webnovel

Ex-wife

"Kamu tahu gimana rasanya ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya?"

Kim_NE · Urbano
Classificações insuficientes
6 Chs

Chapter 3

"Bu Ris, Pak Kenzo mana, ya?"

Dosen Ilmu Hukum itu menoleh kepada sumber suara.

"Mana saya tahu, Pak Banyu. Kok nanyain Pak Kenzo ke saya, memangnya saya ini ibunya apa?!"

Bian Banyumas terkekeh. Dosen Bahasa Indonesia itu memang gemar menggoda pasangan fenomenal yang satu sama lain tinggi gengsi tapi terlihat sekali hasrat tertarik dari keduanya.

"Lho, bukannya Bu Airis ini calon jodohnya, ya?"

"Hih, amit-amit! Saya nggak suka sama cowok telinga lebar, nggak bagus buat keturunan."

"Jangan gitu dong, Bu. Kalau Pak Kenzo dengar nanti—"

"Saya udah dengar kok, Pak Banyu," vokal basnya memangkas kalimat Banyu. Kenzo Cahyo Kusumo, dosen Hukum Acara Perdata itu menebarkan senyum gantengnya. "Wajarlah, cewek kalau suka sama cowok suka gitu, malu-malu meong."

Banyu tertawa, berlainan dengan Airis yang justru mencibir. Seluruh semut beserta telur-telurnya pun mengakui kalau yang namanya Kenzo Cahyo Kusumo itu ganteng sekali, hanya saja lidah Airis pantang mengiyakannya. Ada bagian di mana hati Airis tidak mengizinkan untuk itu, karena Kenzo terkesan banyak memberi harapan palsu.

Airis adalah salah satu korbannya. Yang menjadi juara, Kenzo mendekati Airis hingga begitu dekat dan diprediksi akan jadian besok, tapi nyatanya tidak. Dosen Hukum Acara Perdata itu malah pacaran dengan yang lain.

Kasusnya seperti ... dekat dengan siapa, jadiannya dengan siapa yang bukan dia. Kan Airis sakit hati, makanya dia kesal setengah mampus kepada sebongkah daging yang diberi nama singkat KCK. Kenzo itu kurang ajar bagi Airis.

"Hati-hati lho, ya, kalian jodoh."

"Amit-amit, Pak Banyu! Tahu amit-amit gak, sih?!" Airis menjawab keki.

Kenzo tertawa ganteng. Dia tidak merasa tersinggung barang sedikit pun, baginya itu seru.

Lalu tak lama di ruangan dosen itu kehadiran tamu, Wiliem Fernandez beserta kawan baiknya—Marvel Alardo.

🍭🍭🍭

Vally mendapat tugas dari Bu Irina sebelum pulang untuk mengantarkan tas beliau ke ruangannya, sementara dosen Metodologi Penulisan Ilmiah itu sendiri sudah hengkang sebelum jam kelas berakhir.

Sesampainya di lantai dasar Vally pun segera memasuki salah satu ruangan yang bertuliskan 'Ruang Dosen' di depan pintunya. Di dalam sana terdapat beberapa meja dosen yang memang tidak memiliki ruangan khusus, beda dengan ruangan dosen Advokasinya yang—sial—Sehun Wiliam juga ada di sana.

"Aduh, saya penasaran ... Pak Marvel kapan, ya, mau halalin Bu Irina?"

Yang namanya Bian Banyumas itu memang kompor bagi kedekatan tiap orang. Dia gemar sekali menjodoh-jodohkan pasangan yang menjadi shiper-nya. Usia mereka sama rata tiga puluh tahun tapi terkesan awet muda, mungkin karena bahagia.

Tanpa diminta Vally pun mendengar obrolan mereka sambil mencari-cari meja dosen cantik yang baru saja Pak Banyu sebutkan.

"Kapan nih official? Saya pantengin dari dulu kok gak ada kemajuan, ya? Nanti Bu Irina diambil Pak Williem, lho."

Vally berdecak dalam hati, nama si Bangsul di sebutkan. Dia mengerling malas tanpa sadar. Namun dengan begitu tatapannya justru jadi bersirobok dengan Williem.

