"Aku tanya serius. Bagaimana kencan butamu kemarin?"
"Aku berakhir disiram jus."
"Apa?!"
Nico menatap nanar udara. Ia mengingat Maya yang kemarin.
"Apa yang terjadi?" tanya Andra.
"Aku tidak tahu. Sepertinya aku sudah melukainya."
"Siapa?"
Ingatannya melayang saat kemarin.
"Cobalah sewa wanita yang lebih sepadan denganku. Br*ngsek!"
"Jadi kau senang dan merasa hebat sekarang? Karena kau kencan dengan anak dekan? Kau memanfaatkannya?"
Apa kau marah karena aku mengataimu pendek? Ini zaman milenial, sadarlah, May! Sangat memalukan kalau kau marah gara-gara hal sepele?"
"May, sebenarnya dia ini siapamu, sih? Pacar? Terus yang kemarin (Tian)? Dan yang di kafe (Oska)? Apa kau digilir oleh mereka, haha?
Maya duduk di depan meja komputernya. Dan menatap layarnya melamun. Ia tengah mengingat kata kata Jeffry kemarin dan teman kencan butanya. Membuatnya kesal.
"Memang pantas si Jeffry ditonjok si Tian. Eh? Kan bukan senior yang memukulnya."
Maya mengingat lagi kalau Nico yang ternyata memukulnya.
"Apa kau yang membuat wajah Jeffry babak belur tadi pagi?" tanya Maya.
"Tidak."
"Sungguh?" (cek bab 17)
Maya ingin meminta maaf pada Tian karena asal tuduh waktu. Namun mengingat saat kemarin ia sempat dirawat di klinik dan ditemani seniornya itu ia jadi malu sendiri.
"Apa aku harus membawakan sesuatu untuknya?" Maya ragu.
Setelah diingat lagi, ternyata kemarin ia hanya nyeri perut karena salah makan. Saat berpura pura menjadi pacar Nico di kencan buta ia tidak makan apapun selain makanan restoran mahal yang sama sekali tidak bisa ia cerna. Melihat harganya yang fantastis saja membuatnya mual. Belum lagi saat Nico disiram oleh teman wanita itu. Ia tidak makan apa apa setelah itu. Padahal itu adalah hari libur kerja, tapi dia malah sakit.
"Apa aku bisa menghadapi Kak Oska besok?" Maya tertekan. "Ah sial! Apa yang harus aku lakukan?"
Bahu Maya turun. Ia sangat malu pada mereka berdua. Mana keduanya sama sama seniornya. Yang satu di kampus, satunya lagi di tempat kerja dan parahnya keduanya adalah tetangga se apartemen. Takdir macam apa ini ya Tuhan.
"Sepertinya aku memang terlahir hidup mengenaskan seperti ini. Hah sial! Mana si Nico sialan itu bilang akan memberiku gaji karena jadi pacar palsunya kemarin. Malah dia memberiku gaun mahal yang tidak bisa aku jual. Astaga…"
Maya hanya bisa mengeluh dan mengeluh.
***
"Nico. Siapa yang sudah kau lukai? Apa kau membuat seorang gadis terluka?" tanya Andra. Ia masih memaksa adiknya untuk memberitahu.
"Kak Nina…apa kau pernah melukai perasaannya?"
Deg
Andra mematung. Sudah lama ia tidak mendengar keluarganya memanggil nama itu di hadapannya. Meskipun ia tahu adiknya memang tidak menentang hubungannya dengan Nina. Tetap saja, itu aneh.
Andra hanya bisa membisu.
Nico sadar apa yang dikatakannya barusan itu salah.
"Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud menyinggungnya."
"Tidak. Tidak apa apa," Andra melempar senyum simpul.
Flashback 15 tahun yang lalu. Masa lalu Andra, Kakak Nico.
Ayah terbaring di ranjang pasien. Ibu menemaninya di samping sembari memegang tangannya. Andra mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Ia tak ada niatan masuk dan menjenguk ayahnya.
"Padahal ibu terluka dan lebam kakinya gara gara ditendang ayah. Mereka berdua sama saja."
