webnovel

ARDI : Kota Tua

Ada 10 menitan kupu-kupu malam ini hinggap di bahuku. Mengucurkan air matanya. Bingung juga mau apa. Aku tak tega menarik bahuku tiba-tiba. Namun, aku juga tak biasa menghibur orang. Terlebih saat ini aku yang butuh dihibur.

Setelah agak reda, aku menarik diri perlahan. Ia pun mengusap air matanya dengan tangan. Maskaranya luntur hingga terlihat seperti hantu. Cocok sekali penampilannya malam ini dengan suasana temaram Kota Tua. Bagai hantu sendu. Dalam keadaan normal, aku pasti tertawa. Namun semua tawaku hilang malam ini. Tak ada kebahagiaan tersisa, hanya keresahan melanda.

Gadis malam ini seperti cerminan diriku. Ingin pula meneteskan air mata duka, tapi pria tak boleh menangis. Itu kata papaku. Pria harus menanggung segala duka dan kepedihan dengan ketegaran.

"Pakai, nih." Aku mengulurkan sapu tangan dari dalam saku jaket kulit. Biasa bawa ke mana-mana untuk mengelap keringat.

"Makasih, Mas." Pelan-pelan ia seka air matanya hingga pipi mulusnya kembali bersih. Tanpa make-up, ia terlihat seperti gadis baik-baik.

"Make-up-ku hancur. Mas harus tanggung jawab!" Suaranya manja. Dia punya suara yang renyah di telinga.

"Kenapa juga nangis di bahu orang sembarangan? Cari simpati? Harusnya kamu yang tanggung jawab udah membasahi bahuku. Bahkan tanpa ijin dulu," balasku protes.

"Ih, Mas jahat. Sama cewek kenapa enggak ada lembut-lembutnya?" Ia memukul bahuku pelan. Mengajakku bercanda.

"Kalau nyari yang lembut-lembut jangan di jalan, Mbak, di kasur sana. Ada selimut bulu. Lembut!"

"Lha, Mas tak ajak ke kasur malah bicara penyakit. Bicara dosa. Mas itu ngomongnya dikit, tapi nyelekit! Bikin hatiku sakit," ucapnya sambil menunjuk dada. Ada gunungan yang sengaja ia tonjolkan. Aku mengalihkan pandangan, menjaga gemuruh di dada agar tetap di koridornya.

Kulirik arloji. Baru pukul 11 malam, sudah tiga jam aku minggat dari rumah. Tapi Suci tak menelepon mencariku. Padahal ini malam pengantin kami.

Sial! Jangan-jangan dia senang aku pergi. Kenapa ia seolah tak ada niat sama sekali untuk meminta maaf dan menunjukkan rasa bersalah?

"Mas mau pulang? Masih sore, kok. Lagian istri Mas belum nyariin!" katanya saat melihatku menatap arloji.

"Tahu dari mana aku ga dicariin?" Apa dia cenangan yang serba tahu?

"Tahu aja, ga ada telpon masuk," jawabnya tanggap sambil tersenyum manis.

Gadis itu menatapku lekat-lekat, membuatku salah tingkah. Ah, jangan sampai aku tergoda. Secara fisik, Bunga layak dipuja. Ia cantik, muda, dan tinggi semampai. Jika kuprediksi tingginya 165 cm, seperti Suci. Rambutnya pendek, tapi warnanya hitam legam. Lehernya jenjang dan bibirnya merah merona.

Eh, kenapa aku malah mengamati penampilannya?

Buru-buru aku buang muka. Jangan sampai hasratku pada Suci yang tidak sampai justru kualihkan ke tubuh gadis muda ini.

"Aku balik dulu, ya." Saat aku berdiri tangannya memegang lenganku. Ia menggeleng-geleng, mencegahku meninggalkannya.

"Jangan pergi, Mas. Dengerin ceritaku dulu. Aku butuh tempat curhat. Boleh ya, bentar. Gratis kok, aku ga minta dibayar meski sampai pagi juga," katanya sambil menatapku penuh harap.

Gratis dari mana? Aku bahkan sudah membelikanmu rokok dan minuman. Oh ya, uang Rp300.000 untukmu masih dalam genggamanku.

"Pulang aja. Ini bawa." Kusodorkan uang itu, tapi ia tak segera menerima. "Mending kamu pulang sana. Kalau nangis jangan sembarangan. Nangis di rumah lebih aman."

