webnovel

SUCI : Kesalahan Lama

Aku sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuk bertaubat. Aku juga merutinkan datang ke kajian yang ada di sekitar komplek rumah. Lalu melebar dengan ikut berbagai aktivitas kajian lainnya.

Bajuku perlahan bermetamorfosa.  Dari seksi dan terbuka, perlahan jadi seksi tertutup, lalu naik level jadi tertutup sempurna.

Aku pun menyibukkan diri terus menerus. Dengan kajian, tilawah Quran, dan bisnis yang mulai kurintis. Lepas dari bayang-bayang ibu. Aku ingin menjalani hidup dengan berarti. Sambil terus menunggu jodohku. Jodoh yang akan membasuh sepi ini.

Ketika akhirnya Ardi Sanjaya datang, aku tak berani mengatakan tentang masa laluku. Aku trauma ditinggalkan pria.

Ibu juga bilang itu tak perlu, sebab Ardi adalah duda. Punya masa lalu juga. Hanya perlu saling menerima untuk masa depan yang bahagia. Sebab masa depan lebih utama daripada meratapi masa lalu yang telah lama berlalu. Tak perlu diungkit. Selama aku sudah berubah, itu sudah cukup.

Nasehat ibu yang aku indahkan sebelum perkawinan, justru membuat aku kembali terhina di malam pertama. Oleh dia, suami yang kupikir bisa menerimaku apa adanya. Pria tersebut, kini telah meninggalkan aku begitu saja.

***

Malam ini, malam pertama kami, Ardi belum sampai klimaks, tapi sudah berhenti di tengah jalan. Ia merasa ada yang janggal.

Ardi kemudian menarik bagian tubuhnya dari tubuhku. Menyalakan lampu. Kerut-kerut di keningnya yang tiba-tiba menyembul menandakan dirinya dalam kebingungan. "Kamu sudah tidak perawan?" tatapannya miris, penuh penghakiman. "Kepada siapa kau serahkan keperawanan yang menjadi kehormatan seorang gadis?"

"Sungguh aku tak percaya ini, namamu Suci tapi kamu sudah tidak suci lagi," imbuhnya dengan desis amarah yang coba diredam.

Tertusuk. Jelas hatiku terluka disebut begitu. Bahkan pelacur sekalipun, akan marah jika dipanggil pelacur. Sedangkan aku? Bukankah di dalam masyarakat kita sudah banyak terjadi pergaulan bebas? Lantas mengapa dia, yang jelas-jelas bukan perjaka, justru tak bisa menerima fakta dengan lapang dada?

Ya, memang aku gadis yang sudah tidak perawan. Akan tetapi, tak bolehkan aku berharap sakinah mawadah warohmah setelah aku berubah? Mungkinkah, sekali lagi aku akan dicampakkan begitu saja oleh pria?

Hanya derasnya air mata yang mampu mewakili sesaknya hati ini oleh berbagai rasa.

Akankah aku menjadi janda di malam pertama? Pernikahan ini mungkin akan berjalan penuh air mata, bertahan atau berpisah saja? Tanya itu berkelebatan di benakku. Tapi aku tak mampu membayangkannya. Akan semakin keras hujatan yang dilayangkan padaku jika dalam semalam saja, statusku berubah dari istri sudah menjadi janda.

***

Bertaubat tak semudah mengganti pakaian dari terbuka jadi tertutup.

Aku sudah  melakukan  banyak  cara  untuk  menghindar dari pergaulan lamaku dulu. Sudah kutaklukkan egoku yang terlanjur terbiasa berzina. Menjauh sejauh-jauhnya dari namanya pacaran atau bersentuhan dengan pria bukan mahram.

Ada masa di mana aku merasa begitu tertekan. Aku kesepian, merasa sendirian. Teman-teman lama menghindar karena tak lagi sealiran. Pacar yang biasa menorehkan tawa canda juga tak punya.  Sudah kujauhi semua yang potensi menyeretku kembali pada maksiat syahwat.

Aku butuh direngkuh sahabat-sahabat baru yang bisa mengingatkanku pada janji surga dan ancaman neraka. Teman-teman baru yang membantu proses hijrahku. Menata penampilanku, terutama menata akhlaqku.

Dalam beberapa kajian yang kuikuti, disampaikan tak perlunya seorang pria menanyakan masa lalu seorang wanita yang hendak dinikahinya. Selama ia bertaubat, maka ia adalah wanita saliha. Begitupun wanita yang telah hijrah, tak perlu membeberkan semua aibnya. Masa lalu biarlah berlalu.

Dalam sabdanya, Rasulullah berkata : "Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan zina, hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan."

Bahkan Rasulullah melarang keras, menceritakan perbuatan maksiat yang pernah dilakukan dalam kondisi sendirian. Menceritakan maksiat bisa menjadi sebab, Allah tidak memaafkan kesalahannya.

Juga nasehat ibu agar aku membisu. Tak perlu mengumbar kesalahan di masa lalu. Selama aku telah benar-benar bertaubat.

