"Jadi ini Mas yang kamu bilang ke Bali?"
Mataku tajam menatap bergantian dua insan yang terlihat sedang sangat salah tingkah di depanku itu. Benar-benar tak kusangka kejadiannya akan sedramatis ini. Aku bahkan tak mengira akan memergoki suamiku berjalan bersama dengan gadis itu secepat ini.
"Han, aku bisa jelaskan," Mas Reyfan bergerak maju mendekatiku. Sementara si gadis nampak terdiam mematung di tempatnya. Wajahnya menunduk lesu seperti seekor cacing yang takut akan diinjak.
"Ya sudah, ayo jelaskan!" tantangku.
"Ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat, Han. Kita bisa duduk dulu kan, kita bicarakan baik-baik," bujuknya.
"Bicara aja langsung sekarang! Aku sudah selesai dengan kakakmu, aku sudah mau pulang." Aku menoleh ke arah mbak Ratri yang juga masih mematung di tempatnya semula. Jelas sekali wajah wanita itu menyiratkan kecemasan.
"Nggak nyangka ya Mas, kelakuan kamu di belakang aku ternyata kayak gini." Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil berkacak pinggang.
"Kamu jangan salah sangka. Dengerin dulu, Han! Jangan marah-marah gitu. Ini nggak seperti yang kamu lihat." Dia masih ngotot tidak mau mengakui kesalahan.
"Apa? Kamu pikir aku anak kecil, Mas? Aku nggak perlu ya sampai harus melihat kalian mesra-mesraan di depanku hanya untuk tau kalau kamu itu sudah berkhianat. Menjijikkan sekali!" umpatku kasar.
"Han! Tenang dulu! Bisa nggak sih dengerin dulu penjelasanku?"
Aku tak mengindahkan kalimatnya. Aku justru bergerak maju menghampiri si gadis yang masih nampak tertunduk lesu dan takut-takut.
"Hei, kamu!!! Anak ingusan! Dibayar berapa kamu sama suamiku buat tidur sama dia?" tanyaku kasar. Aku sendiri tidak menduga bisa bicara sebegitu kasar dengan seseorang.
"Hani! Jaga bicara kamu!" Mas Reyfan tiba-tiba sudah ada di sampingku, berteriak ke arahku.
"Ooh, jadi begini sekarang Mas? Kamu bentak-bentak istrimu demi membela gund*kmu ini?" teriakku lantang.
"Kamu bisa tenang dulu nggak sih, Han? Jangan buat aku kehilangan kesabaran, pliss Hani!" Wajah Mas Reyfan terlihat mulai frustasi. Dia menarik rambutnya dengan kedua tangannya ke belakang kepala.
"Ayo bilang! Kamu dibayar berapa buat nyenengin lelaki beristri ini, hah?!" Bentakku ke arahnya yang tetap tak bergerak di tempatnya. Lagi-lagi tak kuhiraukan Mas Reyfan yang sudah memerah wajahnya menahan amarah.
Kejadian ini benar-benar membuatku hilang kendali. Sungguh suatu kebetulan yang terlalu cepat dan membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Dalam hatiku hanya ada kemarahan, kebencian, dan jijik melihat manusia-manusia tidak tahu malu di sekelilingku ini.
Aku tahu sekarang apa peran wanita yang kusebut sebagai kakak ipar itu dalam perselingkuhan suamiku. Sebagai kakak dia justru ikut melindungi kelakuan adiknya yang busuk dibanding mencegah perpecahan dalam rumah tangga kami.
Muak, benci, jijik membuatku tak kuat lagi menahan caci maki untuk kutumpahkan dari mulutku. Beruntung aku bukan orang yang terbiasa bertindak kasar, hingga gadis itu tak perlu mendapatkan amukan secara fisik dari kemarahanku. Walaupun sebenarnya ingin sekali rasanya kucabik-cabik wajah cantiknya yang telah membuat suamiku berpaling itu.
