“Lyd, kamu dipanggil Pak Reino lagi,” seru Bu Nia dengan nada lelah.
“Again?” pekik Lydia tidak percaya.
Ini sudah hari keempat sejak Reino mengerjai Lydia. Pria itu akan meminta Lydia datang dengan alasan laporan, kemudian dia hanya akan disuruh berdiri. Kemudian akan diusir setelah Reino bosan.
Pernah juga Lydia disuruh merevisi laporan berkali-kali dan pada akhirnya kembali ke format awal. Kemarin bahkan Reino membentaknya dan melemparkan kertas ke wajahnya. Wajah Lydia sampai tergores kertas karenanya.
Lydia tidak mengerti kenapa Polar Bear itu selalu cari gara-gara dengannya. Masa iya gara-gara ditolak sih? Tidak mungkin Reino Andersen senorak itu kan? Tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Reino bertingkah setelah ditolak.
“Sebenarnya kamu ngapain sih sampai dikerjai Pak Reino seperti itu?” tanya Bu Nia, disertai tatapan kepo dari semua orang.
“Aku juga tidak tahu,” Lydia terpaksa berbohong. Tidak mungkin kan dia menjawab, dirinya menolak ajakan tidur dari seorang Reino Andersen.
“Kamu gak diapa-apain kan selama di dalam sana?” tanya Reino sangat khawatir.
“Gak lah,” tampik Lydia dengan cepat.
“Memangnya siapa yang akan bernapsu dengan tubuh seperti itu?” tanya Pak Trisno sang supervisor dengan angkuhnya.
“Siapa tahu aja kali, Pak. Selera orang kan siapa yang tahu,” Kiara mencoba membela rekan sekubikelnya.
Sudah terbiasa dihina seperti itu, Lydia tidak memedulikan supervisornya itu. Lebih baik dia segera pergi ke ruangan Polar Bear sialan itu, agar semuanya cepat selesai. Mungkin kali ini Lydia harus menolak dengan lebih tegas lagi.
“Dasar murahan. Setiap hari tahunya hanya jual diri.” Thalita si sekretaris centil, genit dan menyebalkan tak segan menghina Lydia ketika melihatnya kembali muncul di ruangannya.
“Tolong jangan samakan saya dengan kamu, Mbak Thalita. Saya gak tidur dengan orang yang bahkan bukan pacar saya,” jawab Lydia tegas dan setelahnya langsung mengetuk pintu ruangan Reino.
Thalita ingin membalas perkataan menyebalkan itu, tapi Lydia sudah membuka pintu ruangan Reino. Bahkan Lydia tidak menunggu sampai yang empunya ruangan menjawab ketukannya tadi. Dia sudah cukup muak dengan kelakuan Reino dan akan mengajukan protes.
Tapi baru juga pintu ruangan itu menutup, Lydia sudah terkurung di antara dua tangan kekar Reino. Lydia bahkan tidak tahu bagaimana cara pria itu berada di belakangnya seperti sekarang.
“Maaf, Pak. Ini kantor. Tolong jangan berbuat yang aneh-aneh,” gumam Lydia berusaha untuk tenang.
“Jadi kalau aku menyeretmu ke hotel kamu mau tidur denganku?” desis Reino pelan. Lydia bisa merasakan hembusan napas pria itu tepat di atas kepalanya.
“Jawaban saya tetap sama, Pak. Saya bukan wanita rendahan yang bisa Pak Reino sewa sebagai teman tidur,” jawab Lydia dengan napas yang mulai memburu. Dia takut akan diserang.
“Lalu apa yang harus kulakukan agar kau mau tidur denganku? Perlukah kita menikah lagi?” tanya Reino disertai geraman rendah.
Sudah terlau lama sejak yang terakhir kali dan kini dia merasa menderita. Belum pernah seorang Reino Andersen tersiksa seperti ini hanya karena ada wanita yang menolak tidur dengannya.
“Maaf, Pak. Saya rasa, saya tidak ingin lagi berurusan dengan anda secara personal.” Lydia memberanikan diri untuk mendonggak dan menatap Reino.
Perbedaan tinggi yang hampir 30 senti, membuat Lydia benar-benar harus menekuk lehernya. Padahal Lydia terbilang tinggi dan dia sudah memakai heels dan Reino juga sudah sedikit menunduk.
