"Lha, kok jadi salah saya! Saya sudah membangunkan Anda berkali-kali tadi. Tapi Anda masih belum bangun," jawab Alatariel.
"Meskipun begitu, harusnya kau lakukan apapun untuk membangunkanku. Kau boleh menyiramku dengan air atau lakukan apapun agar aku terbangun. Aku ada pertemuan pagi, hari ini!" teriak Ehren.
"Anda juga seharusnya melakukan apapun untuk bangun," jawab Alatariel singkat.
"Pokoknya jika ada hal buruk yang terjadi karena aku terlambat. Itu semua gara-gara kau!" kata Ehren.
"Lha, kok nyalahin aku! Yang tidak bangun pagi itu Anda, yang terlambat juga Anda! Kenapa Anda menyalahkanku?" kata Alatariel.
"Jadi, kau berani melawanku!" kata Ehren marah.
"Lha, siapa yang melawanmu! Aku cuma membangunkanmu! Kau harusnya bersyukur masih bisa bangun sekarang. Walaupun sudah terlambat, sih! Tapi ingat, aku sudah membangunkanmu sejak langit masih hitam," kata Alatariel.
Ehren sangat kesal dengan ucapan Alatariel. Dia ingin membalas ucapan Alatariel tapi dia telah kehabisan waktu. Karena sudah terlambat, dia segera bergegas untuk bersiap menuju ke istana Amayuni. Alatariel hanya berdiri diam dan memandangi tingkah heboh suaminya. Tak berselang lama, Alatariel juga pergi menuju ruang kerjanya.
Kerajaan Tirtanu, Tahun 1344
"Tok, tok, tok!" seseorang mengetuk pintu ruang kerja Alatariel.
"Silakan masuk!" jawab Alatariel.
"Putri Mahkota, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," kata seorang pegawai kerajaan yang memegang pintu.
Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan masuk ke dalam ruangan. Pakaiannya sederhana warna coklat dan abu-abu, kumal, dan ada campuran tanah liatnya. Dia hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Walaupun dari jarak jauh, Alatariel sudah bisa mencium bau keringatnya namun dia mengabaikannya.
"Silakan duduk! Jadi, ada yang bisa saya bantu?" kata Alatariel mempersilakan.
"Terima kasih Putri Mahkota. Perkenalkan, saya Ono seorang petani yang tinggal di desa Lopme Saya punya kebun dan sawah di kaki Gunung Neji. 3 hari lagi, saya bisa memanen sayur dan padi saya. Sayangnya, kemarin semua tanaman di ladang saya rusak. Padahal dua hari yang lalu tanaman saya baik-baik saja. Semuanya rusak dalam semalam. Bukan karena binatang juga bukan karena diinjak dan ditabrak manusia. Semua tumbuhan langsung layu dan kering tapi daunnya masih berwarna hijau. Semua hewan yang ada di bawah tumbuhan mati. Ada ular mati, tikus mati, burung mati, dan semua jenis serangga di sana juga mati," kata pria 40 tahunan itu.
"Lalu, bagaimana dengan sawah yang lain?" tanya Alatariel.
"Sawah yang lain juga rusak. Ada yang rusak seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, terakhir sawah saya yang rusak kemarin. Jika semua tanaman di ladang rusak. Kami makan apa? Saya harap, Putri Mahkota punya ramuan khusus yang bisa mencegah kerusakan ladang yang lebih luas," kata Pak Ono.
"Untuk itu, saya harus melihat kondisinya tanamannya terlebih dahulu. Tadi, Anda datang naik apa?" tanya Alatariel.
"Saya jalan kaki sejak kemarin sore," jawab Pak Ono.
"Baiklah. Aku pinjami kuda dan kita pergi kesana bersama-sama," kata Alatariel.
"Terima kasih, Putri Mahkota Alatariel," kata Pak Ono.
Alatariel segera keluar dari ruang kerjanya bersama Pak Ono setelah mendengar cerita itu. Alatariel juga berpamitan pada staf kerajaan yang berjaga di ruang kerjanya. Tak berselang lama, Alatariel, Pak Ono, dan dua pengawal mereka siap berangkat ke Desa Lopme dengan berkuda.
Beberapa jam kemudian, rombongan Alatariel tiba di ladang Pak Ono. Kondisi ladangnya benar-benar memprihatinkan. Ladang yang mestinya berwarna hijau, kini berwarna kuning kecoklatan dan kusam. Semua tumbuhan dan hewan yang ada di sana mengering.
Kondisi ladang yang lain juga tak kalah memprihatinkan. Gunung Neji kini terlihat gersang, tandus, panas, kering, dan seakan tertutup karpet coklat. Alatariel dan pengawalnya keheranan. Baru kali ini mereka melihat kerusakan lahan yang sebesar dan seluas ini.
"Bagaimana bisa ini terjadi?" ucap Alatariel.
Alatariel segera turun dari kudanya. Dia berjalan memasuki ladang dan memeriksa kondisi tanaman. Ketika Alatariel memegang daun kacang polong, daun itu langsung hancur karena terlalu kering. Dia juga memetik kacang yang telah matang dan siap panen. Ternyata, biji kacang itu juga kering dan memiliki tekstur aneh.
