webnovel

ARDI : Seorang Playboy

Merayu wanita? Maaf aku tak bisa. Belum pernah coba.

Kalau dirayu wanita, itu baru biasa. Biasa banget malah. Jika aku mau, sepuluh wanita yang lebih cantik dari Suci bisa kukencani.

Kadang aku iri pada rekanku di sini. Namanya Ucok. Kulitnya hitam dan rambutnya kribo. Tingginya mungkin hanya 160-an. Dia terlihat pendek sekali jika bersisihan denganku, yang memiliki tinggi 175 cm. Namun ia punya kelebihan, reportasenya hebat. Patut diacungi jempol.

Tiap ada peluang rehat, si Ucok ini pasti menelepon pacarnya di Medan. Dengan meluncurkan gombalan setan, dia selalu sukses membuat pacarnya di ujung nusantara tertawa bahagia.

Saat sekilas pandang, wajah di dalam layar ponsel Ucok tak kalah cantik dengan gadis-gadis ibukota. Apa sih yang membuat gadis cantik itu terpikat si hitam legam ini, jika bukan gombalannya yang mematikan?

Beda sekali jika dibandingkan percakapanku dengan Suci. Selalu basi. Dan efeknya, perasaan jadi makin tak karuan setelah berteleponan.

"Iyalah sayang, cuma kau seorang di hati Abang. Sudah rindu nian Abang nak pulang. Memeluk kau, Adinda sayang. Tiap malam wajah adek terbayang. Susahlah Abang konsentrasi kalau begini," bualan si rambut kribo bikin perutku mual.

Bohong kelas kakap. Si Ucok ini reporter Media Kejora Kantor Cabang Cianjur. Dan jangan tanya, berapa mojang Sunda yang sudah dipacarinya. Banyak! Kata orang kantor selalu beda tiap purnama.

Dengan wajah pas-pasan, sudah banyak gadis dibuatnya patah hati. Mulanya aku tak percaya. Tapi melihat bagaimana dia melancarkan serangan demi serangan lewat kata-kata pada setiap wanita, akhirnya aku paham di mana letak daya tariknya.

Wanita adalah makhluk yang naif. Sekalipun dibohongi, ia tetap suka dipuji. Engkau cantiklah, engkau manislah, engkau bak bidadari, engkau bak rembulan, engkau adalah bunga dan aku kumbang, dan seterusnya. Bagiku itu semua bulshit. Dan aku tak suka ngomong bulshit!

"Biar seribu bunga nampak di depan mata, tetap cuma adek saja yang Abang cinta. Jadi adek kuatlah di sana. Nanti Abang pulang bawa permata untuk melamar adek," katanya yang selalu cuek meski bercakap-cakap mesra di tempat terbuka. Padahal jelas-jelas aku duduk di depannya dan menyimak semua obrolannya.

"Beneran bang? Kapan Abang datang? Adek sudah enggak sabar. Keburu adek tua," jawab suara di ujung sana.

"Eits, tak mungkin itu Dek. Adek itu bakalan awet muda. Pokoknya sampai berapapun umur adek nanti, bakal Abang sayang dan Abang jaga. Di mata Abang, penampilan adek akan selalu sempurna bak remaja nan belia," sahut Ucok menggombal lagi. Gombal terus tak ada habisnya.

"Tabur formalin aja Cok, biar awet muda," celetukku tidak tahan mendengarkan gombalannya yang mengandung racun sianida.

"Apalah Abang ini, ganggu orang pacaran saja. Tak punya yang hendak ditelponkah Abang ini?" Balas Ucok kesal sambil berjalan menjauh. Ia pindah ke bawah pohon beringin depan Mushola. Lanjut bercakap-cakap mesra.

Aku menatap ponselku yang mati suri. Dari tadi telah kucoba menghubungi Suci, tapi tidak diangkat. Sudah berkali-kali Suci seperti ini. Sungguh wanita yang sulit ditata.

Kulihat arloji. Hampir jam 7 malam, dan masih tak ada kabar dari istri yang mati-matian kuwanti-wanti agar rajin kirim kabar. Sepertinya Suci sengaja menentang.

"Bang, kenapa kau ini. Lihat ponsel enggak henti-henti. Siapa hendak Abang hubungi? Bini atau selingkuhan?" Selesai bersandiwara dengan pacarnya di sana, giliran Ucok merecokiku.

"Kenapa kau selingkuh banyak-banyak kalau katamu sayang dengan pacarmu yang orang Medan itu?" Balasku mengalihkan pertanyaan. Aku tak suka pribadiku dikulik-kulik.

"Selingkuh apa bang, aku cuma senang-senang. Mengisi waktu luang. Tak asyiklah hidup kaku kayak Abang ini. Diajak dugem enggak mau, diajak minum enggak suka, ngerokok juga ogah, karaokean apalagi. Keburu mati Abang nanti. Nyesel tak sempet ngerasain nikmatnya hidup ini," jawab Ucok yang kuprediksi usianya 2-3 tahun lebih muda dariku.

