webnovel

EP. 087 - Hilang

Kerajaan Eldamanu, Tahun 1350

Jenderal Aiden mengetuk pintu sebuah ruangan. Dia sudah beberapa kali mengetuk namun tak ada jawaban. Takut ada hal yang tidak diinginkan, Jenderal Aiden segera membuka pintu. Ternyata di sana, ada Grizelle yang duduk sambil memeluk lututnya di atas kasur. Dia hanya menunduk ke bawah tanpa menyadari kehadiran Jenderal Aiden.

"Ada apa Grizelle?" tanya Jenderal Aiden.

"Kini aku sudah ingat," jawab Grizelle.

"Tentang?" tanya Jenderal Aiden.

"Semuanya," jawab Grizelle.

Jenderal Aiden mendekati Grizelle. Lalu dia duduk tepat di samping Grizelle. Namun Grizelle tetap menunduk dan mengabaikan Jenderal Aiden. Berbeda dengan Grizelle, Jenderal Aiden malah menatapnya walau diabaikan.

"Lalu?" tanya Aiden untuk memecah keheningan.

"Jika aku tahu akan hidup seperti ini, aku akan mencuri sebuah kapal sebelum datang ke sini! Harusnya aku melakukan itu," kata Grizelle.

"Memangnya hidup seperti apa yang ingin kamu jalani?" tanya Jenderal Aiden.

Grizelle diam saja. Wajahnya yang datar mendadak berubah jadi penuh amarah. Dia tidak menjawab pertanyaan Jenderal Aiden. Dia kembali memalingkan wajahnya dari Jenderal Aiden. Hal itu membuat Jenderal Aiden merasa tak nyaman. Jenderal Aiden memutuskan untuk keluar kamar dan meninggalkan Grizelle sendiri. Begitu pintu ditutup, terdengar suara guci pecah dari dalam kamar Grizelle. Jenderal Aiden juga mendengar suaranya.

"Haruskah dia menahan diri seperti itu," sindir Jenderal Aiden.

Pecahan guci keramik tersebar ke seluruh penjuru kamar. Ada yang berada di atas kasur dan ada juga yang berada di kolong meja. Jika dilihat dari ukuran pecahannya yang sangat kecil, guci itu telah dilempar dengan penuh tenaga. Di sudut ruangan, terlihat seekor tikus sedang kejang-kejang. Tikus itu tenggelam dalam genangan darahnya sendiri.Grizelle alias Alatariel menatap tikus itu.

Ternyata, Alatariel melempar sebuah guci keramik hanya untuk membunuh tikus yang kebetulan lewat di depannya. Dia risih dengan tikus coklat kotor yang melintas. Tanpa sadar, dia segera meraih guci keramik di sampingnya yang tingginya sekitar tiga jengkal tangan. Dia tersenyum lebar saat melihat tikus itu berdarah, kesakitan, dan akhirnya mati.

"Maaf… aku sudah terlalu lelah untuk menjadi orang baik," ucap Alatariel sambil tersenyum.

Jenderal Aiden keluar dari pintu belakang kastil. Dia berjalan ke arah sebuah pohon di halaman belakang. Di bawah pohon itu ada sebuah kursi yang diduduki seorang pria misterius yang bernama Azzo. Beberapa saat kemudian, Jenderal Aiden tiba dan duduk di samping Azzo.

"Bagaimana? Dia sudah ingat di mana dia menyimpan sarin dan penawarnya?" tanya Azzo.

"Ada lima tahap kesedihan. Satu, penyangkalan. Dua, kemarahan. Tiga, menawar. Empat, depresi. Lima, penerimaan. Sekarang, dia masih dalam tahap kemarahan. Mungkin dia akan ingat saat berada dalam tahap penerimaan. Kita tunggu saja," kata Jenderal Aiden.

"Lalu, apa yang terjadi jika dia berhasil mengingat letak sarin dan penawarnya?" tanya Azzo.

"Entahlah. Aku belum pernah bertanya tentang hal itu pada Yang Mulia. Tapi, penawar racun itu berhasil menyelamatkan beberapa warga Kepanu 4 tahun yang lalu," jawab Jenderal Aiden.

Hari sudah gelap, Jenderal Aiden berjalan menuju kamar Grizelle sambil membawa nampan makan malam. Dia mengetuk pintu tiga kali dan hasilnya sama seperti tadi siang, tidak ada respon dari Grizelle. Begitu pintu dibuka, alangkah kagetnya dia.

Kamar Grizelle sudah hancur berantakan bagai kapal pecah. Ada beberapa bagian retak dari dinding dan plafon kayu. Meja telah terbalik. Beberapa kursi patah dan roboh. Sprei dan bantal amburadul. Tidak ada lagi guci, gelas, dan kendi karena semuanya sudah berubah menjadi pecahan lembut yang berserakan di lantai. Namun, Grizelle sudah tidak ada di kamar.

Jenderal Aiden hanya bisa menggelengkan kepala dan berkata, "Seingatku, ini bukan rumahnya. Tapi dia bisa melakukan semua ini?"

Jenderal Aiden melihat ke arah jendela. Ternyata jendela itu terbuka dan menampilkan hitamnya malam. Dia meletakkan nampan yang dia bawa ke atas kasur. Lalu, dia memeriksa kondisi luar melalui jendela yang terbuka.