Andra lalu melangkah di koridor seorang diri, tidak tahu mau kemana. Seorang petugas kesehatan menanyainya karena ia terlihat tersesat.
"Dek, kamu mau kemana?" tanya petugas itu ramah sembari sedikit berjongkok menyamakan tinggi badan Andra.
"Tidak kemana mana," Andra melirik kursi di lobi. "Aku mau duduk di sana kok."
Andra menunjuk kursi tunggu panjang lalu melewati petugas itu begitu saja.
Sementara itu ayah tiba-tiba membuka matanya perlahan. Ibu terkejut, ia menangis lega dan segera memanggil dokter. Setelah dokter datang dan memberi penjelasan bahwa darah tinggi ayah kumat namun untuk saat ini sudah agak membaik. Setelah dokter memastikannya boleh pulang esok hari, dokter meninggalkan ruangan.
Ayah mulai membicarakan masalah tadi, kali ini dengan kepala dingin dan berpikir jernih.
"Aku akan mengerahkan kepolisian untuk mencari anak kita," katanya.
"Aku tahu kau memikirkan anak kita, tapi kau harus menjaga kesehatanmu."
"Dimana Andra?"
"Dia…"
Ibu terdiam ragu. Di sisi lain ia tak ingin menyalahkan anaknya namun dengan semua bukti bahwa Andra adalah kakak Andi, berarti siapapun yang membuat ide untuk bolos di jam les tidak penting. Kenyataan bahwa Andra adalah kakak yang tidak becus menjaga adiknya. Sedang Andra hanya pulang dengan menyisakan kursi roda tanpa adiknya.
Ayah marah melihat ibu memalingkan wajah dan melindungi anaknya.
"Dimana Andra? Dimana dia sekarang?!" teriak ayah.
Ibu memegangi dadanya, mencegah dadanya naik ke atas.
"Tenang dulu, suamiku. Jangan terbawa emosi dulu. Kau baru saja membaik, kau tahu itu kan!"
"Seandainya dulu kau tidak kehilangan bayi perempuan kita..seandainya kau tidak ceroboh…ini semua salahmu! Salahmu karena kehilangan anak perempuan kita!"
Ayah ganti melemparkan kesalahan pada ibu. Ia melempar lengan ibu hingga terdorong ke belakang.
"Kenapa kau selalu menyalahkanku atas semua itu! Aku yang mengandungnya!" ibu menangis sembari menunjuk dirinya sendiri bahwa ia sudah berusaha selama ini. "Setiap ku hubungi kau selalu bilang tidak punya waktu, kau selalu sibuk, kau mengacuhkanku saat aku mengandung bayimu! Kau bilang semua salahku! Huh?!"
Ibu terduduk di lantai sembari menangis, ia memegang dadanya yang nyeri dan sakit. Ialah yang paling merasa menderita, setelah kehilangan bayi perempuannya. Dia seharusnya menjadi adik Andra saat ini jika berhasil diselamatkan.
"Anak kita hilang tapi kau malah membahas masa lalu dan menumpahkan kekesalanmu pada anakmu! Kau ingat tadi memukulnya sampai babak belur?! sekarang apa? Kau mencarinya lagi untuk dipukuli?! Pernahkah kau memikirkan betapa tersiksanya putra putramu karena keegoisanmu!"
Ibu bangkit dan berdiri, ia melangkah mendekat ke ranjang ayah. Ayah memalingkan muka, ia nampaknya agak sadar dengan semua perkataan istrinya, namun tak mau mengakui semua itu.
"Lihat aku," pinta ibu. "Lihat aku dan katakan bahwa semua kemalangan yang diterima putra dan putrimu adalah kesalahanku. Aku tidak peduli berapa ribu personil polisi yang kau kerahkan untuk mencari Andi, pokonya kau harus menemukannya. Titik. Dan satu lagi, aku akan membawakan anak perempuan jika kau terus begini."
Ibu berbalik dan melangkah menuju pintu. Begitu mendengar itu ayah menoleh terkejut dan mempertanyakan pernyataan istrinya.
