webnovel

[ 04 ]

"Lo kenapa?" Tanya Harryan begitu mereka tiba di depan pintu rumah Lucy. "Hari ini kamu banyak diem, kamu sakit?"

Lucy menggeleng pelan dan tersenyum simpul. "Aku agak capek hari ini."

"Ah, gitu," Harryan mengangguk samar lalu tersenyum untuk mengurangi rasa letih Lucy. "Yaudah kalau gitu cepet masuk terus istirahat—"

"Lho kalian kapan sampainya?"

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya muncul di balik pintu. Kehadirannya sempat membuat kedua remaja itu terperanjat.

Itu Nadine Ziudith, Bunda nya Lucyana.

"Baru sampe ko, Bunda," Harryan terkekeh.

Nadine tersenyum. Ia menatap putrinya sekilas. "Kenapa gak langsung masuk, nak? Harryan ayo masuk—"

"Oh gapapa , Bunda, ini Ryan juga mau langsung pulang aja. Ryan ada urusan lain."

"Beneran gak masuk dulu?" Harryan mengangguk. "Kalau gitu biar Paman Biyu yang anter ya. Makasih banyak udah temani Lucyana ikut kompetisi."

Lagi, Harryan hanya terkekeh dan mangut-mangut. Lalu anak itu pamit pulang begitu supir siap mengantarnya. Kedua perempuan itu menunggu hingga mobilnya keluar gerbang.

"Ayo masuk, ko diem disini?" Nadine tersenyum kecil. "Gimana tadi kompetisinya? Bunda baru tahu di kantor kalau Simon gak bisa dampingin kamu. Untung aja ada Harryan yang temenin kamu disana."

Yang diajak bicara hanya merespons, "Hmm? hmm."

Lucy tidak menurut saat diminta Nadine untuk duduk dan makan malam.

"Kenapa Bunda bohongin Lucy?"

Sebenarnya Lucy ingin membahas hal ini esok hari, namun semakin Lucy menahannya semakin ingin juga ia menanyakannya.

"Bunda bohong apa sayang?" Nadine tidak menoleh. "Kamu mau makan apa? Pasta atau sayur-sayuran?"

Lucy menghela napas kasar. Ia sama sekali tidak berniat mengisi perutnya dengan makanan.

"Kenapa Bunda bohongin Lucy soal Ayah? Sebenernya Bunda sama Ayah udah cerai 6 tahun yang lalu, kan?"

"Kamu ngomong apa, Ayah kamu kerja—"

"Bunda, tolong.." suara Lucy terdengar sedikit keki dan berujung pasrah.

Nadine yang sedang mengatur piring untuk makan malam seketika mematung. Dari kursi makannya, ia menatap Lucy. Nadine dapat melihat mata anak gadisnya yang mulai berkaca-kaca.

"Lucy ketemu sama Ayah di Bandung dan Ayah udah ceritain semuanya, Bunda ga perlu bohong lagi sama Lucy. Kenapa Bunda nutup-nutupin semua ini dari Lucy?" kejar Lucy.

Netra Nadine terpejam sekilas. Kini Lucy sudah mengetahuinya. "Bunda gak bermaksud begitu," ia kesulitan bagaimana menjelaskannya pada Lucyana. Lidahnya kelu untuk memberikan kebenaran.

"Lucy ini anak Bunda bukan? Apa Lucy gak berhak untuk tahu apa yang terjadi di keluarga kita? Apa Lucy seenggakpenting itu untuk tahu hubungan Bunda sama Ayah?" cecar Lucy dengan gemetar.

"Sayang, keadaannya waktu itu beda, kamu masih kecil dan Bunda gak bisa kasih tahu begitu aja soal perceraian Bunda sama Ayah kamu." Sebisa mungkin Nadine memberikan alasan logis meskipun itu akan dianggap sia-sia.

"Bunda beralasan kalau Lucy masih anak-anak, Lucy gak bakal ngerti dengan keadaan waktu itu. Dan tadi Ayah bilang kalau Lucy udah dewasa, Lucy  harus paham dengan keadaan yang sekarang," gadis cantik itu tersenyum lirih. Bibir Lucy gemetar. Air matanya mulai melolos. "Kalian ngerubah kata-kata itu sesuai dengan kebutuhan kalian."

