webnovel

SUCI : Tawanan

"Ambilkan seragam dan jaketku!" perintahnya dengan suara kaku.

Buru-buru aku masuk ke dalam untuk melaksanakan perintahnya. Ardi ikut masuk ke dalam untuk mengambil tas dan kameranya. Saat tubuh kami berpapasan di ruang keluarga, tangan Ardi mencengkram lenganku.

"Awas, kalau genit!" ancamnya. Aku tercekat dalam kebisuan. Separah itukah kecemburuan Ardi?

"Aku enggak genit Mas, aku hanya. .." dengan suara lirih aku berusaha menjelaskan. Takut didengar pemuda di depan. Akan tetapi, belum putus kalimatku, telah dipotong olehnya.

"Enggak usah ngeyel. Aku lihat sendiri tadi. Hmmm ... kamu suka brondong?" tuduhnya memojokkan.

"Mas, apaan sih? Jangan sembarangan," kataku membela diri. Tak lama kemudian aku merasa pegangan tangan Ardi di lenganku semakin mengencang.

Aku meringis kesakitan. Ardi pun tersadar dan segera melepaskan genggamannya. Padahal, luka di tangannya baru saja kuganti perban. Kenapa ia tak ingat cemasnya aku saat dia terluka, dan malah sekarang ia gunakan tangannya itu untuk melukaiku? Sekalipun tak terjadi apa-apa pada lenganku, namun hatiku terasa sakit. Sangat sakit.

"Aku pergi dulu, jangan ke mana-mana tanpa seijinku," tegasnya kemudian.

"Tapi aku harus belanja, Mas. Bahan makanan di rumah habis," keluhku dengan nada putus asa.

"Belanja warung dekat rumah aja. Atau order Go Food juga banyak pilihan. Ingat, jangan suka cari-cari alasan. Aku tak larang kamu mau makan apa. Tak harus juga kamu siapin makanan buat aku. Yang penting, jangan buat aku kesal dengan sikapmu yang kegenitan," pesannya lagi sebelum berangkat kerja.

Aku terdiam. Ada tamu di depan. Aku tak ingin terlibat pertengkaran dengannya sepagi ini. Dan lagi, ya Tuhan apapun yang aku katakan, ia bilang apa tadi? Cari-cari alasan? Apakah itu tidak keterlaluan? Aku istri atau tawanan?

Setelah mengucap salam, Ardi pun berlalu dengan rekannya. Tinggal aku sendirian bersama kehampaan.

Apakah aku akan hidup seperti ini hingga seterusnya? Hidup dalam berbagai tekanan karena endapan kecurigaan dan segunung kecemburuan? Bagaimana nanti jika aku harus berangkat kerja, mengurus butikku, atau ikut acara-acara kajian yang sudah jadi bagian keseharianku selama ini?

Aku jadi cemas jika Ardi akan mencabut hidupku seluruhnya dari akar, untuk ia tanam kembali di pot sempit yang terhalang pagar beton. Sekalipun semua atas nama cinta, tetapi dapatkah aku bertahan dan beradaptasi dengan segala intimidasi untuk mempertahankan hubungan ini?

Semakin kupikirkan, semakin sulit kubayangkan. Semakin sesak nafasku. Ia, membuatku terbang ke nirwana lalu menghempaskanku kembali ke ruang hampa. Tanpa teman, tanpa kegiatan. Hanya ada aku dan Tuhan.

***

Dari sejak malam pertama, aku tahu ini akan terjadi. Semua kekhawatiranku, bahwa selamanya Ardi tak dapat percaya padaku lagi, sudah kuprediksi. Tapi bukan berarti aku siap menghadapi segala konsekuensinya.

Ada sudut hatiku yang berontak. Tak terima diperlakukan sebagai pendosa. Namun, sisi hatiku yang lain dapat memaklumi. Apalagi Ardi sudah bermurah hati tak mengungkit-ungkit kembali masalah keperawanan. Sebaliknya, dia menunjukkan penerimaan yang besar dengan konsisten menghujani pelukan dan ciuman setiap ada kesempatan.

Sebagai wanita yang pernah ternoda, aku tak ingin menuntut apa-apa. Hanya menerima. Bersabar menjalani semuanya. Jika dia sulit percaya, adalah tugasku untuk menyakinkannya. Namun kejadian tadi, mau tak mau membuat aku merenung panjang. Tak tahukah Ardi, sendiri di rumah, hampa rasanya. Aku tiada berkawan, dan tak ada pekerjaan rumah yang dapat kukerjakan.

Kuputar-putar cincin kawin darinya yang tersemat manis di jemariku. Cincin emas seberat 5 gram tersebut adalah simbol ikatan yang indah. Ia berharga, berkilau, namun untuk bisa berbentuk cincin secantik ini, bongkahan emas butuh tempaan yang dahsyat. Begitu pula perjalanan cincin itu ke jemariku. Bukanlah sebuah perjalanan yang mudah.

Berkali-kali aku menjalani hubungan dengan pria. Berharap serius. Namun baru Ardi sajalah yang benar-benar menunjukkan tekadnya.

Dia jantan, tak perlu menunggu lama langsung melamar. Dia tangguh, memperjuangkan segalanya sendirian. Bahkan di awal pernikahan, ia telah membeli rumah baru untuk kami tinggali. Memasrahkan kartu ATM-nya untuk kugunakan mendekorasi rumah ini.

Saldonya cukup fantastis untuk seorang karyawan di kantor berita. Meski begitu, diam-diam aku memakai uang pribadiku untuk membeli beberapa perabotan rumah tangga. Aku tak sampai hati menguras tabungannya untuk keperluan kami berdua.

