“Kenapa rumahku seperti ramai sekali?” tanya Lydia tidak jadi melanjutkan kalimatnya, ketika melihat rumahnya yang biasanya sepi sekarang banyak mobil yang parkir.
“Kamu ada tamu kali,” balas Erika ikut memperhatikan mobil-mobil yang ada di sana dan memarkirkan mobilnya di belakang salah satu mobil.
“Tidak. Jangan sampai mereka datang lagi,” gumam Lydia terlihat panik.
“Hah? Mereka siapa?” tanya Erika heran, tapi rupanya Lydia tidak lagi memperhatikan. Wanita itu sudah keluar dari mobil Erika dengan langkah terburu.
Erika yang kebingungan, langsung mematikan mesin mobilnya dan mengikuti langkah Lydia. Betapa terkejutnya Erika ketika mendengar teriakan sahabatnya yang sudah duluan masuk ke dalam ramah.
“Apa-apaan kalian?” Lydia berteriak melihat beberapa orang pria berada di dalam rumahnya dan terlihat sedang mengancam ibu dan adiknya.
“Oh, akhirnya kau datang juga.” Seorang pria yang duduk di sofa tunggal bersuara.
Lydia melihat keadaan rumahnya yang berantakan itu. Pecahan kaca bertebaran di lantai dan beberapa barang terlihat rusak, belum lagi beberapa lelaki berpakaian hitam yang tersebar di beberapa bagian rumahnya yang tidak besar itu.
“Oh, my God ada apa ini?” suara terkejut Erika membuat fokus Lydia kembali pada orang yang duduk di sofa tunggal.
“Mau apalagi sih kalian?” tanya Lydia berusaha untuk menekan rasa takutnya.
“Tentu saja menagih hutang, Sayang.”
Pria yang sedari tadi duduk itu kini berdiri di samping Lydia, memegang dagu runcingnya dengan dua jari. Tentu saja Lydia menepis tangan kurang ajar itu dengan cepat. Dia tidak sudi disentuh oleh orang-orang seperti ini.
“Hutangnya kan sudah kubayar lunas,” bisik Lydia tidak ingin ibunya mendengar percakapan ini.
“Iya, memang. Pokoknya sudah dibayar lunas, tapi bunganya kan belum,” jawab pria itu dengan berbisik, ditambah senyum miringnya.
“Brengsek. Perjanjiannya kan tidak seperti itu,” geram Lydia sama sekali tidak terlihat takut oleh luka di pipi pria itu.
“Memang seperti itu, Sayang.” Pria itu terkekeh pelan. “Kau bertanya berapa hutang ayahmu dan aku memberitahunya. Kau sama sekali tidak bertanya soal bunganya.”
Lydia menggeram sambil memejamkan mata. Dia memaki almarhum ayahnya dalam hati yang begitu bodoh meminjam uang dari rentenir. Mana jumlahnya besar lagi, pasti bunganya juga luar biasa.
“Berapa total yang harus kubayar?”
Tahu tidak mungkin menang berdebat dengan rentenir yang licin dan licik, Lydia hanya bisa mengalah. Itu lebih baik dari pada keluarganya atau bahkan Erika terluka.
“Tidak bayak kok. Hanya 480 juta saja.”
Lydia yang awalnya menatap ke depan, langsung menoleh. Itu hampir setengah dari jumlah yang dibayarkan Lydia lebih dari sebulan lalu. Dan itupun dirinya dan ibunya sudah mencicil sedikit dari hasil jual ini itu, sebelum akhirnya Lydia bisa membayar. Lalu kenapa masih ada sebanyak ini?
“Jumlahnya tentu akan bertambah karena bunganya jalan terus,” tambah pria itu dengan senyum yang makin lebar.
Dengan tangan gemetaran, Lydia mengambil ponselnya dari tas. Untung saja dia tidak menggunakan semua uang yang diberikan Reino.
Jumlah satu milyar digunakan untuk membayar utang, 100 juta untuk melunasi sisa KPR rumah. Dia juga memakainya untuk membayar tunggakan uang kuliah Kenzo adiknya, membeli beberapa barang dan sisanya 50 juta masih ada di rekening. Itu pun sudah terkuras karena Lydia sedikit boros belakangan ini.
“Tiga puluh juta sudah kutransfer. Sisanya akan dicicil seperti biasa,” balas Lydia berusaha untuk tenang, memperlihatkan bukti m-banking.
“Boleh sih, tapi artinya bunga tetap jalan ya. Bunganya berbunga lagi, tapi tenang saja bunganya sudah dikurangi kok. Tinggal 2 persen per bulan.”
