webnovel

SUCI : Serangan Pertama

Ardi Sanjaya pulang sekitar pukul 3 pagi. Saat aku masih larut dalam zikir panjang. Suara motornya yang menderu memasuki pekarangan, membuyarkan kekhusyukan.

"Assalamualaikum," dia tetap mengucapkan salam. Walau pelan aku bisa mendengarnya. Sejatinya Ardi memang pria yang sopan. Keluarga Ardi merupakan keluarga religius yang membuatku semakin mantap menambatkan hati.

Dengan masih mengenakan mukena, bergegas kusambut dia. "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Mas, aku senang kamu pulang."

Ardi memandangku heran, lalu tersenyum sinis. "Senang atau tidak senang, ini masih rumahku!"

Pyar!!! Hatiku pecah berantakan.

Apa ini jawaban yang pantas kuterima? Ini memang rumah yang ia beli, tapi waktu beli dia bilang rumah kita. Apakah ini artinya aku sudah tak berhak tinggal di sini? "Ya aku tahu itu, Mas. Apakah Mas ingin aku pergi dari sini?" Meski gugup, namun aku masih berusaha keras mempertahankan sisa-sisa harga diri. Jika ia ingin aku pergi dari rumahnya, maka sangat memalukan jika masih bertahan.

"Ckckckck, pasti kamu merasa luar biasa hebat. Bisa pergi kapan pun kamu suka. Jangan-jangan kamu menikah denganku hanya untuk bikin alibi?"

"Alibi apa, Mas?"

"Alibi bahwa kamu janda terhormat, lalu bisa menikah dengan pria lainnya yang kamu suka. Pria yang tak tahu, bahwa kamu sebenarnya wanita yang tak bisa menjaga martabat."

Cibiran itu, aku merasakan kalimat penyerangan di hari pertama jadi istrinya.

Ardi duduk di sofa ruang tamu dengan tampang lelah. Ia mendesah dengan nafas berat.

"Suci, ah, kamu bahkan bukan gadis yang bisa menjaga kesucian. Aku berharap, dulu tak mudah tertipu penampilanmu. Seharusnya, aku tak buru-buru menikahimu. Kini nasi sudah jadi bubur. Ikatan pernikahan bukan mainan yang bisa kau buang saat kau tak suka. Apa kau bisa tenang, setelah membuatku seperti pecundang?"

Ia mengatakan semua isi hatinya sambil menatapku tajam.

"Di mana kuletakkan rasa malu? Semua saudara dan rekan kerja sudah datang ke pernikahan kita. Mendoakan kita langgeng. Dan ... eh, tunggu, jangan-jangan kau sudah ada niat menjadikan pernikahan ini batu loncatan saja? Jangan-jangan ada pria di luar sana yang hendak kau nikahi setelah menjanda?"

"Andai kamu jujur dari awal, apa mungkin kita begini? Tanya hatimu, bisakah kau bahagia jika membangun mahligai rumah tangga dari rasa tak percaya? Baru sehari, tapi aku sudah tak percaya kamu bisa menjaga diri saat aku tak ada. Sama seperti aku tak percaya bahwa gadisku sudah tak gadis lagi."

Ada rasa kecewa bercampur perih yang begitu dalam pada suara Ardi. Getar dalam setiap intonasi suaranya sampai padaku bagai sayatan sembilu. Kata-katanya menusuk. Aku bertahan dalam diam, tak tahu harus menjawab apa.

Ya Rabbi, jika pernikahan ini diteruskan akan banyak kata-kata pedas seperti itu yang akan kuterima. Tapi jika bercerai? Pasti semua prasangka Ardi akan semakin kuat. Dan perceraian kami dapat memutus ikatan kekerabatan yang sudah terjalin begitu erat antara kedua orangtua. Ibuku pasti akan sangat terluka.

Memikirkan semua itu, aku hanya diam membisu. Ardi benar, pernikahan ini dibangun dari rasa tak percaya. Bukan salahnya jika kini ia ragu padaku.

Suamiku, maaf, sungguh aku minta maaf. Kataku dalam hati. Aku hanya ingin bisa menikah seperti wanita lainnya. Aku ingin berubah. Dan aku malu. Teramat malu jika masa laluku kamu tahu. Terlalu banyak pria yang pernah menjamah tubuh ini. Bagaimana aku bisa menceritakan sekotor apa aku dulu? Aku bukan pelacur, tapi telah melacurkan diri atas nama cinta.