Sayangnya sebuah kesalahan bagi Lydia melakukan itu, karena dia jadi bisa melihat dengan jelas kabut gairah di mata Reino. Mata yang seakan bisa menghipnotisnya.
“Apa itu berarti termasuk dengan berhenti kerja di sini?” tanya Reino penuh penekanan dengan suara yang jelas sedang marah, tapi tatapannya tetap sama.
Tatapan intens yang siap menelanjangi Lydia detik itu juga. Dan jelas ini posisi yang membahayakan bagi Lydia karenanya dia kembali menunduk. Lebih baik dia menghindar sekarang juga.
“Maaf, Pak. Jika tidak ada hal lain, saya mau...”
Lydia tidak pernah menuntaskan kalimatnya, sebab Reino sudah terlebih dulu mengungkit dagu mungilnya dan membungkam bibir yang juga kecil dan tebal itu. Itu membuat Lydia terkejut dengan mata membulat, ketika bibir kenyal nun lembut itu mendarat di bibirnya.
Awalnya pagutan itu terasa terburu-buru dan tentu saja memaksa, apalagi karena Lydia berusaha melawan. Tentu saja Lydia yang kurus dan jauh lebih kecil dari Reino yang benar-benar punya fisik serupa beruang, tidak sanggup melawan.
Setiap pukulan yang diarahkan ke dada Reino serasa tak berarti. Apalagi ketika kedua tangannya telah dikunci. Lydia hanya bisa pasrah saja. Ingin menendangmu pun tak bisa karena kedua kakinya juga telah berubah menjadi jeli.
Reino sampai harus menahan tubuh Lydia dengan sebelah tangan. Sementara tangan lain menahan kedua tangan wanita itu di atas kepala.
Pagutan yang terburu itu segera berubah jadi lumatan yang benar-benar membuat Lydia sesak. Dan ketika Reino menggigit bibir bawahnya, satu lenguhan lolos begitu saja. Membuat Reino dengan bebas memasukkan lidahnya, mengajak lidah Lydia untuk menari bersama.
Berselang 5 menit, barulah Reino mau melepas bibir Lydia. Itu pun karena keduanya sudah kehabisan napas. Kalau tidak bisa diyakinkan Reino akan terus lanjut.
“Sleep with me,” desis Reino masih mencoba untuk menahan diri.
Walau brengsek, Reino tidak pernah dan tidak akan memaksakan diri. Dia bukan pemerkosa, jadi yang bisa dilakukannya hanyalah menekan Lydia.
“Saya sudah bilang, Pak. Saya bukan wanita murahan yang akan buka kaki pada siapapun yang membayar,” balas Lydia dengan napas memburu.
Lima menit bukanlah waktu yang singkat untuknya. Apalagi Reino Andersen begitu berpengalaman dan mampu membuatnya hanyut.
Andaikata Reino masih berusaha membujuknya, Lydia yakin dia akan menyerah juga pada akhirnya. Bahkan mungkin bersedia ditelan hidup-hidup saat ini juga. Untung saja pria itu memilih untuk berhenti.
“Saya hanya karyawan anda di kantor dan akan bersikap layaknya karyawan pada umumnya. Hanya akan merespon terkait pekerjaan kantor,” tambah Lydia menatap Reino tepat di mata, sambil berusaha untuk tetap waras.
Reino tidak memberi jawaban, tapi juga tidak melepas cengkramannya pada tangan Lydia. Hanya sekian menit saja, sebelum akhirnya dengan terpaksa melepas wanita itu. Disertai makian dan umpatan.
Begitu menemukan celah untuk kabur, Lydia segera membuka pintu ruangan dan segera lari. Lydia yang tidak menutup pintu dengan benar pun, masih bisa mendengar teriakan Reino dari dalam sana.
“Aku akan membuatmu memohon padaku.”
Lydia tidak peduli dan terus berjalan cepat. Dia juga tidak peduli dengan tatapan penuh tanya Thalita. Yang jelas dia merasa perlu menjauh dari lantai tempat ruangan Reino berada. Setidaknya sampai debaran jantungnya mereda.
“Astaga kamu kenapa sih Lyd?” gumamnya pelan, disertai gerakan memukulkan kepalan tangannya dengan pelan di dada.
Jantung Lydia berdebar entah berapa kali lebih cepat. Bukan hanya karena ciuman tadi, tapi juga karena ancaman Reino.
***To Be Continued***