webnovel

SUCI : Mulai Cemburu

"Mas, enggak berangkat kerja hari ini?" tanyaku heran melihat Ardi masih malas-malasan di kasur.

"Aku mau ngerjain kamu saja. Sini!" selorohnya sambil melambai ke arahku.

Apa dia selalu begitu saat mau? Alih-alih merayuku dengan cara yang romantis atau mendekapku diam-diam dari belakang, suamiku ini selalu memilih melambaikan tangan saat berkehendak. Lalu, seperti terseihir, aku harus berjalan mendekat ke arahnya untuk menyerahkan jiwa dan raga.

Meski pola seperti ini kurang kusukai, tetapi kala mataku bertemu mata tajam pria menawan itu, aku tak punya pilihan. Toh, aku juga menginginkannya sebesar ia menginginkanku. Rasanya tak sabar ingin sekali berkirim kabar pada ibu, bahwa aku sudah mengandung cucunya.

Berbeda dengan kisah sendu di masa lalu, tentu kehamilanku kali ini akan jadi berita besar yang membahagiakan kedua keluarga. Seandainya, aku bisa segera hamil.

Ya Rabbi, kabulkanlah!

Ah, baru juga dua hari, justru akan jadi berita penuh curiga jika secepat itu aku hamil. Kenapa di kepalaku sekarang hanya ada target-target kehamilan? Seperti apa anak kami nanti, laki-laki atau perempuan, berapa jumlahnya? Kapan waktu yang tepat untuk hamil anak kedua dan ketiga? Bagaimana aku mengasuh mereka nantinya? Bagaimana Ardi akan menyambut kabar kehamilanku? Sudah bertumpuk segala angan untuk bergegas menyambut mereka dalam hidup kami berdua. Pasti aku dan Ardi akan semakin bahagia dengan kehadiran buah cinta yang menguatkan ikatan suci.

"Suci, mikirin apa?" tanya Ardi yang melihatku melamun membayangkan masa depan.

"Mikirin anak kita, Mas. Rasanya sudah enggak sabar," jawabku jujur.

"Aku juga sudah tak sabar. Aku mau empat anak. Langsung ya, ga pakai KB-KB-an. Aku sudah 32 tahun, bentar lagi 33. Temen-temenku, anaknya udah dua bahkan ada yang lima. Pokoknya aku mau balap mereka," sambungnya antusias. "Oh ya, bagaimana kalau kita pergi ke Bali?"

"Benarkah? Kapan? Aku mau, Mas," tentu saja aku kegirangan. Siapa yang tidak suka mengukir kenangan indah di tempat yang indah?

"Nanti, aku akan hubungi kantor dulu untuk minta cuti," janjinya sambil kemudian membawaku ke pelukannya. Bibirnya mulai menjelajah.

"Mas, aku belum bikin sarapan?" kataku mengingatkan. Ini sudah kali kedua usahaku kabur ke dapur gagal. Pertama bada Subuh yang mendebarkan, dan sekarang ketika aku hendak menunaikan sholat Dhuha.

"Ya udah, aku sarapan kamu saja," balasnya penuh gurauan nakal, membuatku kehabisan kata.

Tingtong ... tingtong, Assalamualaikum ....

Bunyi bel rumah di pagi hari. Siapa yang datang di jam-jam seperti ini?

"Mas, tamu?" kaget membuatku tegang. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Kuraih jilbabku, bergegas menuju pintu. Percuma mengharapkan Ardi yang membukanya. Lama, sebab dia masih sibuk menata penampilannya.

"Wa'alaikumsalam, siapa ya?" tanyaku sambil mengintip gorden.

"Mas Ardinya ada, Mbak?" Seorang pria muda berkumis tipis menyembul di jendela.

"Oh iya, ada mas, bentar ya." Kubuka pintu yang masih terkunci rapat.

"Siapa?" tanya Ardi yang sudah berpakaian lengkap. Akhirnya, muncul juga. Meskipun terlihat sekali ia belum mencuci muka. Rambutnya acak-acakan, khas pengantin baru saat bangun kesiangan.

Aku kemudian ke belakang untuk membuat minuman. Saat kembali ke ruang tamu, Ardi terlihat tengah berdebat dengan pria muda itu.

"Kenapa enggak orang pusat sih yang ambil? Aku lagi kurang enak badan, Bro," jawab Ardi kelihatan kurang suka.

"Makanya, Mas, teleponnya jangan dimatiin. Pimred nelepon dari pagi enggak ada jawaban. Pak Romi juga jadi uring-uringan di kantor karena Mas Ardi enggak muncul-muncul," kata pemuda itu tak kalah bingung.

Tak lama kemudian gawai pemuda itu berdering. "Nah, Mas, Pak Heru sendiri yang nelepon. Saya gimana dong, Mas, saya anak magang. Kalau enggak bisa bawa Mas ke kantor, nasib saya bisa habis di jalan. Tolonglah, Mas, setidaknya Mas ke kantor dulu. Jelaskan sendiri. Saya cuma diperintahkan nyari tahu keberadaan Mas Ardi saja," mohon pemuda itu sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.

Ardi bergeming. Pemuda itu semakin panik karena gawainya tak henti berdering.

"Gimana, Mas? Aku enggak berani angkat teleponnya sebelum Mas mutusin," desaknya menghiba.

"Mas 'kan tahu sifat Pak Heru. Enggak ada alasan untuk gagal. Tolonglah pertimbangkan posisi saya. Please, Mas." Ia kembali mengeluarkan bujuk rayu. "Mas Ardi anak emas di kantor, selalu disayang. Kalau saya, salah sedikit pasti ditendang. Apa perlu saya sujud nih, Mas," imbuhnya menghiba dengan menggosok-gosokan telapak tangannya. Lututnya mulai ditekuk.

Sebelum dia benar-benar bersujud di depan suamiku, buru-buru kucegah dengan memberi kode stop dengan telapak tangan. Tak boleh manusia bersujud pada manusia. Bahkan Rasulullah bersabda, jika manusia boleh bersujud di hadapan manusia, maka beliau akan perintahkan istri untuk bersujud pada suami. Namun, hal itu memang dilarang dalam agama.

Sepertinya Ardi bimbang sehingga tak segera merespon. Ia menatapku, seolah dilema. Rasa iba menyelimuti. Teringat dulu, saat aku masih jadi karyawan di sebuah perusahaan swasta. Salah sedikit pasti kena cela dari atasan, dan pernah juga sekali dimaki di muka umum. Sangat memalukan.

Entah, ada masalah gawat apa di kantor Ardi, tetapi sepertinya keberadaannya di sana sangat dibutuhkan. Aku berjalan ke arah suamiku untuk membujuk. Kugenggam jemarinya perlahan.

"Mas, lihat dulu keadaan kantor. Barangkali memang penting dan mendesak. Kasihan juga dia Mas jika ditekan-tekan," kataku berempati.

Pemuda yang kira-kira berusia 25 tahunan itu tersenyum berterima kasih padaku. Aku membalas senyumnya sebagai sopan santun.

Sesaat kemudian mataku bertatapan dengan mata Ardi, nampak jelas ada sorot tak suka di sana. Alisnya sampai terangkat. Lagi-lagi nampak tatapan tajam nan menusuk. Penuh api cemburu, hingga panasnya sampai padaku.

Ya Rabbi, secepat ini suasana bahagia berubah jadi duka.

Kenapa hanya sebuah senyuman bisa jadi perkara?

***