Kali ini aku sudah berubah. Sungguh sudah berubah. Jadi tolong, beri aku kesempatan. Karena aku takut, jika sekali lagi hatiku patah maka sulit bagi diriku kembali ke jalan yang benar.

"Kenapa diam saja? Jawab aku!" bentaknya tak sabar.

Aku tersentak. Haruskah kuceritakan semua? Tapi bagaimana jika setelah kuceritakan, ia tetap tak bisa terima dan mengungkit-ungkit terus tentang masa laluku itu?

Ardi mendengus kesal.

"Baiklah aku tanya terakhir kali. Apakah kamu mau kita bercerai?" katanya dengan suara perlahan, namun menimbulkan efek yang mengguncang jiwa.

Segala hal buruk yang berhubungan dengan pria pernah menimpaku. Namun yang terjadi dengan Ardi malam ini, jauh lebih buruk dari semua yang pernah kualami. Bagaimana tidak? Baru sehari kita menikah, malam ini ia sudah menawarkan perceraian. Tak adakah tempat untukku berlabuh?

Mau tak mau, air mata yang sempat reda setelah dzikir panjang, kini kembali menggenang. Aku mencoba menahan agar tak disangka sengaja mengeluarkan air mata buaya. Sesuatu yang dulu sering dituduhkan mantan-mantanku. Namun aku gagal. Mata ini berkaca-kaca dan akhirnya satu persatu bulir-bulir bening itu berjatuhan. Luruh ke lantai keramik warna abu-abu.

Ardi mendesakku mengungkap masa lalu yang penuh catatan hitam. Bukan aku tak mau, tapi aku tak mampu. Terlalu berat untuk menceritakan padanya, bagaimana dulu aku hanyut dalam cinta terlarang. Dan bagaimana jika dia bertanya, berapa pria yang pernah menjamahku? Bukankah itu justru akan melukai kami berdua? Namun, hubungan ini juga tak dapat dilanjutkan tanpa adanya kejujuran. Mau tak mau, aku harus mengatakannya. Walaupun aku tahu, tetap diam ataupun bilang, semua memiliki resiko yang besar. Dan nasibku tetap bagai telur diujung tanduk.

Sangat mudah bagi seorang pria untuk menceraikan istri. Cukup dengan kata TALAK. Dan berakhirlah! Aku harus mengatakan sesuatu untuk mencegah kata itu terucap.

Bibirku bergetar. Kutata hati agar kisahku sampai, tanpa perlu membuka-buka terlalu dalam. Berat, tapi aku tetap mencoba demi dia.

"Aku dulu... ya aku pernah..." Ya Allah sangat berat. Bibirku kelu. Sungguhkah harus kukatakan bahwa aku tidak perawan karena cinta satu malam? Dan aku pernah hamil, karena pacaran yang kebablasan. Lalu aku keguguran karena pacar tak mau bertanggungjawab. Apa harus kujelaskan, bahwa aku pernah dicampakkan seminggu sebelum pernikahan karena calonku tahu masa laluku? Dan kini, oh Tuhan, aku tak bisa.

Kugigit bibirku kuat-kuat, berusaha menegarkan diri untuk berbagi kisah dengan Ardi. Tetapi kata yang keluar tetap terbata-bata. Tak bisa lancar meski aku coba. "Maaf... aku, aku memang bersalah. Tapi aku..."

Sedetik yang begitu cepat, Ardi melompat dari duduknya dan merenggut daguku dengan kasar. Mata kami bertemu. Mataku yang basah dan matanya yang tajam.

"Bodoh!" desisnya.

Di luar prediksi, ia melumat bibirku. Disesap begitu kuat. Hingga perih berganti harap. Ciumannya yang kuat perlahan melembut. Menenggelamkan aku pada gairah yang tiba-tiba meletup.

Sepasang tangan perlahan-lahan melingkar di pinggangku. Apakah Ardi akan menuntaskan permainannya kali ini? Aku bukan gadis munafik. Aku pun rela jika ia melakukannya. Dia suamiku, ia berhak menyentuhku sebanyak yang ia mau. Oh Tuhan, pria ini telah menuangkan candu ke dalam hidupku.

Ketika aku mulai tenggelam bersama pagutannya yang dalam dan tenang, inderaku mencium aroma berbeda. Parfum wanita yang sangat tajam. Mungkinkah? Ardi, apa yang kau lakukan semalam? Curiga bertumbuhan. Jangan-jangan Ardi telah menemui wanita lain untuk menyalurkan hasratnya yang tertahan.

***