webnovel

Anak Datang Dari Teman

"Tolong jaga dia," ucap Jemmi pada Karin sambil melihat ke atas tempat tidur.

"Hah?" Karin mengerutkan dahinya dan menatap Jemmi dengan tidak percaya.

Dia baru saja pulang dari restoran tempat dia bekerja, sesampainya di rumah kontrakannya Karin malah kedatangan tamu yang tak diundang. Jemmi, teman sekolahnya saat dia masih di sekolah menengah atas. Terakhir kali bertemu kurang lebih setahun yang lalu saat mereka mengadakan pesan kelulusan di rumah cowok itu. Mereka berpisah karena Jemmi harus melanjutkan kuliah di Singapura sedangkan Karin harus tetap tinggal di sini.

Rencananya Karin akan mulai berkuliah di tahun ini dan tadi siang dia sudah mendapatkan pemberitahuan bahwa dia diterima di perguruan tinggi negeri favorit di kota ini. Akan tetapi pernyataan kelulusan itu menjadi sisa-sisa saat Jemmi datang bersama seorang anak yang baru berusia dua atau tiga bulan. Anak itu menempati tempat tidurnya yang hanya muat satu orang.

"Tolong kamu urus dia," kata Jemmi sekali lagi dan kali ini menggenggam kedua tangan Karin dengan erat.

"Dia ... dia anak siapa?" tanya Karin terbata-bata.

"Anak Evelyn."

"Lalu, di mana Evelyn sekarang? Kenapa anaknya bisa sama kamu? Oh sama satu lagi, Evelyn sudah nikah?"

Sama seperti Jemmi, Evelyn juga teman Karin saat sekolah dulu. Namun setelah selesai pesta kelulusan di rumah Jemmi itu, mereka tidak pernah bertemu lagi satu sama lain. Karin masih berkomunikasi hanya dengan Miranda, karena memang Karin bekerja di restoran temannya itu.

Untuk menjawab pertanyaan dari Karin, Jemmi tidak bisa menjawabnya secara cepat karena itu pertanyaan yang sulit baginya. Jemmi pun menarik tangan Karin untuk duduk di kursi. Mereka saling berhadapan agar lebih nyaman bagi Jemmi menjelaskannya.

"Apa jawaban kamu?"

"Aku...." Jemmi malah terlihat gelisah dan masih tidak bisa juga menjawab pertanyaan Karin.

"Jemmi, jelasin ke aku," desak Karin sambil mengguncang lutut cowok itu.

"Itu, anak aku sama Evelyn."

Tangan Karin yang mengguncang lutut Jemmi tiba-tiba saja berhenti. Karin pun menarik tangannya dengan perlahan dari sana. Sudah sangat akrab dengan Jemmi dan Evelyn bukan menjadi jaminan bahwa Karin tahu soal segalanya.

"Aku juga enggak tau kalau Evelyn hamil," ucap Jemmi sebelum Karin memberikan komentar. "Seminggu lalu dia ada hubungi aku dan dia minta ketemu. Aku baru bisa kembali kemarin malam dan baru tadi pagi aku bisa ketemu dia."

Karin menoleh sekali lagi pada bayi yang sedang terlelap di tempat tidurnya itu. Kemudian dia kembali pada Jemmi. Dengan ragu-ragu Karin tetap bertanya pada Jemmi, "Kamu yakin, itu anak kamu? Maksud aku, kenapa kamu bisa yakin? Apa ada buktinya?"

"Rin, tanyanya satu-satu," keluh Jemmi karena semuanya tidak bisa dia jelaskan perkataan. Jemmi perlu memikirkan semuanya.

"Kalo gitu ceritakan," pinta Karin.

"Sebenarnya, aku udah pacaran sama Evelyn dari kita kelas dua. Cuma hubungan ini enggak kita publikasi karena Evelyn enggak mau. Dia tetap mau keliatan seperti teman biasa. Aku setuju karena itu enggak mengganggu hubungan aku sama dia. Sampai akhirnya, aku ngelakuin itu sama Evelyn." Penjelasan Jemmi tiba-tiba saja terhenti karena Karin menyela.

"Kapan?"

"Waktu pesta perpisahan di rumah aku."

