webnovel

SUCI : Surga yang Kurindukan

Satu garis. Tentu saja hasil testpack itu negatif. Aku sudah suci semenjak mulai berkenalan dengan jilbab.

Ardi melihat hasil testpack itu. Ada kelegaan membayang di matanya. Meskipun, awalnya ia bilang tak apa jika aku enggan melakukan. Namun, dari nada suaranya saat itu, ada ragu yang masih berpendar.

Apa susahnya melakukan itu? Tidak ada. Hanya saja, aku membayangkan bisa menunjukkan testpack pertama kali padanya saat aku positif hamil buah cinta kita. Dan seolah itu tak mungkin terjadi sebelum keraguannya padaku memudar.

Tak masalah aku mengalah. Bukan karena rasa bersalah, tapi lebih karena aku ingin membuat suamiku itu berhenti berprasangka.

"Sekarang bolehkah aku bertanya sesuatu, Mas? Mas berhak tak menjawab jika memang ada yang ingin Mas sembunyikan."

"Tentang di mana aku pergi malam itu?" tebaknya.

"Mas tahu?" Cukup terkejut mengetahui bahwa Ardi paham bahwa hal itu menggangguku. Lantas ia sengaja diam. Untuk apa? Untuk menyiksa batinku? Jika benar, ia juara!

"Aku pergi ke kantor, terus ngopi di Kota Tua, lalu ada cewek nyamperin, kami ngobrol, dan kemudian dia minta tolong dianterin pulang. Ya udah, aku anterin. Sudah gitu aja," jawabnya tenang. Tak ada rasa bersalah dalam nada suaranya.

"Maaf, jika menyinggung. Apakah Mas sudah biasa nganterin pulang cewek yang baru Mas kenal?" tanyaku takut-takut. Khawatir kecurigaanku justru membakar emosinya lagi. Bukankah setiap pria cenderung marah jika ketahuan berselingkuh dan diinvestigasi pasangannya?

"Kadang. Tergantung situasi. Aku orang lapangan Suci. Terkadang hal itu tuntutan profesi untuk menggali informasi," katanya menjelaskan.

"Jangan heran jika suatu saat kamu lihat aku sedang duduk berdua dengan seorang wanita, entah di mana. Bisa dipastikan kami hanya ngobrol biasa. Dan satu yang harus kamu tahu, aku bukan tipe pria yang suka tidur dengan sembarang wanita. Banyak orang yang tak sengaja lewat dalam hidupku, seperti wanita itu. Namun, hanya kamu yang akan tetap tinggal di sini," urai Ardi sambil menunjuk dadanya.

"Jika kau khawatir, kenapa kau tidak meneleponku malam itu?" Ardi balik bertanya hingga membuat gelagapan. Harus kujawab apa? Sedikit pun aku tak kepikiran untuk meneleponnya kala itu.

"Bagus, tak ada niatmu meneleponku. Sekarang baru kutahu, kamu tipe wanita yang enggak perduli suami di mana, dengan siapa, dan lagi apa. Hati-hati Suci, jangan terlalu cuek pada suamimu. Karena kamu ga pernah tahu, kapan suamimu akan direbut wanita lain dari sisimu."

Kata-kata Ardi membuatku terkesiap. Apakah ini kode darinya agar aku lebih protektif dalam menjaga hubungan ini? Padahal aku hanya tak mau membuat dia merasa terkungkung ikatan pernikahan. Bahkan, aku ingin melihat dia merasa nyaman melakukan apa saja yang ia suka saat aku bersamanya.

"Kamu cemburu?"

Bingung, haruskah kujawab?

"Jika kau cemburu datangilah aku. Kau berhak marah dan bertanya, tapi jangan diam saja. Aku tak suka," tegasnya.

"Aku merasa tak berhak marah padamu, Mas. Karena masa laluku lebih kelam dari itu."

"Bukankah katamu, masa lalumu tak ada hubungannya dengan masa depan kita? Katamu kisah kita dimulai dari akad? Jadi kisah kita belum sekalipun ternoda. Pernikahan kita, Insya Allah masih suci."

"Mas benar. Terima kasih pengertiannya," timpalku lega. Akhirnya kami bisa berkompromi untuk semua masa lalu yang tak bisa kami ubah lagi.

"Kau belum membuktikan cintamu padaku. Suci, buktikan padaku bahwa kau mencintaiku."

Nada suaranya kembali menuntut. Ardi punya segala hal yang bisa membuat orang merasa terintimidasi.

Dengan permintaan yang sangat ambigu itu, bagaimana caraku meresponnya? "Seiring waktu, Mas, kau akan melihatku jadi satu-satunya belahan jiwa yang setia dan mendampingimu hingga tua. Bukan hanya sekarang, aku akan gunakan sisa waktuku untuk membuktikannya padamu," jawabku berusaha meyakinkannya.

