webnovel

Teman Baru

"Viola!" ia berlari dan menarik tangan adiknya, mencegahnya keluar apartemen.

"Kenapa?" Viola menoleh.

"Kau….mau kemana malam-malam?"

"Eh?"

Viola menatap sekeliling dan mendapati bahwa ia sedang tak mengenakan seragam sekolah, melainkan baju tidur yang dibelikan Kak Roy. Sinar matahari tidak menembus jendela, melainkan lampu tengah yang bersinar terang. Ia terdiam mematung dan terkejut.

"Tidak apa-apa," Roy memeluknya dan mengusap kepalanya pelana. "Tidak apa-apa. Aku kadang-kadang juga melupakannya. Tidak apa-apa."

***

Beberapa hari kemudian, Roy dan Viola sudah pindah ke apartemen baru dekat universitas ibu kota. Itu apartemen bintang lima, letaknya agak dekat dengan apartemen Maya, Tian dan Oska. Hari itu juga, Viola sudah mulai masuk sekolah. Kakaknya memaksanya, meski mereka baru pindahan. Viola berusaha bahagia hari ini.

"Hari ini akan jadi hari yang menarik," kata Roy. "Kau sudah tahu dimana sekolahnya kan?"

"Hem, aku tahu," sahut Viola sembari tersenyum dan bersiap dengan seragam sekolah barunya.

Setelah pamit, Viola keluar dan berangkat sekolah.

Hari kusutnya yang seperti benang basah, kini seperti tertutup oleh wajah salju cerah, teduh. Waktu tertidur semalam. Bukan dalam arti yang sebenarnya. Banyak hal mengenai masa lampau. Buku-buku, film, jam kosong. Terlalu banyak seni yang tak begitu indah. Mengeluh bukanlah sesuatu yang logis untuk dilakukan, menurut Viola.

Trotoar sesak lalu lalang manusia. Suara klakson bersahutan. Asap kendaraan menyusup di ban pengguna jalan, juga kepulan rokok. Polisi lalu lintas sibuk mengintai para penyelewang norma. Pagi yang sibuk.

Viola terperangah akan sesuatu. Matanya menyipit lurus. Jalan di hadapannya tiba-tiba buram tak jelas, terlihat melandai-landai. Penglihatannya kurang baik begitu juga pendengarannya. Ia terhuyung. Orang-orang di sekeliling bergeser-geser seperti hologram. Trotoar panjang tak berujung. Jauh sekali tak ada siapapun. Hanya diterangi gelap. Dengan sebuah purnama. Delusi menyerang tanpa ampun. Mengguyur benaknya yang dalam. Viola terhenyak. Segalanya menyempit. Berputar-putar tak karuan. Kondisinya kian runtuh, kala seorang pria yang berjalan tergesa-gesa tanpa sengaja menyenggol bahunya. Dirinya oleng. Terjatuh, terduduk bersama lamunan kosong. Menggerayangi pikirannya. Lebam tanpa kata. Tanpa ujar yang jelas.

"Maaf, aku tidak sengaja" suara berat seseorang yang tengah berjongkok di hadapan Viola. Pria itu merasa bersalah. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Viola menyempatkan sedikit kesadaran yang masih tersisa. Lengkap sudah keganjilan perasaannya kali ini. Terdiam seperti merenungkan sesuatu. Ia mendongak, matanya bertemu dengan sorot cahaya yang begitu mengkhawatirkannya. Pria itu mengulangi pertanyaannya. Viola mengernyitkan dahi.

"Apa maksudmu bertanya aku baik-baik saja! Apa aku terlihat tidak waras? Apa aku terlihat gila bagimu?" Viola menyentak. Matanya memicing pedas. Mendadak emosinya membuncah tanpa alasan.

"Eh?" pria itu nampak tak nyaman mendengarnya.

Viola tersenyum kepayahan. Kerongkongannya kering kehausan. Bibirnya memutih layaknya pasien kekurangan nutrisi. Pria sebaya di hadapannya tercengang. Apa salah menanyakan keadaan seseorang yang baru saja berantukan dengannya? Gumamnya. Pria itu memikirkan sesuatu.

Situasi yang tidak menguntungkan. Viola menatap sekeliling. Sejenis semak belukar dan tumbuhan berduri. Meratapi aspal hitam. Kekosongan tersemat dalam otak. Kakinya lecet namun tak dipedulikan. Dengan tertatih ia bangkit. Pria itu masih memaksa memegangi lengan Viola kalau-kalau ia jatuh. Namun, keangkuhan dan kepura-puraannya masih terjaga. Tangan pria itu ditampik ke udara. Dibuangnya sebagaimana ia terbuang dahulu. Sebagaimana ia tak ada pengakuan dahulu.