Apa yang baru saja Lucy ucapkan membuat lidah Nadine kelu dalam sekejap. Hatinya mencelus melihat putri semata wayangnya menangis dengan tatapan frustasi seperti saat ini.

"Bunda gak mau karena perceraian ini jadi memperburuk keadaan kamu, nak—"

"Tapi dengan nutupin kejadian ini selama bertahun-tahun, justru Bunda yang memperburuk keadaan sekarang," Lucy menyangkal kelitan Nadine.

Gadis mungil itu mengusap air matanya setelah suasana di rumah menegang selama beberapa saat.

"Lucy mau istirahat." Lalu Lucy pergi menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.

Nadine segera terduduk di kursi makan. Ia hanya diam ketika mengangkap raut kecewa di wajah putrinya. Bahkan bayangan anak gadisnya itu nampak lusuh. Melihat putrinya pergi dengan guratan sedih seperti itu membuatnya seketika lemas.

Dengan langkahnya yang melemas, Nadine segera pergi ke dalam kamar. Jarinya berselancar di atas layar ponsel.

"Kenapa kamu harus memberitahu Lucyana? Sudah kubilang berhenti ikut campur urusan kami lagi!" seru Nadine ketika nomor yang dituju akhirnya menjawab panggilan telepon.

Di seberang sana Lingga sudah menghela napas. "Kamu pikir akan sejauh mana kamu bisa merahasiakannya? Nadine, dia bukan anak kecil lagi. Dasar wanita bodoh, menjijikkan."

"Oh? Jadi setelah sukses seperti sekarang harga dirimu terluka?" Nadine menyeringai. "Bukankah kamu yang lebih menjijikkan? Kamu bisa kubuat bungkam dengan ratusan juta uang jika aku mau,"

"Nadine!" Sentak Lingga, namun sentakan itu tak membuat Nadine menjauhkan ponselnya dari telinga. Lingga tertawa remeh kemudian. "Inilah alasan mengapa aku harus berpisah dengan wanita sepertimu. Karena selain berpenyakitan, kamu juga sangat egois. Perempuan pembawa sial," hina Lingga.

Menghela napas kasar, Nadine menjadi heran mengapa dulu ia bisa menikahi pria seperti Lingga. "Kuperingatkan, jangan pernah memunculkan batang hidungmu di hadapanku atau Lucyana lagi. Lucyana terlalu berharga untuk disia-siakan oleh Ayah bajingan sepertimu."

Nadine langsung menutup panggilan telponnya. Rasanya memuakkan sekali harus berbicara dengan Lingga setelah sekian lama.

Ibu satu anak itu meringis memegangi bagian kiri perutnya. Menyenderkan punggung pada kepala bangsal, Nadine kemudian menangis. Merasa bersalah karena melihat raut kecewa di wajah putrinya.

_____

Gadis bersurai hitam itu langsung menenggelamkan tubuh mungilnya di atas bangsal. Pikirannya kosong. Dan pandangannya mengedar pada langit-langit kamar nya.

Reka adegan dimana ia bahagia bersama kedua orang tuanya berputar layaknya sebuah kaset rusak.

Ia belum bisa beradaptasi sepenuhnya dengan fakta yang baru diketahuinya. Mengingat kejadian di Bandung tadi, air matanya kembali turun tanpa diperintah.

Lalu sosok laki-laki yang bahkan tidak ia kenal melintas di pikirannya. Ia menjeda tangis dan bertelentang.

Satu hal lagi yang membuat Lucy ingin menangis. Jika diingat-ingat kembali, Lucy sempat membuat pakaian laki-laki asing itu basah karena air matanya dan—ingusnya?!

"LUCYANAAA!!" Ia menggeram sendiri.

Lucy mengantuk-antukan kepalanya pada bantal kecil yang ada di hadapannya. Menghela napas, Lucy mencoba untuk berhenti mengkhawatirkan kejadian memalukan itu.

"Iya iya ga mungkin!," ia mendadak terduduk. "Lagian aku ga bakal ketemu dia lagi, kan ya? Haha. Haha." Ucapnya sembari berbesar hati.