Namun, melihat suamiku pergi di malam pertama kami, tak urung aku bertanya-tanya, apakah aku salah karena tak mampu menceritakan masa lalu? Betapa jijik jika aku ingat, bagaimana dulu aku mereguk nikmat dalam kubang maksiat.

Tak urung, bayangan masa lalu itu berkelebat di benakku. Menumbuhkan dorongan baru untuk kembali ke masa-masa penuh gairah yang pernah jadi gaya hidupku. Betapa lama aku telah menahan hasrat itu.

Astagfirullah, baru mengingatnya saja sudah tergoda. Begitu berat ujian bagi para pendosa yang hendak bertaubat.

Ya Allah, sampai di mana kesungguhanku bakal diuji? Benarkan jalan yang sudah kutempuh ini?

Aku bergegas bangkit, mandi junub. Kotor, aku merasa tubuhku kotor. Hitam berjelaga. Karena itukah Ardi pergi di saat buhul cinta tengah dibangun? Apakah dia melihat pekat yang melekat di tubuhku?

Kembali menangis. Sungguh aku wanita yang tak beruntung dengan pria. Seolah, semua pria mendekatiku hanya untuk bermain-main saja. Tak ada yang sungguh-sungguh bisa menerimaku apa adanya.

Hujatan yang dilontarkannya Ardi tadi berdebam-debam di kepala. "Suci namamu, tapi kamu tak suci lagi!"

Hey Suci, sebuah suara dari dalam diriku memanggil ketika aku tengah berkaca di meja rias.

Kamu tidak salah. Ayo, kamu bisa memperbaiki semua dengan perceraian. Berpisahlah dengan Ardi. Lebih baik kau sandang  saja  status  janda.  Dengan  begitu,  siapapun  pria yang hendak kembali menikahimu tak akan mempersoalkan masalah keperawanan. Seringai jahat bisikan setan menutup kembali mata hatiku yang berulangkali diasah dengan kalimat istigfar.

Ya, bercerailah! Jangan terlalu cepat. Ulur waktu agar tidak mengundang prasangka orang. Ardi bisa menggunakan aibmu untuk merendahkanmu setiap waktu jika pernikahan ini dilanjutkan. Lagi, bisikan setan merayu.

Buruknya prasangka manusia terhadap insan yang hendak memperbaiki diri, justru akan membuat insan itu takut berubah. Bukannya memberi dukungan, malah melontarkan hujatan dan mempertanyakan kesungguhan mantan pendosa.

Jika   begini   rasanya,   lebih   baik   kembali   pada   masa jahiliah   bersama   orang-orang  satu  frekuensi,  yang  tak akan menghakimi! Mengajak bermaksiat itu mudah, tetapi mengajak orang hijrah itu susah.

Klunting, sebuah pesan masuk.

Kulirik dengan mata sembab. Mungkinkah itu Ardi yang mengabari?

Bergegas membuka pesan masuk. Jadwal kajian terbaru. Seorang sahabat mengingatkan agar aku datang. Sebab datang ke kajian bisa mengobati sifat futur (lemah iman). Astagfirullah, baru saja terbersit niatku kembali ke lembah hitam dan sekarang ada yang mengingatkan agar aku menguatkan iman.

Perceraian memang diperbolehkan dalam Islam, namun merupakan perbuatan yang dibenci Tuhan. Kenapa aku harus melakukan perbuatan yang dibenci oleh-Nya? Belum cukupkah dulu aku berkali-kali melakukan perbuatan yang dibenci-Nya?

Tidak, aku tidak menginginkan perceraian! Aku harus mempertahankan pernikahan ini. Tak masalah bagaimana Ardi akan bersikap padaku nanti. Lagipula, aku sudah terlanjur menyerahkan jiwa ragaku padanya. Hidup seperti apa yang kuharapkan dengan semua aib yang terlanjut menempel seperti ini?

Bagaimanapun sikapnya, sebagai istri aku harus tetap bersikap baik, bersikap hormat. Jika Ardi menuntut cerai, maka itu akan jadi ujian keimanan untuk kesungguhanku bertaubat. Aku harus ikhlas.

Namun, jika mukjizat datang dan Ardi bisa memaafkan, maka aku akan berbakti sebagai istri sepenuhnya. Meskipun itu artinya sepanjang pernikahan harus siap menghadapi celaan dan sindirannya. Sebab itulah ujian kesabaran yang harus kupikul.

Ya ... jalan taubat itu tak mudah. Akan banyak ujian di depan. Bukankah ustadzah sudah menerangkan cobaan demi cobaan yang akan menghadang. Lalu pergi ke mana tekadku?

Kuambil mushaf untuk menghalau gelisah. Lalu membacanya dengan suara perlahan. Terdengar sumbang karena bercampur bulir-bulir air mata yang berjatuhan.

Tenangkan batinku ya Rabbi. Berikanlah secercah harapan untuk jiwaku yang putus asa. Pegangi aku Ya Rabbi, jangan sampai jatuh lagi. Tolong, tolong aku, ya Allah. Hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan.

***