webnovel

ARDI : Bersama Wanita Penghibur

Selly mulai menceritakan tentang dirinya. Wanita yang semula menawarkan diri untuk dijamah itu kini malah merasa nyaman berbagi cerita, layaknya teman lama.

"Aku umur 16 tahun saat hamil di luar nikah. Pacarku temen sekolah di SMA. Tahu aku hamil, dia malah pindah sekolah. Ga ada yang mau tanggung jawab. Akhirnya aku melahirkan tanpa ada pasangan. Umur 17 tahun udah jadi ibu, ga punya pendidikan maupun pekerjaan. Miskin pula," tuturnya sambil mata menerawang, mengenang peristiwa usang.

"Seseorang lalu menawariku kerja di Semarang. Jadi pelayan restoran. Tapi ternyata tugasku di sana melayani pria hidung belang. Ga ada pilihan lain, ya udah kulakukan. Toh aku sudah bukan perawan. Uangnya juga lumayan. Bos juga baik, tiap bulan diizinkan pulang untuk nengok anak di kampung halaman," mengambil jeda, menarik nafas berat, "lalu salah satu temenku kena HIV AIDS, aku ketakutan. Jadi sementara stop kerjaan. Balik kampung dan cari kerja seadanya."

Ia mengambil air minum dan menegaknya perlahan, seolah melepaskan seluruh beban di dada. Kubiarkan ia bercerita sesukanya.

"Karena takut mati akibat penyakit kelamin, jadi aku mencoba tobat. Ikut pengajian di kampung. Pergi-pergi pakai jilbab. Tapi tetap saja, orang-orang suka ngungkit-ngungkit kesalahanku di masa lalu yang bikin aku hamil di luar nikah. Ya, namanya remaja khilaf. Pacaran kebawa perasaan. Mana tahu kalau pas hamil bakal dicampakkan. Padahal waktu itu, kami lagi sayang-sayangnya. Apa lelaki emang sebrengsek itu? Suka habis manis sepah dibuang?" intonasinya meninggi. Seolah kesal pada semua lelaki dan aku salah satunya.

Tentu saja aku tidak sependapat. Aku tipe pria bertanggung jawab. Tak mungkin mengikuti jejak pria itu.

"Sorry, pria itu beda kelas sama aku." Aku menyela untuk meluruskan penilaiannya.

"Diam dulu, Mas. Dengerin aja. Mumpung aku mood curhat!" tepisnya. Selly kembali nyerocos. Mengenang masa lalunya yang kelam.

Biarlah, bagus juga untukku yang bingung menghabiskan waktu malam ini.

"Aku hampir menyerah jadi wanita baik-baik. Ga ada yang mau bantu aku berubah. Yang lalu diungkit-ungkit terus. Anak juga jadi sasaran. Disebut anak haram. Ga punya bapak. Jahat banget 'kan mulut orang zaman sekarang!"

"Aku kemudian nikah sama seorang pemuda yang aku kenal di kota. Kayak Mas gini. Salah satu langgananku dulu. Katanya sih, ia jatuh cinta sama aku, ngajak nikah. Ya aku mau, emang itu yang kutunggu. Ada pria yang mau menjaga keluarga kecilku."

"Tapi amit-amit, ternyata niatnya nikahin aku cuma biar bisa hidup gratisan. Aku diajak ke kotanya, kirain mau dinafkahin. Eh, ternyata malah disuruh kerja malam lagi. Jadi pemandu karaoke. Dia yang antar jemput, lho. Gila nggak?"

"Masa?" aku tak sabar ikut menyela. Tak percaya ada suami seperti itu. Apa tak jijik istrinya disentuh pria lain? Kalau itu aku, sudah kupatahkan kaki gadisku jika berani-beraninya melangkah ke tempat seperti itu.

"Iya, beneran sumpah. Ngapain bohong. Dan yang kayak gitu banyak. Mas aja yang cupu!" kata Selly meyakinkan.

"Kamu ngarang!" sahutku sulit percaya. Aku saja membayangkan tubuh Suci pernah disentuh orang lain sudah meradang. Ini malah suaminya yang menyuruh. Apakah itu masuk akal?

"Kalau Mas ga percaya, cobalah main-main ke tempat karaoke. Di sana banyak PK (pemandu karaoke) yang kerja direstui suami. Katanya sih, asal ga hubungan badan gapapa. Sebatas memandu karaoke. Picik banget 'kan? Di sana sarang maksiat. Tempatnya minum-minum. Kalau cuma ruang karaoke, ngapain tertutup? Remang-remang, bahkan ada toilet di dalam? Orang mau maksiat mah, ga usah dikasih tempat pasti dapat. Lha, ini malah dianter ke sarangnya. Artinya sengaja!"