"Terus Mas mau ke mana? Aku tahu Mas juga lagi galau di rumah. Ga punya tujuan. Makanya Mas mampir ke sini sendirian."

Tepat sekali! Bukankah aku memang lagi tak ingin ketemu Suc? Aku muak padanya. Aku takut kalau tetap di rumah, justru pipi Suci jadi korban emosi. Sementara ini, aku hanya ingin mendinginkan hati.

Senyum mengembang di bibirnya. "Setidaknya habiskan kopimu, Mas. Jangan mubazir," rayunya.

Benar. Lagian aku juga penasaran kenapa wanita ini tadi tiba-tiba menangis. Biarlah, aku habiskan waktu di sini dulu. Menunggu Suci menelepon mencari keberadaanku.

"Mas, namanya siapa?" Matanya memandang lekat-lekat padaku, seolah sudah sangat terpikat.

"Bambang," kataku asal jawab. Tak perlu ngasih identitas asli pada kupu-kupu malam yang hinggap dari satu kumbang ke kumbang lainnya. Paling-paling namaku tak akan diingatnya.

"Terus aku manggilnya apa? Bams atau Bang?"

"Terserah!"

"Kalau gitu aku panggil Sayang aja ya," katanya sambil mengerling manja.

"Terserah!"

Ya, apa peduliku? Ini hanya pertemuan satu malam. Temen sekantor sesama wanita saja suka saling panggil 'sayang'. Misal : Halo say, ada yang bisa kubantu? Atau : Gimana kabarnya Cin, kangen lama ga ngantor. Huh, centil benar bahasa kaum Hawa.

Dulu aku langsung mantap menikahi Suci karena gadis itu jauh dari kesan centil. Suci, dia tegas dan cerdas. Fiuh, bayangan tentang dia kembali mengusikku.

"Baiklah, Sayang. Kenalin, namaku Selly. Ingat selalu ya. Selly. Kalau Mas butuh temen, datang ke sini, tanyakan sama penjual makanan di sekitar sini, di mana Selly," repetnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling Kota Tua. "Penjual malam di sini semua tahu aku. Nanti aku temeni kamu sepuasnya," janjinya sambil mencodongkan bibirnya ke telingaku.

Eits, mau apa? Takut juga kena sosor. Gawat kalau lipstiknya nempel di tubuhku dan Suci tahu. Dia bisa salah paham. Ah, lagi-lagi Suci!

Aku pun menggeser badan mengambil jarak agar aman. Dasar, ada-ada aja nieh cewek!

"Kenapa tadi nangis? Katanya mau cerita," kataku mulai mengorek informasi. Keahlianku.

Selly, gadis genit itu kemudian menangis kembali. Aduh, ini cewek kesambet apaan? Aku jadi tak sabar. Ingin menghindar.

"Mas pikir cewek seperti aku ini ga punya perasaan? Mas pikir aku ini tak punya nurani? Aku sama normalnya dengan semua wanita di luar sana. Takut dosa. Takut kena penyakit. Tapi, aku lebih takut kelaparan, Mas. Aku lebih takut kekurangan. Kalau aku jadi orang berkecukupan seperti Mas, aku tak akan tersaruk-saruk di jalan ini," katanya di sela-sela sedu sedan.

"Ah, itu. Aku ngomongin diriku sendiri. Bukan ngomongin kamu."

"Sama aja. Itu mengusikku, Mas. Dahulu, aku juga pernah bertobat. Mentas dari dunia malam. Tapi apa yang kudapat? Semua orang tetep aja ngatain aku L*nte! Hidup makin susah setelah ga jual diri. Ga ada pria yang mau nafkahi. Kalau ngotot nikah sama sembarang orang, justru kami yang diperas keringatnya untuk nafkahi laki. Keadaan yang bikin aku seperti ini!"

Aku diam saja. Entah mengapa, aku ingin mendengar kisahnya. Biasanya aku bertugas mendengar kisah tokoh-tokoh hebat. Menjadikan kisah mereka jurnal liputan. Belum pernah aku menjadikan kisah hidup orang biasa sebagai materi berita. Lagipula siapa yang mau bayar iklannya? Siapa yang mau baca kisahnya jika hanya kisah-kisah kaum pinggiran. Memang mendengarkan kisah orang adalah salah satu pekerjaanku.

So, mari dengar apa yang hendak ia katakan!

***