candra, ia menoleh kepada sang dokter. "Bisa, kami meneruskan? Hanya beberapa pertanyaan saja."

"Bisa," sahut sang dokter seraya melangkah mendekat, lalu berdiri di samping Ardha Candra, berhadapan langsung dengan polisi kedua itu. "Asalkan Bapak-bapak bisa menunjukkan surat perintah kepada saya sekarang juga."

Setidaknya, dengan kehadiran sang dokter, Ardha Candra merasa mendapat perlindungan meski ia tahu sang dokter hanya melakukan tugasnya saja sebagai dokter penanggung jawab terhadap dirinya. Tapi, itu sudah lebih dari cukup untuk menghilangkan sedikit tekanan yang ada pada diri Ardha Candra atas kedatangan orang-orang itu.

"Aah," polisi kedua terkekeh geleng-geleng kepala. Keras kepala juga dokter yang satu ini, pikirnya. "Sayangnya, kami tidak sempat membawa itu."

"Well, maaf saja kalau begitu," sahut sang dokter pula. "Saya tidak bisa mengizinkan Anda berdua untuk menginterogasi pasien saya lebih lanjut."

"Baik, baik, Dokter Arya. Sekarang mungkin tidak, tapi sebentar lagi Tim Investigasi dan Tim Forensik akan sampai ke sini, mereka pasti membawa surat itu. Dan pada saat itu terjadi, kami minta Anda tidak lagi menghalang-halangi pekerjaan kami."

"Tidak masalah."

"Baik."

Polisi kedua itu masih tersenyum walau jelas bukan satu senyuman yang bersahabat, lalu berbalik badan, dan mengajak polisi pertama untuk keluar dari dalam kamar tersebut. Hanya saja, mereka tidak pergi jauh. Keduanya berdiri di samping pintu kamar tersebut, satu di kanan satu lagi di kiri. Berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, sesuai dengan protokol dari Kepolisian itu sendiri.

"Dan kalian," ujar sang dokter pada ketiga perawat tersebut, "apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa kalian lakukan?"

"Maaf, Dok…"

Si perawat laki-laki segera mengajak perawat berbadan besar dan yang satunya lagi itu untuk segera meninggalkan kamar tersebut.

"Maaf, jika kondisi ini membuat Anda merasa terganggu dan tidak nyaman, Pak Candra."

Ardha Candra tersenyum, menggeleng ringan. "Tidak masalah. Lagipula, mereka hanya menjalankan tugas, jadi yaa…" sang pasien mengendikkan bahu. "Tapi, terima kasih sudah berdiri untuk saya."

"Itu juga tugas saya sebagai dokter penanggung jawab untuk Anda."

"Terima kasih."

"Sama-sama."

*

Tim investigasi lanjutan datang beberapa menit kemudian bersama tim forensik Kepolisian yang kini sedang melakukan inspeksi mendalam di kamar di mana sebelumnya seorang perawat bernama Lisa yang terakhir kali diketahui berada bersama Ardha Candra.

Seperti yang dapat diperkirakan oleh Ardha Candra sendiri, para ahli dari tim forensik yang menginspeksi ruangan itu tidak menemukan hal-hal janggal di dalam ruangan tersebut, tidak pula bekas darah meski sudah menggunakan cairan luminol yang mampu mendeteksi keberadaan setitik darah sekalipun meski sudah dihapus. Lagipula, ruangan itu sudah dibersihkan oleh si perawat wanita yang tadi itu.

Ardha Candra sendiri sedang berada di kamar perawatannya, didampingi oleh Dokter Arya. Ada tiga orang anggota Kepolisian bersama mereka kini selain juga dengan kehadiran seorang perawat wanita bertubuh gemuk.

Dua orang di antara tiga anggota Kepolisian itu tidak mengenakan seragam khas Kepolisian, seorang pria dan seorang laki wanita. Keduanya merupakan anggota Kepolisian dari divisi penanganan khusus tindak pembunuhan, atau boleh dibilang detektifnya para polisi.

Dengan membekal surat perintah yang valid, Dokter Arya tidak bisa berbuat banyak selain mengawasi jalannya interogasi terhadap pasien yang menjadi tanggung jawabnya itu. Tapi, sesekali ia tetap memprotes pada pertanyaan-pertanyaan yang terdengar menyudutkan Ardha Candra.

Detektif polisi wanita itu menggeser sebuah kursi, lalu duduk di hadapan Ardha Candra.

"Lalu?"

Ardha Candra yang duduk di tepi ranjang khas mendapati tatapan detektif wanita tersebut begitu tajam sehingga mampu membuatnya sedikit merinding seolah-olah wanita itu mampu menguliti sekujur tubuhnya saat itu juga. Meski ada senyum di bibir sang detektif, tapi itu tidak membantu banyak bagi Ardha Candra untuk lepas dari rasa terkungkung.

"Bagaimana dengan suara-suara teriakan yang didengar seseorang saat melewati kamar di mana Anda berada pada saat itu?" lanjut detektif wanita tersebut. "Kami punya bukti rekaman CCTV-nya."

"Itu lebih bagus lagi," ujar Ardha Candra. "Biar lebih jelas, apakah saya terlibat dengan apa pun yang sedang kalian selidiki, atau kalian hanya membuang-buang waktu kehilangan kesempatan mengejar pelaku sesungguhnya."

Wanita itu tersenyum lebih lebar. Ia melirik pada rekannya di samping kanan, lalu melipat kedua tangan ke dada, dan menyandarkan punggungnya.

"Sayangnya," tatapan detektif wanita tertuju pada sosok Dokter Arya, "tidak dengan kamar perawatan itu sendiri."

Tentu saja, gumam sang dokter di dalam hati. Untuk apa juga kami memasang kamera pengawas di dalam kamar pasien? Itu hanya akan melanggar kode etik dan hak-hak pasien itu sendiri. Dasar bodoh!

Sementara Ardha Candra melenguh pelan mendengar ucapan polisi wanita tersebut. Well, tentunya jika di kamar yang sebelumnya itu ada CCTV juga, Ardha Candra yakin, orang-orang ini mungkin akan menganga lebar—sekalian, biar lepas saja rahang mereka itu, makinya di dalam hati—dan ia tidak perlu bersusah-susah untuk menceritakan semua kebenaran yang ada.

"Untuk apa menggertak saya kalau begitu?"

Tapi Ardha Candra tidak yakin jika ia harus menjelaskan juga perihal makhluk jejadian mirip biawak besar itu kepada para polisi. Sedangkan dokter itu saja dan perawatnya tidak mempercayai ucapan darinya, apatah lagi para polisi.

"Menggertak?" ulang detektif wanita itu, lalu melipat satu kaki di atas kaki lainnya. "Anda pikir kami sedang bermain-main, begitukah?"

"Bisakah kalian tidak mengintimidasi pasien saya lebih dari ini?" sahut Arya pula yang tidak suka dengan sikap para polisi.

"Kalian sendiri sudah dengar tadi, bukan?" kata Ardha Candra pula. "Dokter Arya adalah orang pertama yang langsung mendatangi saya di kamar itu bersama dua perawat yang tadi. Jelas, beliau sudah bersaksi—juga kedua perawat itu, bahwa tidak ada siapa-siapa di ruangan itu kecuali saya sendiri."