Pria itu tertawa keras sekali, seraya mengajak semua anak buahnya untuk pergi dari situ. Tak lupa juga dia menggoda Erika yang memang paling cantik dari 4 bersahabat itu.
***
“Kamu yakin gak apa-apa, Lyd? Aku bisa sewakan pengawal buat kalian. Atau kau mungkin bisa pinjam uangku dulu. Kalau segitu aku ada kok.”
Lydia segera menggeleng menolak tawaran Erika. Walau cukup banyak uang dan hanya tinggal sendiri, hidup Erika juga sudah cukup berat. Dia tidak mau menambah beban lagi. Apalagi Lydia dengar, belakangan ini Erika agak susah.
“Walau aku gak setuju dengan tujuan hidupmu, uang itu jelas kau butuhkan untuk perusahaan kan? Jadi mending simpan saja untuk dirimu sendiri,” jawab Lydia berusaha untuk tidak menyinggung perasaan Erika.
“Gak apa-apa. Demi sahabat aku bisa menunda apapun yang ingin kulakukan. Atau mau dipolisikan? Aku bisa bantu,” Erika mencoba untuk meyakinkan. Dia tidak mungkin tidak menolong sahabat yang selalu ada untuknya dalam keadaan apapun.
“Gak perlu, Ka. Aku bisa kok menangani ini,” jawab Lydia menggenggam tangan Erika untuk meyakinkan sahabatnya itu.
“Asal jangan mengambil jalan yang salah. Oke?”
Hanya anggukan yang bisa diberikan Lydia. Erika sejak tadi sudah membantunya membereskan rumah. Sahabatnya itu bahkan dengan sukarela menggantikan televisinya yang rusak, dengan langsung memesan online. Bagaimana bisa Lydia menyulitkannya lebih dari ini.
“Erika sudah pulang?” tanya Liani ketika Lydia kembali masuk ke rumah setelah mengantar Erika.
Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu, tapi Lydia tetap menjawab dengan anggukan. Setelahnya, Liani meminta putri sulungnya untuk duduk bersama di meja makan. Kenzo pun ada di sana.
“Mama akan langsung bertanya saja ya. Kamu dapat dari mana uang sebanyak itu?”
Lydia menghela napas mendengar pertanyaan ibunya. Walau tadi sudah saling berbisik, pasti Liani masih mendengar pembicaraannya dengan debt collector tadi.
“Lydia dapat banyak bonus dari kantor. Dan setelah sekian kali ikut undian, akhirnya Lydia bisa dapat hadiah rumah. Rumahnya langsung dijual buat tutupin utang.”
Perempuan kurus itu berbohong dengan sangat lancar. Semua kalimat bohongnya agak sedikit tidak masuk akal, tapi selama sebulan ini Lydia hanya kepikiran hal ini. Apalagi memang dia hobi ikut undian apapun itu, jadi harusnya tidak ada yang curiga.
“Kenapa gak pernah beritahu Mama, Nak. Hal sebesar itu jangan diurus sendiri,” protes Liani percaya begitu saja dengan perkataan anaknya.
Kenzo sang adik pun sepertinya percaya saja karena tidak mengajukan protes. Dan Lydia bersyukur karenanya.
“Lydia pikir bisa urus semuanya sendiri, Ma,” ringisnya pelan.
“Lain kali jangan gitu dong, Kak. Biar gimanapun Kakak kan perempuan, bahaya kalau berurusan dengan orang seperti mereka. Setidaknya beritahu aku.”
Kini bukan hanya Liani saja yang protes, tapi Kenzo juga. Tidak ada yang bisa dikatakan Lydia selain tersenyum dan mengangguk. Dia sudah cukup senang punya keluarga sehangat ini.
“Sudah, sekarang mending kamu istirahat. Nanti soal sisa utangnya kita pikir sama-sama.”
Lydia tidak menolak permintaan ibunya dan segera masuk ke kamar. Setelah pintu kamar terkunci, barulah pertahanan Lydia luruh.
Dia yang sok kuat di depan keluarganya, kini duduk di lantai sambil memeluk kakinya. Meratapi nasib keluarganya yang terlilit utang ratusan juta dengan bunga mencekik.
Gaji Lydia lumayan sih, tapi tetap saja. Dengan nominal besar danbhunga tinggi, akan susah melunasi semua itu dalam waktu dekat.
“Apa aku ambil saja tawarannya Polar Bear?” gumamnya dalam keputus asaan.
***To Be Continued***