webnovel

Daging

Saya berada di tengah kerumunan para penduduk kota ini. Saya berada di antara para pedagang-pedagang yang melakukan transaksi mereka dengan para penduduk kota ini. Saya berdiri percis di tengah-tengah tempat ini bukan karena kemauan saya, tapi saya di sini karena saya telah menginjak kotoran kuda.

"Astaga, sial sekali."

Para pedagang yang membawa kuda mereka terkadang tidak menghiraukan kuda mereka yang berak sembarang di jalanan ini. Mereka membuat jalanan ini dipenuhi kotoran-kotoran kuda ketika mereka melewatinya. Ini kebiasaan buruk mereka, dan saya menerima akibat dari itu.

Saya mau tidak mau harus menyeret kaki saya supaya kotoran kuda yang menempel di sepatu saya menghilang karena tergesek oleh tanah yang kasar. Saya mau tidak mau harus melakukan itu meskipun menciptakan suara yang mencolok.

Saya melakukan itu sampai tiba di depan pedagang langganan saya.

Banyak daging tersusun di sana. Mereka terpajang begitu saja meskipun para lalat menyergapi mereka.

"Oh, Pak Darren. Seperti biasa?"

Dia tampak tahu maksud dari kedatangan saya di sini. Yeah, lagi pula, he memang menjadi pedagang langganan saya, yang paling sering saya kunjungi di kota ini. Tapi, untuk kali ini, saya tidak memesan seperti yang biasa saya pesan, yakni daging sapi yang berkualitas bagus. Saya di sini karena ingin membeli daging ayam.

"Kali ini, saya pesan ayam."

"Oh, tumben sekali. Ada apa?"

"Yeah, kau tahu, aku bosan dengan daging sapi. Jadi untuk hari ini, saya ingin makan daging ayam."

Sebenarnya itu bukan karena saya yang bosan, tapi Helena-lah yang bosan. Asal kau tahu, saya tidak pernah bosan untuk memakan daging sapi. Bila ini bukan untuk Helena, saya pasti sudah memilih daging sapi daripada daging ayam.

"Baiklah. Aku siapkan terlebih dahulu."

"Terima kasih."

Berbeda dengan daging sapi, daging ayam harus dipersiapkan terlebih dahulu olehnya. Si pedagang itu harus memotong ayam yang masih hidup terlebih dahulu sebelum memberikan daging itu ke saya. Dia telah menyewa beberapa karyawan, yang berada di tirai di belakangnya itu, hanya untuk mempersiapkan itu. Maka dari itu, perlu waktu hingga daging ayam itu siap dan diberikan ke saya.

Saya menunggu itu dan mulai merokok dan memperhatikan jalanan di sekitar tempat ini.

Di sana, tepat di depan saya sekarang, di seberang lapak si pedagang daging ini, toko peralatan sihir berada. Itu jual beberapa alat-alat sihir yang sangat bagus. Itu tidak sebagus dengan yang berada di pusat pembelajaran kota, yang dimiliki oleh seorang bangsawan, tapi setidaknya kau bisa mendapatkan alat sihir yang cocok untukmu.

Tidak jauh dari sana, terdapat toko senjata. Itu berdiri tepat di samping toko alat sihir. Toko itu menjual segala senjata. Saya mendapatkan segala senjata dari sana—tidak, saya membeli segala senjata dari sana. Mereka menjual dengan harga murah kepada saya, tentu saja. Saya membeli segala senjata di sana setiap kali toko itu sepi. Tapi untuk kali ini, karena di dalam toko itu tampaknya sedang ramai, yang begitu banyak orang-orang berpakaian zirah, saya tidak akan ke sana. Alasannya, tentu karena tidak akan mendapatkan potongan harga karena sang pemilik toko akan merasa terancam.

Tempat ini sangat strategis untuk mendapatkan hal-hal yang saya inginkan. Tempat ini tidak terlalu jauh dari pintu masuk ke kota ini, bahkan sangat dekat dengan terminal kereta kuda itu. Maka dari itu, setiap kali sebelum saya pulang, saya selalu mampir ke sini dan membeli daging.

Dibandingkan dengan pusat pembelanjaan yang didirikan oleh salah satu bangsawan, yang memiliki harga cukup mahal, yang rata-rata satu barang adalah 1-3 keping emas, saya memilih berbelanja di sini.

