webnovel

22 - ARDI : Best Moment

Resah, ketika masuk rumah dan mengucap salam, tetapi tak ada Suci yang menyambutku. Apakah ia sengaja pergi di saat suaminya kembali?

Bergegas aku ke ruang keluarga, namun dia juga tak ada. Aku mulai kalut, mengira ia telah mengkhianatiku. Bisa jadi ia seperti Desi, diam-diam mempermainkanku. Kukepalkan tangan, geram!

Kualihkan pandangan ke ruang makan yang terpisah oleh gorden. Tampak sesosok bayangan. Di sanakah dia? Perlahan aku menyibaknya.

Ouh .... Siapa dia? Kenapa bisa secantik itu malam ini?

Dia jauh berbeda dengan Desi. Wajah itu tidak liar, namun malu. Tidak menggoda, justru tersipu. Senyumnya, belum pernah kulihat senyum semanis itu.

Kulitnya yang putih pucat, terlihat berkilauan berkat gaun hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Cahaya lilin memancar, seakan menyeretku ke dunia yang berbeda.

Ada aroma wangi dari tubuh itu. Menggoda inderaku hingga membangkitkan seluruh naluri lelaki yang semula beku. Rambutnya yang panjang, yang selalu ia sembunyikan di balik jilbabnya yang lebar, kini ia urai hingga menebarkan harum yang tak pernah kuhirup sebelumnya.

Wanita ini, jika ia tak memperkenalkan diri, mungkin akan membuatku terpasung di tempatku berpijak. Tak kusangka, akan bertemu makhluk seperti dia saat aku menjejakkan kaki di rumah yang sederhana ini.

Benarkan ini rumahku? Benarkah dia istriku?

Wanita itu, mencium tanganku dengan takzim. Harumnya menggoda. Dan aroma ini, kontras dengan aroma tubuhku sendiri. Tubuh ini masih kotor paska bepergian jauh. Aku bahkan tak mengganti bajuku sejak dua hari lalu. Terakhir aku mandi adalah pagi tadi sebelum naik ke bus kota yang membawaku kembali dari Cianjur.

Namun wanita ini seolah tak peduli. Ia justru memperkenalkan diri. Ia Suci? Suciku ataukah ...?

"Kamu Suci?"

Dia mengangguk malu-malu. "Mas suka penampilanku?"

"Tidak Suci, jangan begini." Tanpa sadar aku menggelengkan kepala.

Bukan! Bukan karena aku tak suka. Hanya aku tak siap menghadapinya. Aku tak pede untuk mendekati tubuh itu, ia terlalu seksi bagiku. Aku tak pede untuk mencumbu bibir merahnya, ia terlalu ranum untukku. Aku gugup. Juga minder bertemu dengan bidadari itu, dengan penampilanku yang lusuh ini.

Rasanya menyesal, tak lebih dulu mampir ke pom bensin untuk mandi dan mengganti baju kotor yang sudah kukenakan sejak kemarin.

Lalu kulihat wanita itu menunduk sedih.

"Mas, teganya..." ia menggigit bibir yang telah dipoles merah. Aku takut lipstick yang indah itu, justru ia kacaukan sendiri.

Tidak Suci, tidak! Bukan aku tidak suka. Aku suka, tapi kau membuatku tak siap dengan semua persiapan yang kau buat.

Suci mulai menangis. Ya Tuhan, bagaimana aku harus menjelaskannya. Kulepaskan ransel yang sedari tadi setia bertengger di punggung.

Lalu kurengkuh pinggang Suci, kucumbu semampuku. Air matanya yang asin, menetes, membuat naluriku semakin terpancing. Ia menyalakan api, kini tak dapat kupadamkan lagi.

Lilin-lilin itu, kue tart itu, dan seluruh hidangan di meja itu, kini menjadi saksi bagaimana kutuntaskan hasrat ini di lantai yang menjadi tempat pertemuan kami.

***

"Lelah? Sakit?" tanyaku padanya setelah semua usai. Kubantu ia berdiri. Kusesali kebodohanku merusak penampilannya. Pestanya bahkan belum mulai, tapi kami sudah tiba di puncak acara. Mau apalagi? Ia membangkitkan macan tidur.

