"Gila, matematika gue nilainya D," desis Casey ketika melihat nilai yang tertera di dalam satu kertas halaman yang berukuran A4.
Nilai D yang artinya hampir jelek atau bahkan bisa dikatakan nyaris gagal atau sejenisnya. Casey bersumpah kalau ibunya akan marah-marah jika melihat huruf D yang berada di pojok kanan seakan meledeknya dengan warna yang merah menyala.
"Lo dapet apa?" tanya Diva teman yang duduk di sampingnya.
"D buat Diva," jawab Casey malas.
"Gue C buat Casey," sahutnya kemudian. Lalu keduanya tertawa melepaskan tekanan karena pasti akan remidi setelah pulang sekolah.
"Lo tau belom kalo yang remidi bukan Pak Husein?" tanya Diva pada Casey. Seingatnya guru matematika kelas tiga hanya Pak Husein. Tak ada yang lain.
"Gak tau, emang siapa?"
"Guru baru, masih muda. Lucu, imut, ganteng." Diva melayangkan pikirannya jauh entah ke mana. Membayangkan si guru baru yang menurutnya ganteng dan masih muda tersebut.
Meskipun guru masih muda. Kalau dia tak bisa mengajar dengan baik dan cara mengajarnya sama seperti pak Husein, Casey pikir akan sama saja.
Casey membayangkan Pak Husein datang dengan anggun lalu memberikan tugas pada murid-murid kemudian dia keluar entah ke mana lalu kembali lagi dan menyuruh untuk mengumpulkan tugas. Begitu seterusnya.
Mau protes pun Casey tak sanggup, karena kasihan lagipula Pak Husein sudah tua. Pikirnya.
"Namanya siapa?" tanya Casey pada Diva.
"Pak Dilan."
"Huh?! Yakin itu nama dia? Bukan ikut-kutan film yang viral itu?" kekeh Casey tak percaya dengan nama guru tersebut.
"Nama panjangnya Ardilan Putra. Jelas murid cewek pasti lebih suka manggil dia pak Dilan," lanjut Diva lagi.
"Keren juga," desis Casey sambil tersenyum.
Dilan akan menggantikan Pak Husein dan menjadi wali di kelas Casey dan Dara, karena sebentar lagi pak Husein akan pensiun. Itupun Casey mendengarnya dari Diva. Entah itu doa atau harapan yang pasti jika guru itu lebih baik dari Pak Husein Casey sangat bersyukur.
Karena Casey tak mau menjadi bulan-bulanan ibunya karena nilai matematikanya yang semakin hari malah semakin merosot.
"Tuh liat Cas, dia pak Dilan!" Diva menepuk pundak Casey. Mengajaknya menengok ke arah jendela di mana ada seorang lelaki yang benar-benar masih muda.
Casey menganga, dia tak berpikir jika guru itu lebih muda dari perkiraannya. Dengan rambut hitam pekat, mata yang indah lalu wajah yang putih mulus.
Ia tampak ramah seperti yang dikatakan oleh Diva, terlihat bagaimana ia mengangguk ketika murid wanita mulai menggila memanggil namanya bahkan bersiul seakan tak tahu jika yang berjalan saat ini adalah guru mereka.
"Pak! Satu tambah satu sama dengan berapa?!" teriak murid cewek kelas IPS dengan norak.
Dan lebih noraknya lagi ketika guru baru itu menjawab, "Dua."
Dan sontak murid cewek membalas, "Kalau aku tambah kamu sama dengan cinta pak!" Kemudian dia dan teman-temannya bersorak sangat ramai.
Casey menggelengkan kepalanya, berusaha menahan dan membentengi kewarasannya agar tidak keluar jalur seperti mereka.
"Norak banget ya, Div." Casey menoleh meminta pendapat pada Diva, namun entah sejak kapan teman sebangkunya itu sudah melesat pergi mengiringi jalan Dilan menuju kantor guru.
Casey mengurut keningnya yang pusing melihat huruf D yang semakin lama semakin membuatnya mual. Dan akhirnya dia memilih untuk melipatnya dengan tidak teratur lalu membuang ke tempat sampah yang ada di samping kursi guru.
**
"Casey Margareth," panggil guru baru yang bernama Dilan. Casey sontak berdiri ketika mendengar namanya dipanggil. Dilan menatap mata gadis tersebut, Casey pun menatap wajahnya.