"Daging ayammu sudah selesai, Pak Darren." Si pedagang itu datang dari arah belakang saya, menyampaikan bahwa daging ayam saya telah siap.

"Berapa harga untuk itu?"

"Satu keping perak."

Lihat, murah, 'kan?

"Terima kasih," Saya menerima itu dan he menerima satu keping perak dari saya.

Saya pergi dari tempat itu.

Ketika saya tiba di terminal kereta kuda, saya melihat beberapa orang yang saya kenal berada di sana.

Saat matanya bertemu dengan saya, he menyeringai.

"Bukankah itu kau, Pak Darren?"

Dia adalah si pemimpin Serikat Petualang. Dia berada di sana bersama beberapa bawahannya dan beberapa kesatria. Mereka tampaknya sedang mengantarkan sesuatu sehingga mereka berada di sana.

Saya mau tidak mau harus menyapanya dan ke sana. Itu supaya saya terlihat sopan.

"Kau selesai berbelanja?" Dia bertanya setelah melihat barang bawaan saya.

"Well, begitulah."

"Mendengus."

Seorang wanita dari ras Human Beast, manusia setengah hewan, yang memakai zirah dan kemungkinan adalah salah satu kesatria raja, mendengus. Saya menyadari itu karena suara dengusannya cukup kencang untuk dapat saya dengar. Meski begitu, saya mencoba untuk mengabaikannya.

"Ngomong-ngomong, untuk apa kau berada di sini, Pemimpin?"

Saya menanyakan itu karena saya tidak tahu. Mereka berada di terminal kereta kuda, yang berarti mereka mengantarkan seseorang yang penting, entah itu bangsawan ataupun yang memiliki derajat tinggi. Maka dari itu, saya bertanya itu terlebih dahulu agar tahu siapakah yang mereka antar itu.

"Kau ingin tahu?"

Saya mengerti bahwa he menanyakan itu untuk meledek saya. Itu seakan saya tidak pantas untuk mengetahui itu.

"Baiklah kalau kau memaksa. Saya mengantarkan Pahlawan Api. Dia berangkat hari ini untuk menjalankan quest dari Serikat Petualang."

"Quest seperti apa?"

Saya secara spontan menanyakan itu.

"Ah. Baru-baru ini naga yang seharusnya tertidur malah bangun. Dia dan beberapa partainya harus menyelidik naga itu sebelum semuanya terlambat. Kau tahu apa yang akan terjadi bila terlambat, 'kan? Naga itu akan menuju ke sini, dan dengan mudah, nada itu bisa menghancurkan kota ini. Untuk mengantisipasi itu, jadi he dan partainya harus memusnahkan naga itu sebelum naga itu ke sini."

Itu adalah quest yang sangat sulit. Pantas saja Serikat Petualang menyuruh sang Pahlawan Api untuk melakukan itu.

Terdapat 4 Pahlawan yang sangat kuat di negeri ini. Mereka berada di posisi atas dari para petualang lainnya. Mereka berada di posisi kelas S+, tingkat yang lebih tinggi dibandingkan kelas S.

Pahlawan-pahlawan itu memiliki kekuatan berdasarkan sebutan mereka. Sang Pahlawan Api, yang memiliki kekuatan sihir unsur api yang sangat luar biasa, yang mampu membakar siapa saja. Sang Pahlawan Bumi, yang memiliki kekuatan sihir unsur bumi yang sangat luar biasa, yang mampu meratakan siapa saja. Sang Pahlawan Air, yang memiliki kekuatan sihir unsur air yang sangat luar biasa, yang mampu menetralkan siapa saja. Dan sang Pahlawan Angin, yang memiliki kekuatan sihir unsur angin yang sangat luar biasa, yang mampu memorak-porandakan siapa saja. Mereka menggambarkan keempat elemen dasar; api, air, bumi, dan angin.

Mereka adalah keempat pahlawan yang kuat dan paling dihormati di negeri ini. Mereka terkenal, dipuja-puja penduduk negeri ini. Mereka adalah pahlawan.

Meski begitu, sama seperti biasanya, ketika saya melihat wajahnya di dalam kereta kuda itu, wajah sang Pahlawan Api itu sama sekali tidak pernah berubah, terlihat begitu angkuh dan elegan.

