webnovel

Goyah Batin

#WSAINDO2022 Suatu waktu pada bulan Agustus mendekati HUT Indonesia, Sebut saja Ei mendapat ajakan teman nya untuk melakukan pendakian di salah satu gunung favorit para pendaki yang bernama Gunung Panderman di Kota Wisata Batu. Ei yang memiliki kepribadian pendiam ini rupanya memiliki kemampuam supranatural yang ia miliki. Ia melakukan pendakian bersama 7 orang teman nya yang bernama Ryan, Simon, Putri, Risma, Shella, Siswanto dan Fajar. Mereka semua merupakan teman sekolah Ei. Saat berapa di pendakian satu persatu dari mereka mulai mengalami hal-hal di luar dari batas kemampuan mereka. Ei yang memiliki kemampuan berbeda berusaha mengontrol dan memberi rasa aman kepada teman-temannya saat berapa di jalur pendakian. Selama pendakian muncul kisah asmara antara Ei dengan Risma dan Siswanto dengan Shella. Kisah cinta mereka berempatlah yang menjadi awal di mana bencana besar bagi mereka saat melakukan pendakian tersebut, masalah yang terus saja muncul membuat mereka semua seakan frustasi untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi mereka di bebani 2 keputusan apakah mereka tetap melakukan pendakian dengan taruhan nyawa atau mereka turun mengurungkan niat mereka tapi risiko dibawah mereka akan bertemu makhluk-makhluk tidak terlihat. Pengorbanan dan kesabaran mereka semua membuahkan hasil yang mengharukan. Menggores tinta emas dalam kehidupan mereka untuk bisa mereka ceritakan pada anak cucu mereka nanti. Perjalanan cinta mereka yang di bumbui peristiwa horor yang membuat mereka saling menguatkan satu sama yang lain nya, membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat lagi. Ayo ikuti terus petualangan dari kisah Ei di dalam "Goyah Batin"

Peninus12 · Terror
Classificações insuficientes
30 Chs

26. Terror Yang Menakutkan

"Terus mereka berdua pingsan atau tidak?" tanya Mas Ryan kepadaku.

"Tidak mas, mereka berdua hanya merasakan sakit dan juga menangis, karena mereka syok juga ikut menjadi korban gangguan dari penunggu di gunung ini." ucapku pada Mas Simon.

"Ya sudah, sekarang aku harus gimana ini sama si Ryan?" tanya Mas Simon kepada aku.

"Mas Simon sama Mas Ryan itu bantuin Shella, tadi dia bahunya terkena lemparan kayu cukup besar, sedangkan aku mau membantu Risma, kasihan pelipisnya terus mengeluarkan darah bisa-bisa saja nanti dia kehabisan darah di sini dan yang fatal bisa kehilangan nyawa disini." Ucapku pada Mas Simon.

"Ya udah, aku bantuin Shella dulu ya sama Ryan." Ucap Mas Simon berlalu meninggalkanku dan juga Risma.

"Oke mas siap, terima kasih banyak." ucap ku membalas.

Mas Ryan dan Mas Simon pun pergi meninggalkan aku dan juga Risma. Mereka berdua bergegas menuju ke arah Shella yang sudah merintih kesakitan.

Mas Ryan dan Mas Simon tipe orang yang suka tantangan, pada awal sekolah dulu mereka berdua mengikuti kegiatan pramuka dan juga pencinta alam, jadi mereka berdua bisa sangat tenang menghadapi situasi seperti ini karena pengalaman mereka yang sudah cukup banyak.

Mas Ryan dan Mas Simon membantu Shella untuk duduk bersandar karena yang dikeluhkan Shella adalah bahunya, takut kalau sampai terjadi sesuatu seperti misalnya bahu Shella benar-benar patah itu nanti akan sangat fatal, akibatnya buat kami semua adalah mau atau tidak mau kita harus turun membawanya ke rumah sakit.

Sedangkan aku membantu Risma duduk, sembari aku melepaskan ikatan yang ada di kepalanya agar dia tidak merasakan pusing akibat dari tali yang aku ikatkan.

Saat aku melepas ikatannya ternyata darahnya masih terus bercucuran, buktinya kain yang aku buat untuk membalut luka di kepalanya tersebut sudah bersimbah darah.

Langsung saja aku membuka kotak P3K yang dibawakan Mas Simon dan juga Mas Ryan, karena aku tadi mencoba berjalan masih sedikit kesulitan karena kakiku masih terseret-seret sakit.

Aku langsung mencari obat pembersih luka atau antibiotik untuk membersihkan lukanya terlebih dahulu, agar tidak semakin parah dan juga bakteri yang ada di sekelilingnya bisa hilang.

"Sudah kamu jangan sedih, mana aku bersihkan dulu lukanya biar bakteri-bakteri nya hilang dan bersih, nanti biar bisa dibersihkan pakai kapas lalu kita perban lukanya." ucapku pada Risma.

Risma tidak mengeluarkan satu kata apapun, dia hanya merintih kesakitan dan nangis.

Dia mengikuti apa yang aku mint,a akhirnya dia sedikit mendekat ke arahku, aku menyuruhnya terlentang lalu aku memegang kepalanya dan menaruh kepalanya aku taruh di pangkuanku.

