"Sama-sama, Ki," kata Yusuf. "Gitu aja kok."
Gantian Yusuf fokus, Zaki justru memperhatikan tiap geriknya. "Masih banyak ya, Suf?" tanyanya. "Kok mukamu kelihatan jenuh sekali..."
"Ah, ndak kok. Tinggal edit-edit sedikit sebelum diprint," jawab Yusuf sembari menekan tombol power pada printer.
"Serius? Cepet sekali, Suf?"
"Ya iya lah... kan ndak seruwet tugas kamu. Lagipula habis ini saya harus mimpin musyawarah, Ki."
"Begitu..."
"He-em."
"Berarti nanti mampir ke ruang pengurus, kan?"
"Iya lah..." kata Yusuf. Lalu mondar-mandir untuk mempersiapkan proses print. "Saya kan belum ngambil buku catatan Bahtsul Masa'il..."
"Oh..."
"Memang kenapa, Ki?" tanya Yusuf. "Mau nitip pesen ke seseorang, ya?"
"Iya, buat Hanin."
"Oh... Hanin," gumam Yusuf. "Iya, monggo. Mau pesen apa memangnya?"
"Mn, bilang saja kalau mau jaga air sempatkan kesini," kata Zaki. "Aku mau ngomong soal Pakde Fathkur soalnya."
"Pondok ditelpon lagi ya.... soal beliau?"
"He-em. Dan kemarin itu kebetulan yang ngangkat saya," aku Zaki. Tampak kepikiran.
Yusuf pun menyusun hasil print-prinannya dengan muka masam. "Memang kondisi beliau belum mendingan juga, ya?"
"Begitulah, Suf. Namanya aja sudah sampai syaraf. Belum lagi ginjalnya itu..." desah Zaki. "Dan sekarang tanggal tua. Jadi sebentar lagi harus cuci darah kalau mau dipertahankan betul."
"Astaghfirullah..." desah Yusuf. Yang malah terpaku di tempat setelah menjilid dokumennya. "Kasihan Hanin... anak itu pasti kepikiran bapaknya terus selama disini. Padahal masih harus fokus belajar juga."
"Ndak papa. Mungkin itu jalan supaya dia cepat berpikir dewasa," kata Zaki. "Toh dia juga ndak mikirin itu sendirian."
Mendengarnya, Yusuf pun tersadar. "Iya juga," katanya. "Kamu dan keluarga jangan bosan bantu dia, ya. Terus saya dan Kang Hizqil akan coba ngomong-ngomong sedikit. Biar pondok bisa bantu-bantu dana meskipun tak seberapa."
"Sekali lagi suwun ya, Suf," kata Zaki dengan senyuman tipis.
"Sama-sama, Ki." Kata Yusuf. "Mn, nanti saya kabari lagi kalau sudah ada gunem dari Kang Hizqil."
"He-em," kata Zaki. "Oh, ya... satu lagi."
"Iya?"
"Kamu jangan terlalu lembek ke Hanin, ya," pesan Zaki. "Atau siapa saja lah. Maksudku, jangan jadikan kondisi bapaknya sebagai alasan untuk begitu. Kan dia laki-laki. Umurnya nyaris 16 pula. Bisa-bisa sifat kekanakannya itu ndak sembuh-sembuh kalau begini terus."
Yusuf pun tersenyum. "Insya allah, Ki," katanya. "Cuman sebaiknya kamu bilang ke Khilmy juga kali ini."
"Khilmy?" kaget Zaki. Otot wajahnya sampai menegang samar saai itu. "Khilmy pengurus, maksud kamu?"
"Iya. Khilmy Muna," tegas Yusuf. "Memang sih... Hanin itu susah bergaul. Tapi faktanya mereka berdua malah dekat sekali sekarang."
"Benarkah?" tanya Zaki. Seolah tak percaya.
"Tepatnya sejak setahun lalu," jelas Yusuf. "Kamu ndak tahu to, Ki?"
"Ndak..." gumam Zaki. "Sepertinya, ya... baru tahu dari kamu, Suf."
"Masak Hanin ndak pernah cerita, sih..." kata Yusuf. "Bukankah kalian berdua dekat sekali?"
"Yahh... begitulah, Suf," desah Zaki. "Tahu sendiri, kan. Seribut apa aku sekarang?"
Mendengarnya, Yusuf pun diam. Sebab Zaki benar. Dia memang begitu sibuk sejak tahun ini. Sebab, meskipun hanya naik ke jabatan wakil ketua, tugasnya justru merangkap-rangkap setiap kali Zuhri berhalangan pergi.
"Begitu toh," kata Yusuf pada akhirnya. "Soalnya saya dulu di gedung satu bareng mereka. Posisimu ada di gedung dua pula. Pun Khilmy belum jadi pengurus atau abdi. Makanya dia masih punya banyak waktu buat para santri. Contohnya Hanin. Jadi sedikit banyak saya tahu, lah..."