Ada tawa ganteng di sana, Williem sampai sengaja mengeraskan suaranya. "Boleh, tuh. Apalagi Irina kan cantik ... gak kayak mantan istri saya, buluk dan gak ada manis-manisnya."

Sial. Vally mengerang, bukan karena ucapan mantan suami, tapi karena meja Bu Irina adalah meja yang sedang Williem sandari.

"Eh, udah jam pulang nih ... saya pulang duluan, ya!"

"Saya ikut, Bu Ris!"

Airis dan Kenzo pun lengser dari sana sambil yang satu menggoda dan satunya lagi misuh-misuh tidak jelas.

"Saya lupa, saya tuh masih ada kelas," ringis Banyu. Tanpa pamit dia hengkang begitu saja.

Lalu Marvel menatap Williem dan hendak memberikan berkas yang Williem minta, tapi urung terjeda saat ada panggilan masuk di ponselnya. Dari Irina yang mustahil mau Marvel lewatkan.

"Bentar, Wil. Gue angkat telepon dulu, calon bini nelepon."

Antara Williem dan Marvel memang sedekat itu, di tempat kerja pun mereka tidak menggunakan embel-embel 'pak' seperti yang lain.

Sejak tadi berhasil menjadikan Vally obat nyamuk yang masih berpikir keras tentang mendekat atau balik lagi ke kelas.

"Ngapain kamu berdiri di sana?" tegur Williem saat ruangan sudah sunyi.

Vally tersenyum kaku. "Ini, Pak, tas Bu Irina. Saya dapat perintah untuk menaruhnya di meja."

Willi mencibir, "Halah, bilang aja mau modusin saya!"

Sebisa mungkin Vally hormat kepada dosennya tanpa mengindahkan masa lalu mereka yang dulu pernah sayang-sayangan. Dia menaruh tas itu di meja, tepat di sisi Williem, Vally berdiri.

Jujur, berat dia meninggalkan pria itu. Tapi mau bagaimana lagi? Vally punya alasan yang lebih kuat daripada rasa beratnya.

"Saya permisi, Pak."

"Iya sana pergi! Daripada lama-lama berdekatan dengan saya nanti kamu maksa minta balikan."

Terserah. Vally tidak mau peduli dengan segala ungkapan Williem.

Yang justru perginya Vally hari ini membuat Williem menyeringai, mengikuti.

🍭🍭🍭

"Lho, ban motor gue kok kempes?" Vally berjongkok dan mengeceknya sekali lagi, benar kempes. "Perasaan waktu pagi baik-baik aja—"

"Jadi kamu masih punya perasaan? Saya pikir perasaan kamu udah dibuang ke laut sejak minta cerai."

Vally terkesiap, dia lekas berdiri dan menghadap sumber suara yang menyahuti gumamannya.

"Pasti ini ulah Bapak, kan?" tuding Vally dengan mata memicing.

Williem bersedekap. "Cuma kempes doang, kan?"

"Ya, tapi saya jadi susah pulang!" geram Vally tak tahan lagi.

"Lebih susah mana sama saya yang dulu ditingalin istri pas lagi butuh-butuhnya? Anak saya gak ada, terus istri saya malah minta cerai."

Vally menahan napasnya. Pembahasan anak adalah hal yang paling sensitif baginya. Hal yang membuat hatinya terjepit, pertahanannya pun terusik.

"Pak—"

"Kenapa? Kamu sakit hati?"

Vally membuang napas berat. "Iya."

Williem tertawa remeh. "Emang kamu masih punya hati? Bukannya udah dibuang ke laut bareng perasaan?"

"Saya juga manusia, punya hati dan bisa sakit juga."

Yang ada Williem tertawa, matanya sampai berair. Memang menyakitkan. "Oh, gitu? Lebih sakit mana sama saya yang dulu kamu tinggalin pas lagi sayang-sayangnya?"

Vally terdiam. Dia berusaha sabar sekali lagi. Memang benar semua ini adalah salahnya. Jadi, pantas kalau Williem sampai mengempesi ban motornya.

Lalu berikutnya Vally memilih untuk mengendarai motor kempesnya dan dia akan berhenti di bengkel depan kampus.