"Apa maksudmu?"
"Kau harus menemukan Andi secepatnya. Dan aku akan mengurus anak perempuannya untukmu."
"Farah! Kau benar-benar akan mengadopsinya?!"
Istrinya menoleh dengan tatapan tajam. "Bukankah dia putri temanmu di kepolisian? Kau harus bertanggung jawab mengurusnya, bukankah kau yang menyebabkan anak itu menjadi yatim piatu?"
Degh
Ayah merasa tertampar. Ia tak berani menatap istrinya. Skakmat sudah., memang untuk urusan itu ia tak bisa mengelak. Jika Farah telah mengatakannya dengan sungguh-sungguh, maka ia akan melakukannya.
"Aku menyelamatkan anak itu. Karena kalau tidak, ayahnya lah yang akan membunuhnya," kata Ayah, tentu saja itu hanya di pikirannya. Ia tidak mungkin mengatakan fakta itu pada istrinya.
Beberapa bulan kemudian setelah kondisi ayah mulai membaik.
"Mulai sekarang Nana akan jadi bagian dari keluarga kita."Ibu tersenyum sumringah. Ia menjelaskannya di hadapan semua asisten rumah tangga, termasuk Andra. Ayah hanya mengangguk mengiyakan pernyataan isterinya.
Semua orang di sana ikut bahagia. Akhirnya setelah kemalangan yang menimpa keluarga Abraham setidaknya berkurang. Pak Abraham sendiri juga tidak menyerah terhadap putranya yang lama hilang. Ia akan terus berusaha menelusurinya, meskipun tak pernah membuahkan hasil hingga sekarang. Jadi semua orang bersyukur bahwa keluarga ini memiliki anggota baru yang cantik dan manis.
Namanya Nana, usianya terpaut Andra 2 tahun, usianya sama dengan Andi. Ia memiliki senyum yang manis dan bibir yang mungil, matanya lebar dan senyumannya cantik. Semua orang bahagia menyambutnya, kecuali satu orang.
Andra bangkit dari duduknya. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Dengan gaya angkuh bak ayahnya, ia berjalan melewati ibu dan Nana, lalu naik ke lantai atas, ke kamarnya. Tanpa menyapa ataupun memperkenalkan diri pada adik barunya.
"Dia pikir dengan tinggal di rumahku membuat kita jadi saudara, jangan naif!" batin Andra.
Semua asisten rumah tangga dan petugas rumah hanya bisa diam lalu kembali mengerjakan tugas mereka masing-masing. Hanya tersisa Nana, ayah dan ibu. Ibu melirik ke arah suaminya dan memicingkan mata.
"Lihat putramu. Dia sama kakunya denganmu!"
Ayah diam tak mengelak. Ia hanya menikmati kopinya sembari berpura-pura tak mendengar apapun.
Ibu menggandeng tangan kecil Nana dan mengajaknya naik ke atas. Kamar tidurnya tepat di sebelah kamar Andra. Ibu juga banyak menghabiskan waktu akhir-akhir ini dengan Nana, seperti menguncir rambutnya, mendandaninya, membelikan baju-baju perempuan yang cantik dan lucu, mengajaknya ke salon dan membelikannya dessert dan kue kue kesukaannya.
Andra hanya diam tak memberikan respon apapun. Ia menjalani aktivitasnya dengan biasa, pergi ke sekolah, belajar di kamar, tidur, mandi dan seterusnya. Setiap sarapan pagi ia mengacuhkan semua orang, termasuk adik barunya. Sejak kejadian itu ia menjadi pendiam, dingin dan kaku. Padahal usianya baru 13 tahun, namun dirinya memaksa untuk menjadi dewasa, ayah memahami kondisinya, namun tak bisa berbuat apa-apa apalagi mencegahnya. Kadang-kadang ayah juga masih mengungkit kesalahan Andra yang teledor di masa lalu. Semakin sering mendengarnya, Andra semakin menjadi pribadi yang tertutup, dingin dan kaku pada semua orang, termasuk keluarganya.
"Aku akan hidup sebagaimana aku sudah terlanjur hidup."