"Tanaman ini terkena racun. Hanya racun yang bisa menyebabkan tanaman rusak seperti ini. Tapi racun apa yang memiliki dampak separah dan seluas ini? Padahal Gunung Neji terlihat tenang, rasanya tidak mungkin racun ini keluar dari kawan Gunung Neji" tanya Alatariel.
"Entahlah. Oleh karena itu, saya melapor pada Anda Putri Mahkota. Kata kepala desa, Andalah orang yang paling paham tentang racun dan ramuan obat," kata Pak Ono yang berada di belakang Alatariel.
Alatariel melipat kedua lututnya lalu duduk dengan bertumpu pada telapak kakinya. Dia menyerok tanah di ladang itu dengan telapak tangannya. Dia mencium aroma tanah itu dan aromanya aneh. Tidak seperti aroma tanah biasanya. Kemudian, dia segera mengambil satu kantung kain untuk menyimpan sampel tanah itu. Dia juga mengambil kantung kain lainnya untuk menyimpan sampel tanaman dan tikus mati yang ada di sana.
"Sebenarnya, saya masih belum tahu jenis racun apa yang merusak kadang ini. Saya masih harus memeriksanya. Sepertinya ini jenis racun baru. Karena kerusakannya sangat luas dan mengancam stok pangan Tirtanu, saya akan melaporkan kejadian ini ke Putra Mahkota dan Raja Cedric untuk ditindaklanjuti," kata Alatariel.
"Baik. Terima kasih, Putri Mahkota," ucap Pak Ono.
"Jika Anda di posisi saya, saya percaya bahwa Anda juga melakukan hal yang sama. Ini sudah menjadi tanggungjawab saya. Terima kasih telah melapor. Saya pamit dulu," pamit Alatariel.
Alatariel telah tiba di istana dua jam sebelum matahari terbenam. Dia segera pergi ke ruang kerja putra mahkota sambil membawa beberapa sampel dari kadang Pak Ono. Saat pintu terbuka, Alatariel tidak melihat Ehren di dalam ruang kerjanya.
Karena ruang kerja Ehren kosong, Alatariel segera keluar. Ternyata, Ehren sedang berjalan di ujung lorong sebelah kanan. Alatariel langsung berlari menghampiri Ehren begitu melihatnya.
"Putra Mahkota, ada kerusakan ladang berskala besar di…" lapor Alatariel.
Ternyata, Putra Mahkota Ehren melewati Alatariel begitu saja. Padahal, dia tahu Alatariel sedang berdiri di depannya. Ehren hanya diam saja seakan tidak mendengar ucapan Alatariel. Ehren mengabaikan Alatariel yang menghampirinya.
Alatariel tidak menyerah. Dia segera berbalik badan dan menyusul Ehren yang sudah berjalan jauh di belakangnya. Dalam sekejap, Alatariel sudah berada tepat di belakang Ehren. Dia segera memberikan laporan dari belakang Ehren.
"Ini gawat. Desa Lopme yang ada di kaki Gunung Neji. Desa Lopme mengalami gagal panen akibat kerusakan ini. Banyak ladang milik warga yang rusak akibat racun. Gunung Neji masih berstatus aman. Tidak mungkin jika racun itu berasal dari Gunung Neji. Kelangkaan pangan bisa muncul karena ini", lapor Alatariel.
Bukannya berhenti, Ehren malah mempercepat langkahnya untuk menjauh dari Alatariel. Alatariel langsung berlari menyusulnya. Dia sadar bahwa Ehren sedang berusaha mengabaikannya. Tapi karena ini adalah laporan penting, Alatariel berusaha bersabar dan terus mengejar Ehren.
"Putra Mahkota, tunggu sebentar!" panggil Alatariel.
"Putra Mahkota Ehren, ini penting!" lanjut Alatariel sambil terus mengejar Ehren.
"Jika benar-benar terjadi kelangkaan pangan minggu depan. Apa yang kita lakukan? Saya sudah cek kondisi ladang di sana. Setidaknya ada 20 hektar lahan yang rusak akibat racun. Ini gawat!" kata Alatariel.
Tapi Ehren terus mengabaikannya. Tanpa sadar, Ehren hampir berjalan mendekati danau Abbot padahal danau itu berjarak cukup jauh dari istana Amayuni. Dua orang pengawal yang mengikutinya mulai kelelahan.
"Apakah Anda masih marah dengan kejadian tadi pagi? Jika itu masalahnya, baiklah saya minta maaf. Kita bisa bahas itu nanti. Tapi setidaknya, tolong dengarkan laporan ini", kata Alatariel.
Tiba-tiba Putra Mahkota Ehren berhenti. Walau berhenti, Ehren tidak mau berbalik badan menghadap Alatariel. Ekspresi Ehren datar dan menatap lurus ke arah danau Abbot. Walaupun begitu, Alatariel lega dan bersyukur karena akhirnya Ehren mau mendengarkannya.
Saat berhenti, Alatariel baru dapat merasakan rasa sakit di kakinya karena berjalan cepat cukup jauh. Dia menarik napas panjang berkali-kali untuk menahan rasa sakitnya. Sesekali dia memijat kakinya yang kelelahan.
"Hahahahaha… Hahahahaha… Hahahahaha," tiba-tiba Ehren tertawa.