Dia memiliki rambut merah dan pakaian serba merah. Wajahnya sangat emosional, menggambarkan api yang membara yang tidak bisa dipadamkan. Dia adalah salah satu pahlawan yang bisa kau bilang sombong dan angkuh. Untuk itu, hanya melihat wajahnya saja kau tahu bahwa kau tidak boleh mendekatinya.

Setelah melihat sang Pahlawan Api duduk di dalam kereta kuda itu, mata saya berpindah ke si pemimpin Serikat Petualang itu.

"Jadi begitu. Bagaimana dengan pahlawan yang lainnya? Mengapa mereka tidak kau ikut sertakan?"

"Untuk apa? Dia saja sudah cukup untuk melakukan itu."

Tampaknya si pemimpin Serikat Petualang terlalu percaya kepada sang Pahlawan Api dalam quest itu, itu menandakan bahwa sang Pahlawan Api tidak membutuhkan bantuan dari pahlawan-pahlawan lain.

"Baiklah, lagi pula itu bukan urusan saya juga."

Untuk apa saya mengharapkannya juga? Saya tidak terlalu kenal dengan para pahlawan-pahlawan itu, jadi untuk apa saya berharap kepada mereka? Apa yang akan saya dapatkan bila saya berharap dari mereka? Tentu tidak ada.

"Aku mencium sesuatu."

She masih melakukan itu. She masih mengendus-endus di sana.

"Ada apa?" Seseorang di dekatnya bertanya.

"Aroma ini sangat aneh. Aku tampak tidak asing, tapi terasa begitu asing juga. Hmm, ini aroma apa ya kira-kira? Hhmm..."

Saya tahu bahwa ras Human Beast memiliki indra yang lebih tajam daripada ras Human. Saya tahu bahwa she dapat mencium sesuatu lebih tajam. Tapi, entah bagaimana, saya benci ketika she melakukan itu, mengendus-endus.

"Ini aroma demon. Ini adalah bau dari demon."

"Apa maksudmu?"

Dari percakapan yang dapat saya dengar itu, saya memutuskan untuk pergi dari sana.

Tampaknya she seperti itu karena ada saya di sana. Aroma tubuh saya pasti sudah bercampur dengan aroma tubuh Helena. Itu wajar saja, karena saya tinggal bersama Helena, yang merupakan vampir dari ras Demon. Bila saya terus berada di sana, she akan menyadari bahwa aroma itu berasal dari saya.

Saya pergi dari sana, dan pulang ke rumah.

"Aku pulang."

Masuk ke dalam rumah saya, saya melihat Helena berbaring di sana. Kepalanya berbaring tepat di atas buku itu, itu berarti she tertidur saat membaca buku itu.

Saya menyelimutinya dan saya tidak memindahkannya dari saya, jadi itulah mengapa saya dengan cepat pergi ke dapur untuk memanggang daging ayam yang baru saja saya beli ini.

Selesai memasak, dan menyadari bahwa hari sudah mulai gelap, saya menaruh sebagian daging ayam tepat di samping wajah Helena.

She mengendus, tahu ada sesuatu di dekatnya. Lalu, she membuka matanya, menatap daging ayam itu, dan mendorong piring yang berisikan daging ayam itu dan menatap saya.

"Daging lagi?"

"Memang apa salahnya dengan daging, hah!? Lagi pula, ini adalah daging ayam. Jadi ini seharusnya bukan masalah untukmu. Hai, Helena, ini adalah daging ayam, bukan daging sapi, jadi makanlah sekarang!"

"Tetap saja itu adalah daging. Aku bosan memakan daging. Jika itu memang daging, dibandingkan dengan daging ayam ataupun daging sapi, saya lebih menyukai daging Goblin ataupun Orc."

Keinginannya tidak bisa saya penuhi karena keterbatasan saya. Jadi itulah mengapa she memasang ekpresi tidak nyaman di depan saya saat berbicara.

Saya rasa, saya tidak memiliki kemampuan yang baik untuk merawat seseorang. Saya rasa, saya tidak bagus untuknya. Saya rasa, saya telah menjadi pria yang buruk untuknya. Saya rasa, she tidak nyaman berada bersama dengan saya. Saya rasa, saya benar-benar pecundang.

"Maaf..."

Hanya kata-kata maaf saja yang bisa saya utarakan di depannya karena ketidakmampuan saya dalam memenuhi kebutuhannya itu.