Aku pun menyuruhnya untuk menutupkan mata, agar dia tidak mengetahui luka yang aku bersihkan ini akan terus mengalir darahnya.

"Coba kamu pejamkan matamu, biar nanti darahnya bisa jatuhnya ke bawah tidak mengenai mata dan juga mulutmu, tapi agak sedikit tinggi ya jangan terlalu merendah nanti bisa masuk ke telingamu darahnya." ucapku kepada Risma.

Risma pun menuruti apa permintaan yang aku mau.

Aku mulai membersihkan lukanya secara perlahan menggunakan antibiotik yang ada dalam kotak P3K.

"Aduh sakit, aduh pelan-pelan ya." Rintih Risma padaku.

"Iya ini sudah pelan-pelan kok, lukanya cukup lebar jadi banyak batu kecil-kecil nya yang tersisa nyangkut di pelipis mu, jadi kalau tidak di bersihkan sampai bersih bisa bahaya, makanya agak ke dalam mengenai lukanya biar lebih steril saat aku bersihin." Ucapku pada Risma.

Aku membersihkan luka Risma sambil sesekali melihat kondisi Shella yang telah ditolong oleh Mas Ryan dan juga Mas Simon.

Mereka berdua memposisikan Shella berbaring dengan tubuh terlentang, agar tidak salah penanganan pada bahunya yang bisa saja menimbulkan cacat atau meninggal.

"Sebentar lagi selesai, habis itu lukanya aku kasih obat merah, terus aku tutup pakai kapas juga dan kain kasa lalu di balut pakai perban." ucapku kepada Risma menenangkan agar dia segera berhenti menangis.

Risma pun mulai mengurangi tensi tangisnya dan mulai memberikan respon mengangguk atas perkataanku.

Aku cukup senang karena dia masih memberikan respon kepadaku, karena aku khawatirkan dia dalam keadaan takut dan pikirannya kosong, yang bisa saja dengan mudah para makhluk halus itu masuk kedalam tubuhnya dan menguasai dia seutuhnya.

Aku mulai memberikan obat merah kepada luka yang ada di pelipis Risma, setelah itu aku pasangkan beberapa kapas pada lukanya untuk menghentikan pendarahannya. Aku meletakkan kain kasa yang tadi sudah aku potong menjadi beberapa bagian menggunakan gunting yang ada di kotak P3K.

Setelah posisi sudah benar aku mulai membuka gulungan perban ada di dalam kotak P3K lalu aku balutkan pada lukanya tersebut, agar tidak mudah terlepas hingga aku memutuskan untuk membalut kan memutari kepalanya agar lebih aman dan juga nyaman.

"Sekarang kamu tidak bisa membuka mata, karena ini sudah aku perban dengan aman, jadi kamu nggak perlu khawatir." ucapku kepada Risma.

Risma mencoba membuka kedua matanya dengan perlahan dan mencoba berdiri dari pangkuanku untuk duduk.

"Terima kasih ya kamu sudah membantu aku." ucap Risma kepadaku yang sudah mulai berhenti menangis.

"Iya siap sama-sama, aku juga berterima kasih karena kamu sudah merawatku jadi ya ini timbal balik atas perlakuanmu kepadaku." ucap ku menjawab ucapan Risma.

"Sekarang ayo kita bantu Mas Ryan dan Mas Simon, itu tadi Shella kena lemparan kayu yang besar hingga mengakibatkan dia merasakan sakit di bahunya.

Sekilas tadi saat habis terkena lemparan air tersebut dia sedikit membungkuk seperti muntah mengeluarkan cairan merah, yang aku takutkan adalah dia muntah bercampur darah dan juga mimisan.

"Gimana kamu masih kuat jalan tidak atau masih kelihatan kan jalannya?" tanyaku pada Risma.

"Masih kuat kok kalau jalan masih kuat, cuma mataku masih sedikit buram mungkin karena pengaruh dari luka yang ada di pelipisku ini mengenai saraf yang ada di sekitar mataku, jadi ya tolong gandeng tangan aku ya berjalan menuju ke arah Shella." ucap Risma kepadaku.

"Ya sudah aku bantu gandeng ke sana tapi pelan-pelan ya, karena kakiku masih cukup sakit." Ucapku kepada Risma.

Aku dibantu berdiri oleh Risma, dan dia berpegangan erat pada kedua tanganku, aku membalasnya dengan menggandeng tangannya cukup erat, menuntun dia berjalan ke arah Shella yang terlentang di sebelah sana.

"Kamu pegangan yang erat kepadaku, biar nanti kakimu tidak tersandung pada batu-batu di bawah ini." ucapku memberikan arahan pada Risma.

"Iya pokoknya aku nurut aja apa kata kamu, pokoknya mau jalan kemana aja aku juga ikut. Karena mataku masih sedikit kurang dan juga pusing." ucap Risma kepadaku.

Aku berjalan menyeret kakiku sambil menggandeng Risma yang ada di belakangku. Dia nampak khawatir pada kondisi Shella nampak dari raut wajahnya.