Seolah tak puas dengan jawaban itu, Ardi kembali menuntut.

"Kemari!" Ardi melambaikan tangan. Memintaku duduk di ranjang, di sisinya. Aku menurut tanpa bertanya, apalagi membantahnya.

"Pejamkan matamu, Suci," perintahnya lagi.

"Mas, mau apa?" tanyaku dengan dada berdebar.

"Haruskah kukatakan?" katanya dengan tatapan yang sulit dilupakan. Tatapan yang membuat wanita mana saja bisa lumer. Tatapan yang membuat jantung ini berdegup kencang.

Jemari Ardi mulai merayap. Tanpa sadar aku memejamkan mata. Aku tak kuat beradu pandang dengan tatapannya yang menghanyutkan. "Mas, baca doa dulu," pintaku malu-malu.

Apa sudah tiba waktunya? Apa Ardi akan menyelesaikan permainannya kali ini? Setelah semua yang kami lalui, apakah hari-hari kami berikutnya akan lebih indah? Berkecamuk rasa batinku. Panas dingin jemariku. Aku menunggu suamiku membawa aku melayang, ke surga yang selama ini kurindukan.

***

Ardi Sanjaya, sebuah nama yang kini memenuhi isi kepalaku. Pria yang ingin sekali kujadikan imam dalam setiap salatku. Pria yang ingin kujadikan ayah untuk anak-anakku. Pria ini telah menuangkan candu dalam hidupku.

Dia kini tidur pulas di sisiku. Wajahnya penuh kepuasan. Ia tak lagi kabur-kabur saat bersentuhan denganku. Walaupun sebelumnya ia selalu menghindar, seolah aku punya penyakit menular.

Kupandangi wajahnya yang tampan. Akan seperti apa anak kami nanti? Kuharap ia setampan dan secerdas ayahnya.

"Suci ..." Ardi mengigau di sela tidurnya. Didekapnya aku semakin erat, hingga terasa pengap.

Ada kelegaan yang membuat ceruk-ceruk di hatiku longgar ketika dia akhirnya bisa memaafkan, bahkan menyatakan cinta padaku. Apa aku tak sedang bermimpi? Dia mencintaiku dan memintaku mencintai dia juga. Ya Tuhan, tentu aku mau.

Mendengar namaku disebut dalam tidurnya, hatiku berbunga-bunga. Bayangan sentuhan Ardi barusan kembali berkelebat dan membuat jantungku berdegup kencang. Ya Tuhan, dia sangat jantan dan menawan. Tak salah aku langsung jatuh cinta pertama kali melihatnya.

"Belum tidur?" Ardi tiba-tiba bangun. Buru-buru kupejamkan mata agar tak ketahuan bahwa aku sudah mengamati setiap inci dari wajahnya, yang seolah dipahat begitu sempurna oleh Sang Maha Kuasa.

"Mau lagi?" tanya Ardi sambil menggoyang-goyangkan badanku. Terpaksa kubuka mata ini, dia sudah tahu, percuma berpura-pura. Salah-salah ia mengira aku suka bersandiwara. Kugigit bibir ini untuk menutupi rasa canggung.

"Jangan mulai lagi, Suci. Bukan begitu caranya jika ingin memintaku mencium bibirmu," terang Ardi blak-blakan, membuat aku semakin malu.

Dia menatapku dalam-dalam. Tatapan yang membuatku salah tingkah lagi dan lagi. Oh, harus ke mana kusembunyikan wajahku yang bagai kepiting rebus ini. Spontan aku menyusup ke ketiaknya.

"Suci, geli!" teriak Ardi sambil tertawa terbahak-bahak. Ia membalas dengan menciumi setiap inci tubuhku. Sehingga geli menjalar membuat ranjang bergetar.

Ya Rabbi, sebahagia ini rasanya punya suami. Sebahagia ini rasanya pacaran setelah menikah. Andai aku tahu sejak dulu.

"Kau bahagia?" tanya Ardi lagi.

"Alhamdulillah, sangat."

"Syukurlah, ayo kita buat pernikahan ini lebih bahagia lagi dengan saling jaga hati dan jaga diri. Aku akan jadi pakaian bagimu, dan kamu jadilah pakaian bagiku. Jangan sampai ada noda mengotori pakaian kita."

Aku mengangguk setuju. Detik berikutnya, Ardi kembali membawaku melayang ke angkasa. Ke tempat yang semua orang ingin menggapainya. Dan aku belum pernah menemukan obat mujarab bagi insan yang saling jatuh cinta, selain pernikahan.

***