"Kenapa mas enggak sabaran sekali," Suci cemberut sambil merapikan rambut dan gaunnya.

"Lalu kenapa kau cengeng sekali. Sedikit-sedikit menangis. Dan jika menangis, kenapa selalu menggigit bibir? Begitu caramu merayu? Ingat jangan lakukan itu di depan pria lain!"

"Kenapa mas mengatakan hal yang menimbulkan penafsiran berbeda?" Suci terus protes, mungkin dia kesal aku tak melakukannya di kamar.

"Benarkah? Kamu saja yang tak pandai menafsirkan." Balasku sambil berdiri. Mengambil ranselku kembali dan membawanya ke kamar tidur kami.

***

Ah, Suci. Kenapa dia bisa lebih memikat daripada yang kuharapkan sebelumnya?

Kukeluarkan baju kotor dan sejumlah perangkat kerja dari ransel besar yang selalu kubawa saat bepergian. Tak sengaja kado untuknya ikut menyembul keluar. Tiga buah lingerie yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado berhiaskan bunga-bunga pink seolah mengejek.

Aku yang hendak memberikan kejutan, malah dikejutkan. Sialnya, aku tak punya persiapan.

Kuendus ketiakku. Ugh, baunya sudah seperti pabrik cuka. Kulirik penampilanku di cermin. Terakhir bershampo sudah tiga hari lalu. Rambutku cepak jadi tidak ketara kumalnya. Hanya saja, aroma terik matahari tertinggal di sana.

Apa yang Suci pikirkan? Pria lusuh ini yang tadi telah menyentuhnya dengan brutal. Agh, kugaruk-garuk kepala yang tak gatal. Kuletakkan kadoku di ranjang, hendak kuberikan nanti setelah membersihkan diri.

***

"Makan dulu, Mas. Aku sudah menyiapkan menu-menu kesukaanmu," sambut Suci setelah aku selesai mandi.

"Tahu dari mana itu kesukaanku?"

"Dari Mamamu," jawab wanita yang sudah kembali ke penampilannya sehari-hari. Ia mengganti bajunya dengan gamis rumahan biasa. Pakai jilbab pula. Namun make up masih menempel, jadi di mataku masih terlihat beda.

"Kenapa ganti baju?" tanyaku sambil lalu. Melahap makanan lezat di meja. Ternyata aku sangat lapar, butuh asupan. Pas juga, semua hidangan yang Suci sajikan sangat lezat dan menggugah selera. Rasanya sudah lama tidak makan nikmat seperti ini.

"Karena mas sudah merobek gaun yang baru kubeli itu." Uhuk, jawabannya membuatku tersedak.

Aku jadi malu, teringat perbuatanku. Oh, wanita seperti dia, kenapa bisa membuatku hampir gila?

"Kenapa, Mas? Pelan-pelan ya makannya. Masalah gaun enggak usah dipikirkan, lagian sudah Mas ganti," kata Suci sambil mengangsurkan gelas berisi air putih kepadaku.

"Mengganti gaunmu?" Keningku berkerut, tak merasa sudah menggantinya.

"Aku sudah buka kadonya." Kini Suci yang terlihat malu. Ia salah tingkah di tempat duduknya.

"Oh, itu…" aku tersenyum. Lega. Puas. Dia suka. Karena dia suka, aku bahagia. Jika begini, harus ada babak selanjutnya. Ya, ronde kedua.

Dalam hati aku berterima kasih pada Ucok. Berkat teori saktinya, sekarang aku punya senjata untuk membuat 'Wanita Es' itu meleleh. Tak apa, sedikit boros, yang penting hubungan kami bisa selalu hangat seperti malam ini.

Otakku jadi kotor membayangkan yang tidak-tidak. Sepertinya Suci tahu sehingga membuatnya memalingkan wajah dan salah tingkah. Rona merah membayang, membuat parasnya kian menggemaskan.

"Oh ya, kamu nanti mau pakai warna apa?" tanyaku mencoba mencairkan suasana canggung akibat lingerie yang kubawa.

"Mas maunya aku pakai warna apa?"

Uhuk-uhuk, kembali aku tersedak! Alamak, ini wanita. Lebih punya banyak cara untuk membuatku tak berdaya.

***