༺༻

Jakarta, 14th Juny 2018

Sejak menuruni tangga pandangannya mengedar pada seisi ruangan. Gadis yang mengenakan seragam sekolah itu mengitari setiap ruangan. Namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Nadine disana.

Lucy bermonolog, "Apa Bunda udah berangkat?"

Oh, Lucy hampir melupakan satu ruangan yang belum ia periksa. Ruang musiknya.

Gadis yang bersurai sepunggung itu mendorong perlahan pintu ruangan berdominasi warna cokelat klasik.

"Bunda.."

Pergerakan tangannya melambat. Gadis itu memegang backpack nya ketika Nadine tersenyum dan menepuk bagian kosong di sebelah kursinya. Dengan langkah lambat, Lucyana menghampiri sang Bunda. Pandangannya menyurut sejak awal.

"Bekal nya udah diambil nak?—"

"Maaf.." Lucy semakin menurunkan pandangannya berada di sebelah Nadine. "Maaf, tadi dari kemarin Lucy udah bersikap buruk sama Bunda."

Menggeleng pelan, Nadine mendekap putrinya. Ia pun mengelus surai lembut Lucy berulang kali.

"Ga apa-apa sayang, wajar kalau kamu kecewa sama Bunda, sejak awal ini memang salahnya Bunda." Lucy menggeleng pelan dan memeluk Nadine.

"Kemarin malam Bunda bicara lagi sama Ayah kamu, dan kami berdebat."

"Tadi pas Bunda masuk ke ruangan ini, Bunda jadi ingat betapa senangnya kamu waktu punya piano dulu. Bunda ingat sebahagia apa kali pertama kamu dapat penghargaan kompetisi piano. Setiap senyum yang Lucy perlihatkan ke Bunda saat main Piano, Bunda juga ingat. Bunda pikir, ah, cantik sekali jika gadis itu selalu tersenyum,"

Ibu dan anak itu memperhatikan grand piano yang berletak di tengah ruang musik ini.

"Mau tahu kelemahan terbesar Bunda?" anak gadisnya melirik Nadine. "Ngeliat kamu nangis nak,"

Nadine menatap putrinya yang sejak awal memeluknya. "Tadi malam, Bunda baru sadar. Bunda terlalu egois selama ini, Bunda terbiasa ngeliat kamu senyum-sampai terlalu takut untuk ngeliat kamu nangis,"

"Bunda terlalu takut kamu kecewa sama Bunda kalau seandainya kamu tahu masalah Ayah dan Bunda. Terlalu takut kamu bakal benci sama Bunda waktu itu. Karena Bunda tahu kamu sayang banget sama Ayah kamu. Dan Bunda ngerasa bersalah untuk itu."

Lucyana memeluk Nadine yang terisak dengan erat. "Mana bisa Lucy benci sama Bunda."

Nadine masih mengelus putri semata wayangnya. "Bunda ga mau kamu nangis, tapi akhirnya Bunda sendiri yang justru bikin kamu nangis. Maafin Bunda ya sayang."

Lucy mendongakkan kepalanya. Menatap Nadine. Perlahan air mata Nadine turun ketika mengatakan itu.

Gadis bersurai hitam itu kemudian menggeleng. "Ngga, ini juga salah Lucy yang terlalu cepat nyimpulin sesuatu tanpa tahu alasannya, maafin Lucy juga, Bunda."

Cepat-cepat Lucy menyeka cairan bening dari mata Nadine, lalu memeluknya. "Jangan nangis lagi, Bunda, Lucy jadi ngerasa jahat."

"Lucy pikir, selama bukan Bunda yang pergi, Lucy masih bisa baik-baik aja."

Ada siratan sendu dan perasaan bersalah yang tidak sempat Lucy dapatkan dari netra Nadine.

'Mungkin kamu akan benar-benar benci Bunda setelah kebenaran yang lain terungkap.'

"Astaga," keduanya tertawa kecil saat saling menatap. "Kita stop disini nangisnya. Kamu bisa telat kalau masih nangis terus."

Lucy mengaitkan backpack nya ke pundak.

"Mau Bunda anter?" tawar Nadine.

Sedetik kemudian gadisnya mengangguk senang. Nadine lagi-lagi memperhatikan anak semata wayangnya. Gadis lugunya yang cantik, Lucyana Isabella.