Karin memejamkan matanya, dia masih ingat jelas kejadian pesta malam itu. Evelyn dan Miranda mabuk sampai tidak sadarkan diri. Karin yang mengurus Miranda untuk dibawa pulang, sedangkan Jemmi menawarkan diri untuk mengantar Evelyn. Tetapi baru Karin ketahui hari ini, Jemmi tidak mengantar Evelyn ke rumah melainkan ke kamarnya.

"Dia lagi mabuk dan kamu maksa dia buat ngelakuin itu?"

Jemmi menggelengkan kepalanya untuk menepis anggapan dari Karin. "Evelyn masih setengah sadar dan kita ngelakuin atas mau sama mau."

Kata 'mau sama mau' yang keluar dari mulut Jemmi terasa seperti cambuk bagi Karin. Kali ini rasa sakit itu bisa dia tutupi dengan wajah datar. Karin tidak bereaksi apa pun.

"Kalo gitu, kamu harus bertanggung jawab." Karin mengalihkan pandangannya, dia takut Jemmi melihat matanya sedang berkaca-kaca.

Jemmi mengangguk. "Makanya aku bawa dia ke sini. Aku mau kamu ngerawat dia dan aku janji bakalan membiayai semua perawatannya. Termasuk, kamu bakalan aku gaji. Jadi kamu enggak perlu kerja di restoran Miranda lagi."

"Kenapa kamu enggak bawa dia ke rumah kamu? Tempat ini kecil."

"Nggak bisa," ucap Jemmi dengan panik lalu kembali memegangi kedua tangan Karin. "Kalo orang rumah tau, aku bisa dibunuh."

"Memang seharusnya begitu!" bentak Karin.

Tidak peduli seberapa keras Karin membentaknya, Jemmi tetap saja memohon pada cewek itu. Hanya Karin yang bisa membantunya. Jemmi tidak mungkin memberikan anaknya ke pada orang lain tapi tidak mungkin juga untuk membawanya pulang.

"Kalo aja aku tau Evelyn hamil karena perbuatan malam itu, mungkin aku bakalan suruh dia buat gugurin anak itu."

"Jem!" Bentak Karin sekali lagi dan kini dia menepis tangan Jemmi yang dari tadi memegangi tangannya. Karin lalu berdiri dari tempat duduk. Sambil menunjuk Jemmi dia berkata, "Bisa-bisanya kamu mau bunuh anak yang enggak berdosa begitu. Kesalahan ada di kamu, kenapa orang lain yang jadi korban?"

Karin menghampiri tempat tidurnya dan melihat anak itu dari dekat. Tanpa melakukan tes apa pun, Karin bisa melihat kalau ini memang anak Jemmi. Ada kesamaan bentuk wajah antara keduanya.

"Bantuin aku Rin, rawat dia." Jemmi mengikuti Karin yang berdiri di tempat tidur. Tatapan Karin masih saja melihat ke arah anak itu. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan seorang anak seperti ini di saat dia harus pergi ke kampus. Karin tidak bisa menerimanya, karena dia akan sibuk dengan urusan kuliah nantinya.

"Aku enggak bisa Jem," ucap Karin.

"Karin, aku mohon," rengek Jemmi dan kemudian dia berjongkok di hadapan Karin.

"Jem! Buat apa kamu begiitu." Karin menarik tangan Jemmi agar berdiri.

"Aku enggak bakalan berdiri sampai kamu mau terima buat ngerawat anak itu."

"Jemmi berdiri," kata Karin sambil sesekali menoleh ke arah tempat tidurnya.

"Rawat dia Rin," ucap Jemmi.

Selang beberapa menit, sebuah ponsel berdering. Jemmi yang katanya tidak akan berdiri sampai Karin mau menerima anaknya, kini berdiri untuk mengambil ponsel di dalam saku celana. Melihat layar ponsel, lalu segera menerima teleponnya.

"Ini lagi di super market," jawab Jemmi.

Karin mengerutkan keningnya karena mendengar Jemmi berbohong. Kembali lagi dia menoleh pada anak yang ada di tempat tidurnya. Sepertinya memang benar Jemmi sangat ingin menyembunyikan status anak ini.

"Oke," ucap Jemmi singkat sebelum memutuskan sambungan teleponnya. Setelah itu dia menaruh kembali ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian menatap Karin dan masih dengan tatapan memohon. "Jaga dia buat aku ya."

Karin menggeleng.

Jemmi malah memeluk Karin dan berucap, "Makasih Rin, aku percaya kamu bisa ngejaga dia."