"Dia lompat dari lantai dua? Woww… Kesurupan apa dia?" pikir Jenderal Aiden.

Seseorang bergaun putih sedang menenteng pedang di tangan kanannya dan kapal di tangan kirinya. Dia berjalan melewati celah pepohonan yang tak beraturan di tengah hutan. "TTKKT," tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba dia mengayunkan pedangnya dengan keras ke arah pohon. Saking kerasnya, pedang itu bisa menancap ke pohon tanpa dipegang.

Ternyata, yang menancapkan pedang ke pohon adalah Alatariel. Alatariel menarik pedangnya yang tertancap. Sayangnya, pedang itu masih menancap kuat di pohon. Tak peduli seberapa kuat Alatariel menarik, pedang itu tidak bergeser sama sekali. Hal itu membuat Alatariel semakin kesal. Alatariel malah menggunakan kapaknya untuk memukuli pedangnya berkali-kali dan membuatnya semakin menancap dalam.

Merasa lelah, Alatariel akhirnya menancapkan kapaknya ke pohon tempat pedangnya menancap. Alatariel lanjut berjalan dengan menendang-nendang pohon di kanan kirinya. Hal itu membuat kakinya robek dan berdarah. Namun Alatariel tak peduli, dia terus menendang-nendang pohon untuk meluapkan amarahnya.

"AAAAAAAARRRRGGHHH!" teriak Alatariel kesal.

Seseorang berdiri tenang mengawasi Alatariel dari kejauhan. Saat Alatariel sudah menjauh, dia baru berjalan, mendekati pohon tempat menancap nya pedang dan kapal. Orang itu mengangkat tangan kanannya dan muncullah bayangan hitam dari telapaknya. Ketika bayangan hitam itu sudah pekat, dia langsung menarik kapak yang tertancap di atas pedang dengan mudahnya. Tak lupa, dia juga mencabut pedang itu.

Orang yang mencabut pedang di pohon adalah pemilik kastil, Azzo. Dia mengikuti Alatariel dari kejauhan. Alatariel masih berteriak-teriak dan menendangi pohon di dalam hutan. Azzo tetap mengikuti Alatariel untuk menjaganya walau dari kejauhan.

Beberapa jam kemudian, Alatariel berhenti. Dia sudah terlalu lelah untuk marah. Akhirnya, dia duduk di bawah sebuah pohon. Saat itu, dia baru sadar kalau dia berada di dalam kegelapan. Dia tidak membawa penerangan apapun. Saat itulah, dia sadar bahwa dia sudah kehilangan arah.

Alatariel menoleh ke kanan, ke kiri, berputar-putar. Apa yang dia lihat hanyalah hitam dan gelap seperti mati lampu. Bahkan Alatariel tak tahu kalau dia ada di dalam hutan. Dia tersesat.

"Di mana aku? Di mana aku? Kenapa semuanya gelap?" teriak Alatariel.

Alatariel baru sadar bahwa dia tersesat. Dia tadi berjalan tanpa arah. Kakinya tiba-tiba lemas dan memaksanya duduk bersandar pada pohon. Dia meluruskan kakinya dan menyadari bahwa kakinya telah penuh dengan darah dan luka.

"Sudah? Ini saja? Apakah ini akhir dari hidupku? Setelah semua yang terjadi? Dan aku sendiri di sini? Baguslah! Kini semuanya sudah usai" kata Alatariel.

Alatariel menarik sebuah napas panjang. Napas itu membuatnya lebih tenang dan lebih sadar. Tidak ada hal istimewa yang dia lakukan. Dia hanya menarik napas panjang berkali-kali dengan tatapan kosong. Dia merasa kini semua jalan menjauh.

Alatariel merasa kehilangan harapan, kehilangan semangat, kehilangan arah, dan tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia merasa bahwa kini dia tidak memiliki apapun. Segala yang dia miliki sudah hilang termasuk amnesianya.

"Sepertinya, akan lebih baik jika aku melupakan semuanya. Sepertinya, mengalami amnesia adalah anugerah yang terbaik. Ditinggalkan ibu, ditinggalkan ayah, ditinggalkan kakek, ditinggalkan mertua, ditinggalkan suami, ditinggalkan anak, dan semua itu masih belum cukup. Kini aku juga kehilangan nama, kehilangan tempat tinggal, kehilangan arah, dan tenggelam dalam gelap," curhat Alatariel.

Alatariel yang awalnya duduk, kini mulai berbaring di atas tanah. Dia menutup kedua matanya. Dia pasrah, yang terjadi, terjadilah. Bau tanah dan dedaunan kotor mulai memasuki hidungnya. Hawa dingin mulai mengelus kulitnya. Alatariel siap jika harus kehilangan nyawanya detik ini juga.

Tiba-tiba muncul warna merah di depan Alatariel. Warna merah itu semakin lama semakin terang dan memaksanya untuk membuka mata. Kini semuanya terlihat lebih terang. Alatariel sadar bahwa dia ada di tengah hutan.

"Tapi… dari mana asal cahaya ini," batin Alatariel.

Alatariel mengarahkan pandangan ke sampingnya. Ternyata di sana sudah berdiri Azzo yang memegang obor. Alatariel tidak sendirian di tengah hutan.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih lega?" tanya Azzo.