"Jadi bohonglah kau pada adindamu itu, kau bilang seribu bunga hanya dia yang kau cinta?" Tanyaku ikut-ikutan logat bicaranya.

"Tak-lah. Awak memang hendak mengawininya. Tapi nanti kalau udah agak tua kayak Abang. Sekarang masih menikmati kebebasan," jawabnya blak-blakan.

"Sialan lu Cok," geram juga dikatain tua.

"Prinsip awak, biarpun awak petualang kesana kemari. Awak tetap harus punya tempat untuk kembali. Dan awak orang Medan, harus bisa nikah sama orang yang punya Marga, jadi bisa meneruskan warisan leluhur. Dengan begitu walaupun Awak keliling kota, anak Awak tak bakal kehilangan darah Bataknya," terang Ucok bangga dengan suku bangsanya.

"Terus kenapa tak segera kau nikahi, malah sibuk merusak anak orang?"

"Eits, hati-hati Abang ini kalau bercakap. Kami itu suka sama suka. Tak ada unsur paksaan. Apalagi rusak-rusakan. Awak senang, dia senang. Wanita itu bang, ibarat tanah gersang. Butuh pria untuk menghujaninya dengan cinta dan perhatian. Se-Es apapun cewek itu bang, bakal tetep leleh kalau disayang. Abang ini, garing! Tak paham wanita pula!"

Aku mendengus, kesal. Hendak ceramah malah diceramahi.

"Ucok ini ya Bang, jelek-jelek begini kalau mau nyabet bini orang gampang. Asal Abang tahu, banyak bini di luar sana kurang kasih sayang karena lakinya kaku macam Abang ini. Tak hobi menyanjung istri. Padahal istri itu makhluk yang rapuh, selalu butuh bahu buat bersandar. Selalu butuh telinga untuk mendengar. Dan butuh pria perhatian kayak Awak ini untuk memompa semangatnya lagi."

"Eh, sorry bang. Bini Abang pengecualian ya. Soalnya karakter wanita mandiri itu beda sama ibu rumah tangga biasa. Awak tahu istri Abang itu pebisnis sukses. Tapi itu lebih bahaya lagi, sebab dia gampang kalau mau cari kesenangan di luar. Punya duit pula. Bukan nakut-nakutin ini Bang. Tapi sepanjang pengalaman awak meliput kasus kawin cerai, wanita mandiri itu enggak takut ditinggal laki. Justru biasanya wanita kayak gini yang sering menggugat suami," katanya menakut-nakuti.

"Tapi Abang enggak usah khawatir. Kodratnya wanita itu gampang luluh kalau disanjung puji. Jadi kasihlah gombalan, ga perlu bayar juga bang. Modal omong doang. Sudah senang mereka, biar kita tipu-tipu pula." Terang Ucok panjang lebar.

"Biniku cerdas Cok, ga gampang dikibuli kayak cewek yang kau pacari." Yah, apes keceplosan ngomongin masalah pribadi.

"Wah Abang ini enggak punya nilai seni. Jadi gini, kalau istri Abang nanya : aku gendut enggak bang. Jawab : enggak gendut dek, kamu itu montok dan seksi. Terus kalau nanya, adek cantik enggak bang. Biarpun aslinya Abang udah eneg sama itu cewek, tetep harus bilang : di mata Abang enggak ada yang bisa ngalahin kecantikan adek. Bohong demi keharmonisan namanya Bang. Cewek lumrahnya tahu itu bohong, tapi tetep aja dia senang."

Aku sudah biasa mendengarkan orang ngoceh, sebangsa Ucok. Biasanya tidak kugubris. Aku merasa tidak perlu merayu, karena dulu pun dengan Desi selalu aku yang dirayu, digoda, dipaksa bercinta. Tapi Suci memang beda. Apa benar Suci tipe wanita yang harus dihujani gombalan baru bisa mesra?

"Bang, enggak usah khawatir. Selama Abang di sini, urusan percewekan serahkan pada Awak. Mau mojang model gimana aja, awak banyak stok. Aman Bang. Bukan yang kaleng-kaleng atau yang penyakitan. Ini gadis baik-baik semua Bang, cuma kurang kasih sayang. Kita tinggal berderma, kasih sedikit belaian penuh kelembutan. Pasti mereka klepek-klepek." Bisik Ucok sambil merangkul bahuku.

Berkali-kali dia sudah mengajakku berburu wanita. Tapi tentu saja kutolak. Aku dan Ucok punya prinsip hidup yang berbeda. Pemikiran liberal semacam Ucok tidak akan menggoyahkan pemikiranku yang konservatif, yang telah dibangun Mama bertahun-tahun lamanya.

Namun, aku juga ingin bisa seperti Ucok, lihai memanjakan wanita dengan kata-kata. Tapi saat kucoba, tetap tak bisa. Rasanya mual dan mau muntah jika harus berbusa-busa mengeluarkan kata penuh bunga-bunga.

Ah, jadi playboy pun butuh bakat rupanya. Maaf, jika aku terlalu garing bagimu, istriku.

***