"Kamu juga, Mbak. Aku bener-bener nggak nyangka ya kamu justru menutupi kelakuan busuk mas Reyfan, bahkan sampai menyembunyikan gund*knya di rumahmu. Nggak ngerti aku jalan pikiranmu itu." Aku mendecih.
"Hani cukup!" teriak Mas Reyfan. "Udah cukup kata-kata kotormu itu, Han. Kamu nggak berhak bicara begitu pada mbak Ratri." ujarnya tetap dengan nada keras.
"Oya? Kenapa? Karena dia pelindungmu? Beraninya sembunyi di belakang perempuan. B*nci kamu, Mas!" Lagi-lagi aku mengumpat kasar. Dan tiba-tiba ...
Plakk!!
Mendidih darahku dan panas rasanya sekujur tubuhku menerima perlakuan suamiku yang begitu mendadak. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan rumah tangga kami, dia menamparku. Sungguh sangat sakit. Tapi sepertinya lebih sakit lagi apa yang ada di dalam hatiku. Rasanya bagai teriris, perih bukan main. Dia bahkan melakukannya di hadapan gund*k dan kakak yang menutupi kebusukannya.
"Hani, maafkan aku, Sayang. Seharusnya tidak seperti ini," Mas Reyfan mengulurkan dua tangannya padaku barusaha meraih wajahku yang saat ini masih kututup sebagian dengan telapak tangan karena menahan sakit atas tamparannya. Kulihat raut penyesalan di wajahnya. Namun dengan kasar aku menepis uluran tangannya dengan satu tanganku.
"Sudah Rey, biarkan saja dia! Mbak juga mau lihat dia bisa apa kalau tanpa kamu. Wanita yang bisanya hanya di rumah saja seperti dia, hanya bisa menengadahkan tangannya pada suami. Bisa apa dia?"
Mbak Ratri tiba-tiba berseru dari tempatnya berdiri dan itu sontak membuatku kaget. Biasanya sikapnya padaku manis tak menampakkan ketidaksukaan padaku. Tapi hari ini, ternyata sifat ibl*snya muncul. Dia mengeluarkan kata-kata yang kurasa sepertinya sudah dipendamnya sejak lama terhadapku.
Aku segera menoleh dan menatap ke dalam mata wanita itu dengan tajam. Di mataku, wajah Mbak Ratri tiba-tiba berubah menjadi seperti seorang wanita bengis. Aku tersenyum kecut ke arahnya.
"Baik! Kita lihat saja, apa yang bisa wanita lemah ini lakukan pada kalian semua!" teriakku. "Kamu!" Aku menunjuk ke arah mbak Ratri, "Kamu!" Lalu ke arah gadis tak tau malu itu. "Dan juga kamu, Mas," kataku. "We'll see."
Usai mengatakan itu, aku segera berlalu dengan langkah cepat meninggalkan pelataran rumah kakak iparku tanpa menoleh lagi. Bergegas aku menuju mobilku yang dan segera meninggalkan tempat terkutuk itu.
Perih, rasanya hatiku begitu perih melihat kenyataan yang baru saja kualami. Walaupun sebenarnya selama ini aku sudah menduga apa yang dilakukan suamiku di belakangku, namun melihatnya sendiri dengan mata kepalaku, apalagi justru kakaknya mendukung perbuatan busuknya itu, membuatku sangat sakit.
.
.
.
Sampai di rumah, kulihat Mbok Jum baru saja selesai menidurkan Keenan di kamarnya. Dahi tuanya bertambah berkerut melihat raut wajahku yang kalut.
"Bu, ada apa?" tanyanya cemas.
"Tidak apa-apa, Mbok. Aku ke kamar dulu. Aku kurang enak badan," kataku, lalu bergegas ke dalam kamar dan menangis sejadinya disana. Br*ngs*k kamu Mas, kamu benar-benar tega melakukan semuanya ini padaku.