"Sial, dia bener-bener ganteng!" umpat Casey dalam hati.
"Punya kamu?" Dilan melebarkan kertas yang sudah Casey lipat tadi dan ia buang ke tempat sampah. Guru itu menyuruhnya untuk mengambil kembali di depan mejanya sekarang.
"Cie, dipanggil Dilan," bisik Diva pada Casey.
Casey pun maju. Dengan langkah malu, bahkan langkahnya terasa kaku seperti langkah robot yang terlihat ambigu.
"Kenapa kamu buang?" tanyanya dengan lembut. Dengan wajahnya yang penuh senyum dan suaranya yang merdu.
Untuk sesaat Casey masih menikmati suara itu. Bahkan jika seharian dia diceramahi olehnya pun Casey mau.
"Nilainya jelek, saya gak bisa bawa pulang kertasnya, Pak," jawab Casey terdengar gugup. Kenapa juga dia harus memikirkan kalimat yang tepat untuknya?
Dilan hanya tersenyum kemudian memberikan kertas itu pada Casey. "Kamu duduk di meja paling depan sini, nanti saya jelaskan agar kamu dapat nilai yang bagus," kata Dilan. Casey pun seakan terhipnotis dan langsung duduk di sana.
Hanya ada tujuh orang yang mendapatkan nilai jelek saat ini, otomatis murid bisa duduk di depan semuanya. Tapi Casey? Dia diminta duduk tepat di depan meja guru. Bukankah itu aneh? Atau hanya perasaannya saja?
"Kamu mana yang belum ngerti?" tanya Dilan. Dengan satu tangan bertumpu di atas meja. Kepalanya berada di atas kepala Casey sedikit lebih tinggi, hingga gadis itu bisa mencium wangi shamponya dan aroma parfum mint yang sangat menyegarkan.
"Ini pak. Limit fungsi trigonometri. Saya bingung," kata Casey menunjuk soal-soal yang salah.
"Oh, jadi ini coba kamu .…" Casey hanya mengangguk, penjelasannya lebih mudah dia mengerti mungkin karena suaranya yang merdu.
"Gimana? Udah ngerti?" tanya Dilan.
"Ngerti, Pak."
"Kalo gitu kamu coba kerjain soal ini ya, yang salah coba kamu kerjain nanti saya cek." Dilan meninggalkan Casey menuju ke bangku lain.
Murid cewek yang tidak remidi seakan menyesal dengan menunjukan wajah mereka mengintip di balik jendela. Mereka mungkin akan sengaja mempertaruhkan nilai mereka jika tahu ternyata remidi yang mengisi pelajarannya adalah Dilan bukannya Pak Husein.
**
Casey pergi ke parkiran setelah waktu menunjukan pukul lima sore. Remidi yang menyenangkan hingga tanpa sadar kalau dia berada di kelas selama dua jam.
Karena biasanya ia akan merasa bosan jika Pak Husein yang mengajar bahkan jika itu hanya sepuluh menit, "Maafkan aku pak Husein!" desisnya tanpa menyesal.
"Casey?" panggil seseorang dengan ragu. Gadis itu pun menoleh ke belakang begitu ada yang menyebut namanya.
Casey terkejut karena Dilan sedang ada di belakangnya. Tapi kenapa?
"Punya kamu—jatuh," katanya ragu. Dia sepertinya malu mengatakan itu.
Casey melirik apa yang sedang ditunjuk oleh Dilan. Sebuah pembalut bersayap miliknya ternyata terjatuh tak jauh dari kaki Dilan.
Rasanya dia ingin mengatakan, "Buat bapak aja." Tapi itu bukan daging ayam bagian sayap. Itu adalah pembalutnya yang tak tahu diri menunjukkan dirinya di depan Dilan.
Casey berlari cepat meraih pembalut itu, sebelum Dilan memandangnya lebih lama.
"Makasih, Pak," katanya menahan malu. Image yang tak ingin dia tunjukkan pada Dilan, tapi tanpa sengaja terbongkar juga.
"Kamu pulang ke mana?" tanyanya basa-basi—mungkin.
"Ke perumahan Mutiara Dua, Pak," jawab Casey. Matanya sontak melebar seakan dia juga tahu perumahan tersebut.