"Lagian kerja kayak gitu, kalau ga mau disentuh jangan harap pulang bawa uang. Dipecat, iya! Makanya aku keluar. Udah banyak tekanan, banyak potongan. Mending kayak gini. Jual diri di tempat umum. Kalau beruntung dapat pelanggan yang baik hati. Ngasih tip banyak tanpa ada yang motong-motong lagi," dengan enteng menjelaskan pekerjaan barunya.

"Terus sekarang kamu masih sama suamimu itu?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"Enggak, udah kuceraikan. Kubuang ke tong sampah. Dasar cowok benalu. Ngapain aku capek-capek kerja buat dia. Mending uangnya kutabung buat emak dan bapak yang ngurusin anakku di kampung. Alhamdulillah, dari hasil jual diri udah bisa renovasi rumah."

Eh, kok dapat uang hasil zina malah bilang Alhamdulillah. Tepok jidat!

"Kenapa, Mas? Ada nyamuk? Sini kuusap aja jidatnya, jangan ditepuk gitu." Selly mendekat, berusaha menyentuh jidatku yang sengaja kutepuk karena ucapannya yang ga masuk akal.

Aku menggeleng sambil menjauh dari jangkauannya. Bingung menanggapi wanita ini. Di sisi lain, keberadaannya cukup menghiburku. Gimana aku harus merespon?

"Orang tuamu tahu kamu begini?" ujarku memancing dia kembali bercerita.

"Tahu, ada tetangga yang memergoki aku kerja gini di kota, langsung dihujat abis-abisan. Padahal dia tahunya juga pas mau 'jajan'. Bapak emak ga bisa berbuat apa-apa. Itu fakta. Cewek rendahan kayak aku bisa dapat uang banyak mau kerja apa? Jadi menteri kayak Bu Susi? Ngimpi!"

"Reaksi mereka gimana?" Mana mungkin ada orang tua yang fine-fine aja anaknya menjual diri, bukan?

"Ortu cuma nangis aja. Meratapi nasib. Aku dari keluarga miskin, Mas. Bapak ibu ga ada kerjaan tetap. Padahal ngurus anak zaman sekarang 'kan mahal ongkosnya. Jadi mereka pasrah. Lagian pas anaknya berubah pakai jilbab juga tetap dihujat, sekalian aja buka jilbab. Biar yang ngatain puas sekalian!"

"Bukan begitu! Kalau niat berubah, harus istiqomah. Anggap itu ujian dalam perjalanan hidupmu. Lambat laun, jika kau buktikan bahwa kamu sudah bertaubat. Tentu hujatan akan berhenti sendiri," aku sekedar menanggapi untuk meluruskan pendapatnya.

"Males, Mas. Emang enak pakai jilbab? Gerah tahu. Walaupun dulu aku mau, soalnya kata ustad, wanita muslimah harus pakai jilbab. Masalah kelakuan, nanti menyesuaikan. Tapi gimana mau menyesuaikan, kalau dianggap jilbaban cuma buat nutupin kebejatan? Emosi aku, Mas. Hina aku gapapa, tapi ga usah hina jilbabnya. Yang salah orangnya, bukan jilbabnya."

"Tapi akhirnya kamu buka juga kan jilbabnya?" sahutku.

"Iyalah, ga tega aku kalau jilbabku dihina-hina karena kelakuanku dulu. Memang orang itu banyak yang ga punya otak! Bisanya menghakimi orang lain, tanpa mau dengar kisahnya. Pasti 'kan ada alasan, kenapa seseorang begini atau begitu. Kalau mau berubah ga didukung tapi dipojokkan, ya apa orang itu kuat? Sayangnya, banyak orang yang pikirannya sepicik itu. Ah, males jadinya berhubungan sama orang-orang yang sok suci seperti itu!"

Selly mengibaskan rambutnya yang pendek. Parfumnya menggoda indraku. Tapi bukan itu yang membuatku gelisah kemudian. Kata-kata Selly seolah menampar kesadaranku berkali-kali. Sakit menghujam dada. Tanpa Selly sadari, ia telah menceramahi aku hingga mata ini memanas.

Akukah orang picik yang dimaksud? Iya akulah orang itu! Akulah orang "sok suci" yang menganggap istrinya berlindung hijab syar'i untuk menutupi dirinya yang sudah tidak suci.

***