Mbok Jum datang tak berapa lama menyusulku ke kamar. Membawakanku secangkir wedang jahe kesukaanku. Minuman hangat itu lumayan membantuku merasa lebih nyaman. Lalu setelah beberapa saat aku pun mampu bangkit dan duduk menyenderkan diri di headboard tempat tidur.
Semua ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Aku harus bertindak. Setidaknya omongan mbak Ratri tadi membuatku tercambuk. Dia benar, selama ini aku memang bodoh, selalu hanya bisa meminta dan meminta pada mas Reyfan, tanpa berpikir bagaimana caranya aku mampu berpijak pada kakiku sendiri.
Sayang sekali, rencanaku sebelumnya belum sepenuhnya berhasil, tetapi kejadiannya justru terlanjur seperti ini. Sekarang apa? Aku perlu berpikir lebih keras untuk membalikkan keadaan ini. Akan kubuat mbak Ratri tidak bisa lagi merendahkanku, begitupun mas Reyfan.
.
.
.
Belum juga bisa memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya, malam itu kupeluk erat Keenan dalam tidur. Berdoa semoga anak kecil ini tak menyadari kepedihan apa yang sedang menimpaku. Kuelus rambut hitamnya yang lebat dengan lembut. Membuatnya sedikit menggeliat, namun kembali memejamkan mata dengan damai.
Haruskah aku putuskan untuk untuk berpisah dari mas Reyfan saat ini juga? Lalu bagaimana dengan Keenan? Apa yang akan terjadi padanya nanti saat kami berpisah?
Lamunanku tentang putra semata wayangku buyar ketika tiba-tiba kurasakan ada yang meringsek di belakangku naik ke atas tempat tidur.
"Belum tidur, Sayang?" Suara mas Reyfan mengagetkanku. Ternyata dia sudah pulang. Aku berusaha tidak menoleh ke arahnya. Rasanya masih begitu jijik melihatnya membohongiku dan justru sedang bersama wanita lain.
Aku menggeser tubuhku lebih mendekat ke arah Keenan, menjauhi suamiku.
"Mau apa kamu pulang?" tanyaku tanpa menoleh.
"Han, tolong maafkan aku. Aku benar-benar khilaf. Aku tidak tau akan jadi seperti ini."
Aku sama sekali tak berniat untuk menjawabnya. Sakit hatiku saat dia menamparku di depan gund*k itu benar-benar sangat dalam.
"Hani, pliss Sayang, maafkan aku," katanya lagi berusaha menyentuh pundakku namun kutepis begitu saja.
"Kamu pikir aku bisa memaafkan perbuatan kamu begitu saja? Pernah nggak berpikir kalau kamu ada di posisiku? Kira-kira apa kamu akan mau memaafkanku, Mas?" Aku berkata sambil tetap tak bergeming. Namun aku bisa melihat dari ekor mataku, dia sedang duduk di atas tempat tidur kami dengan wajah murung tak bersemangat.
"Aku akan memperbaiki kesalahanku, Han. Aku janji. Tolong cobalah untuk memaafkanku. Aku akan berusaha lebih baik," katanya.
"Apa jaminanmu?" Entah kenapa mendengar permohonan maafnya itu membuatku tiba-tiba memiliki ide yang sungguh gila.
"Kamu mau apa, Sayang? Katakan saja! Aku akan memberikannya asal kamu bisa maafin aku. Aku nggak bisa kehilangan kalian. Kamu dan Keenan."
Aku tiba-tiba bangkit duduk menghadap ke arahnya, menatap lekat ke dalam matanya, memastikan bahwa apa yang baru saja dikatakannya itu sungguh-sungguh.
"Yakin kamu mau menuruti semua keinginanku jika aku maafkan?" tanyaku memastikan.
"Aku janji, Han." katanya pasti. Dan aku mengulum senyum, bertepuk tangan untuk diriku sendiri dalam hati.