"Saya belum ngasih izin kamu pergi, ya, Vally!"

Tapi mantan istrinya itu terus menjauh. Dada Williem bergemuruh.

"Gak akan pernah saya izinin kamu pergi," gumam Willi tepat di saat sosok Vally sudah tak lagi terlihat.

Sakit hatinya Williem itu tidak terukur, karena cintanya untuk Vally saja sampai tidak terbilang. Bukannya bucin, tapi tidak terima saja ditinggal pergi pas lagi sayang-sayangnya.

Vally harus merasakan sakit yang sama, setidaknya cewek itu harus menyesal karena sudah meninggalkan Willi di saat dia sedang terpuruk karena kehilangan anak mereka.

🍭🍭🍭

"Halo, Mi?"

Di bengkel Vally mendapatkan telepon dari mantan mami mertua.

"Vally lagi di bengkel. Ada apa ya, Mi?"

"Vally sehat, kan? Mami dengar kamu sempat dirawat bulan lalu?"

Vally terkekeh. "Itu kan udah lewat, Mi. Vally sehat, alhamdulillah."

"Kenapa nggak bilang? Kamu sakit apa, Sayang? Willi udah tahu?"

Yang membuat Vally meringis, merasa berat pisah dengan Williem adalah sosok ibu mertuanya. Beliau itu baik sekali, kasih sayangnya seperti ibu kandung sendiri. Vally agak tidak tega menghadapi kenyataan kalau nanti ibu mertua itu akan jadi ibu mertua untuk gadis lain. Tapi ya sudahlah ... mau tidak mau dia harus ikhlas. Toh, alasan Vally cerai dengan Williem lebih kuat dari apa pun.

"Gak apa-apa, Mi. Kak Vally nggak nanya, jadi dia gak tahu."

"Kamu ini! Sekarang abis dari bengkel bisa mampir, kan? Mami abis masak banyak nih, gak kemakan kalo cuma sama Willi."

"Maaf, Mi. Kayaknya Vally nggak—"

"Sayang, kamu belum maafin Williem, ya?"

Vally terkesiap. Ban motornya sudah diisi angin sejak tadi, tapi obrolan di telepon itu belum usai. Vally tak enak kalau mau mengakhiri.

"Ya udah, nanti Vally mampir."

Suasana berubah canggung. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang. Lagi-lagi Vally mengalihkan pembicaraan.

"Oke, Mami tunggu."

Setelah itu, Vally memasukkan ponselnya. Dia memberikan ongkos isi anginnya.

Hari ini dia akan berhadapan dengan masa lalunya, yang memang sejak kuliah di Universitas itu pun Vally sudah di hadapkan dengan masa lalu karena Williem terus mengungkitnya.

Belum juga Vally melajukan motornya, dia dicegat. Williem menodongkan tangannya dari bagian kaca mobil yang dibuka.

"Saya lihat STNK kamu."

"Buat apa, Pak?"

"Sini aja dulu, ada sesuatu yang mau saya cek. Kalau kamu gak mau, berarti kamu emang pengin saya gangguin terus."

Vally berdecak. Ada-ada saja dosennya itu. Dia pun mengeluarkan STNK-nya, lalu menyerahkannya kepada Willi yang dua detik berlalu mobil itu melaju.

"PAK WILLI!"

"PAK!"

"BALIKIN STNK SAYA!"

Percuma. Vally sudah dibodohi. Sial seribu sial! Sampai ponselnya berdering dan nama ex-husband tertera di sana.

"Hati-hati di lampu merah pertama, ya! Katanya lagi ada razia, kamu bisa kena tilang karena nggak memenuhi syarat berkendara."

"Kalo iya juga semua ini gara-gara lo, Kampret! Balikin STNK gue!"

"Kampret-kampret begini juga dulu kita pernah sayang-sayangan."

Dan begitu saja panggilan diputus. Vally kesal maksimal. Dia mencak-mencak di bengkel sampai nyaris membuat atensi tiap orang tertuju kepadanya.

"Yang dulu sayang-sayangan juga sekarang jadinya musuh bebuyutan, tai!" Vally kesal pangkat dua.

🍭