Berbekal nyali seadanya, Viola melangkahkan kakinya yang perih, meninggalkan tempat tanpa pernyataan apapun. Hanya meninggalkan wajah datar yang tak sengaja terekam dalam pikiran pria itu.

Semakin lama semakin jauh. Punggung viola semakin buram dari jarak cukup panjang di ujung jalan. Saraf pria itu bermain-main kecil. Kata-kata yang lumayan tidak adil diterimanya dari mulut berbusa seorang gadis apatis. Merasuki celah indra kelimanya. Padahal ia masih baik ingin menolong, malah umpatan yang diterima. Dirinya yakin gadis itu adalah seseorang yang kesepian dalam hidupnya. Tertulis jelas di wajahnya yang panik dan getir. Orang asing dianggapnya sebagai ancaman. Ucapannya tadi semacam gerakan refleksi manuver dari dirinya.

Pria itu mengangkat sebelah alisnya. Dimasukkannya jari-jari tangan ke dalam saku celana sembari berfikir dengan aura tenang dan realistis.

Acara berjalan kakinya masih diikuti bising. Pria itu sesekali melirik pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Teriakan-teriakan memekik di telinga. Rupanya norma masih belum berjalan dengan seharusnya. Masih sebuah ekspektasi dan formalitas. Ia hanya melewati sudut-sudut gang sempit selagi mengejar waktu. Tiba-tiba, sebuah dorongan dadakan mengejutkannya. Tubuhnya tersentak ke depan. Hampir saja ia mendarat jatuh ke tanah dengan posisi kepala lebih dulu. Pria itu mengumpat sial. Ia menoleh ke belakang, ke arah datangnya bencana.

"Kau? Lagi?" matanya membulat, alisnya mengerut, menyatu satu sama lain.

Ia menatap Viola dengan tajam, gadis yang sama beberapa menit yang lalu. Kali ini dia yang malah menabrak orang. Atau mungkin disengaja?

"Maaf" ujar Viola tertahan. Ia memberanikan diri berbicara, meski tahu pria di hadapannya nampak tak suka melihatnya lagi.

"Aku ingin mengikutimu." kata Viola.

"Apa?" pria itu tercengang. Dilonggarkannya dasi yang terasa mengekang lehernya. Mulutnya tercekat. Ia mendecakkan lidah. Sebenarnya ia sudah terlanjur malas menanggapinya.

"Maaf atas sikapku tadi. Aku hanya sedikit gugup." Viola merasa canggung.

"Jadi?"

"Seragam yang kau kenakan itu...sepertinya sama denganku. Jadi aku akan mengikutimu sampai sekolah."

"Kenapa?" tuntut pria itu lagi.

Makin lama, ia semakin penasaran dengan gadis berambut panjang kecokelatan yang berdiri di depannya.

"Karena aku...lupa dimana sekolahku."

Lupa? Terdengar seperti bukan sebuah alasan. Atau mungkin hanya sapaan ringan di telinga. Tak ada perbincangan lagi. Atmosfer diantara keduanya sedingin es. Sama-sama berpandangan meyakinkan.

Hari masih ditutupi kabut. Tersemai di pepohonan. Viola memutuskan untuk berhenti melangkah. Menunggu derap pria dingin itu.

"Itu bagus. Kau bisa mengekor di belakangku."

Entahlah. Apa yang dimaksudnya dengan mengekor. Viola mengubah mimiknya. Sejujurnya ia tak senang dengan kalimat semacam itu. Tetapi jejak sepatu pria itu semakin jauh. Ia berlari menyamai tapaknya.

Asap knalpot kendaraan. Teriakan pedagang asongan yang memekik. Lampu lalu lintas. Kabut yang lumayan pekat di ujung trotoar. Melayang-layang memenuhi awan. Senyap seolah memakan aksara. Viola terpaku menatap pria tinggi di depannya. Aura dingin menyelimutinya. Namun tersimpan sedikit perasaan hangat seperti api kecil. Diingatnya lagi ketika dirinya terjatuh tadi. Kekhawatiran pria itu. Raut wajah tertekuk. Membuatnya benci. Ingin bersumpah serapah. Kasihan. Kasihan adalah andalan semua manusia. Dan ia benci itu. Lagi-lagi bukan sebuah hal yang tulus.

Sesampainya di sana. Pria itu mendengus. Seraya langkahnya berhenti. Ia menoleh menatap Viola di belakang. Matanya memicing tak suka. Tersirat, tersembunyi dalam bola matanya.

"Lunas sudah" katanya. "Aku membayar kesalahanku. Aku menabrakmu dan aku mengantarmu sampai ke sekolah dengan selamat."

Viola memutar bola matanya. Rupanya pria itu menganggapnya remeh. Ia membalasnya.

"Lain kali, jika kau menabrakku. Lebih baik tinggalkan saja aku. Dan kau tak perlu membayar hutang. Karena aku tidak suka," Viola mendecih.