Dari situ aku tahu, Ardi seorang pekerja keras. Seorang yang hemat, tidak boros dalam pengeluaran seperti umumnya lelaki. Karena itu, aku semakin mengagumi pribadinya.

Ardi juga tampan dan sopan. Sungguh tak ada alasan bagi wanita manapun untuk menolak lamarannya. Apalagi kemudian aku tahu, dia juga pandai mengaji. Sangat jauh jika dibandingkan aku yang saat kecil sering bolos TPQ.

Namun di setiap kelebihan, terselip banyak kekurangan. Kekurangan yang tidak aku ketahui sebelumnya. Dan itu baru kutemukan setelah sah menjadi istrinya.

Ardi tipe pria egois, emosional, posesif, dan pencemburu. Apa ia memang begitu? Mulanya aku pikir itu karena masa lalu kami berdua. Namun jika dia gagal move on dan terus memperlakukanku bagai tawanan, apa aku bisa tahan?

***

Tingtong, Tingtong, Assalamu'alaikum.

Belum lama Ardi pergi bersama rekannya, dan dua jam kemudian sudah kembali. Mungkin ada yang ketinggalan.

"Wa'alaikumsalam. Mas, sudah pulang? Kok cepet?" Kubuka pintu, kulihat jam masih siang.

"Katamu bahan makanan habis. Aku beli banyak," ungkapnya sambil meletakkan tiga bungkusan besar aneka belanjaan dapur. Entah dari mana ia memborongnya. Yang jelas aku syok.

Pria sesibuk dan sepenting dia, hingga saat bolos pun dijemput paksa oleh atasannya, buat apa repot-repot belanja begitu banyak? Bukankah itu tugas wanita? Tugasku. Jadi saking tidak percayanya dia padaku, kini urusan belanja pun ia sabotase? Menyedihkan.

Secepat kilat kuolah emosi. Menganulir berbagai prasangka negatif agar tidak merusak suasana.

Suci tahan diri! Berpura-puralah tak ada apa-apa, meski jelas-jelas ia telah menyinggungmu. Sebuah bisikan yang sangat kuat menyadarkanku.

Aku sadar kemerdekaan sebagai ibu rumah tangga telah terang-terangan dijajahnya, namun aku tak yakin Ardi akan siaga belanja seterusnya. Sabar, nanti pasti akan kembali jadi kewenanganku. Tak usah dibesar-besarkan.

Kutanya apa dia sudah makan, jawabannya membuatku terdiam. Ia mengajak ke kamar. Siang-siang begini? Sebenarnya aku mau, tapi .... Oh, aku malu harus mengaku bahwa aku tak bisa karena tamu bulanan sudah tiba. Lalu baru pertama kali ini kulihat dia salah tingkah. Ulahnya seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuka di saat jam puasa.

Ingin tertawa, tetapi takut menyinggungnya. Ardi menautkan kedua jarinya. Jadi begitu jika dia gugup. Tak kusangka, pria segagah dia bisa gugup juga.

Ardi kemudian menutupi malunya dengan mengumumkan hendak ke Cianjur karena tugas liputan. Sebenarnya aku sedih harus berpisah begitu cepat, tetapi mendengar kalimatnya kembali bermuatan curiga, tak urung aku kesal. Kenapa setiap respon yang kuberikan menjadi sebuah kesalahan baginya? Ah, menyebalkan.

Sebenarnya Ardi pria yang baik. Penuh perhatian, namun sayang tidak pengertian. Padahal aku tak suka pria yang sensitif, apa-apa jadi perkara. Sudah terlanjur, kini dia imamku. Harus kuhormati, meski kadang bertentangan dengan kehendak hati.

***

Kubuka belanjaan. Lengkap juga. Dan ada ikan nila yang masih dalam keadaan segar. Belum dibersihkan. Dari mama aku tahu ikan nila salah satu favoritnya. Tapi apa Ardi tahu bahwa aku tak pandai memasak?

Sudahlah, tak ada alasan untuk mengeluh. Kuambil ponsel, dan mulai googling cara memasak ikan nila, plus cara membersihkannya. Alhamdulillah berhasil, rasanya tak kalah dengan di warung-warung Lamongan.

Kukira Ardi akan makan dengan lahap seperti sebelumnya. Namun, ia seolah kehilangan selera. Aku kembali bertanya-tanya. Apakah ada yang salah dengan masakanku? Atau ada masalah di tempatnya bekerja? Ia bilang enak. Jadi, mungkin masalah ada di kantornya. Atau justru masalahnya di rumah ini, karena ia belum melupakan peristiwa tadi pagi?

"Mas, gimana rasanya?" tanyaku melihat raut mukanya tak bersahabat.

Ardi tak menjawab, malah pergi begitu saja. Meninggalkan makannya yang belum paripurna.

Aku menghela nafas. Berusaha sabar ketika tiba-tiba Ardi meninggalkan meja makan dan menyalakan televisi di ruang keluarga. Apakah ia selalu menghindar setiap hatinya merasa tak nyaman? Segera kususul. Tak apa, kurendahkan egoku untuk menjamah hatinya.

Sebagai jurnalis handal, aku optimis tidak ada masalah pekerjaan yang membebaninya. Justru melihatnya terus gelisah semenjak pulang, aku yakin itu karena aku. Mungkin dia takut aku akan berselingkuh seperti mantan istrinya, di kala ia pergi ke luar kota.

Ardi, Ardi, sulit sekali menyakinkan pria ini. Tapi aku harus bisa. Aku sudah berjanji untuk mengobati semua sakit hatinya. Aku harus konsekuen. Lagipula Ardi benar, akulah yang lebih dulu menoreh luka di hatinya yang semula basah oleh cinta.

***