Sesuai janjiku kepada Lumine, pagi itu kuhabiskan waktu bersamanya di taman istana kami. Istana ini, yang besarnya setara dengan stadion sepak bola, memiliki taman yang indah dengan bunga-bunga beraneka warna, air mancur, dan area duduk santai yang sering menjadi tempat favorit keluarga kami.
Kami duduk di salah satu sudut taman, di sebuah meja kecil yang dikelilingi kursi berukir. Taman ini tak hanya memberikan suasana damai tetapi juga menjadi tempat bagi Lumi untuk bermain dengan bebas. Seperti anak-anak pada umumnya, ia senang berlari di antara bunga-bunga sambil tertawa riang.
"Papa, ini untukmu!" serunya tiba-tiba, menghampiriku dengan tangan kecilnya yang menggenggam setangkai bunga.
"Wah, putri kecil Papa memang sangat baik. Terima kasih, Lumi," ucapku sambil mengelus kepalanya. Rambut putih lembutnya terasa halus di tanganku, dan Lumi hanya terkikik kecil, menikmati pujianku.
Setelah puas berlarian, Lumi tampak lelah. Ia berjalan menghampiriku dan meminta untuk duduk di pangkuanku. Aku mengangkatnya dan membiarkannya menyeruput segelas air yang sudah tersedia di meja. Wajah kecilnya tampak begitu puas, membuatku tersenyum.
"Karena putri kecil Papa sudah memberikan sesuatu untuk Papa, bagaimana kalau Papa memberikan sesuatu untuk Lumi?" tanyaku sambil mengambil beberapa lembar kertas dan pensil warna yang sudah disiapkan di meja. Alat-alat ini sering digunakan Lumi untuk menggambar saat bermain di taman.
Dunia ini memang tidak semundur dunia medieval seperti yang sering digambarkan di ceritaku dulu. Kualitas kertas di sini hampir setara dengan duniaku sebelumnya. Bahkan, untuk bangsawan, kertas yang digunakan memiliki kualitas yang lebih baik dan harganya tentu jauh lebih mahal. Selain itu, alat tulis di dunia ini juga cukup maju. Pena di sini tidak lagi menggunakan tinta cair, melainkan memanfaatkan energi sihir, atau mana. Pena semacam ini bisa digunakan seumur hidup, asalkan diisi ulang dengan mana dan tidak rusak.
"Yay! Apa itu, Papa?" tanyanya penuh semangat.
Aku mulai menggambar. Dengan hati-hati, aku membuat sketsa seekor makhluk imajinasi dari duniaku dulu—kuning, mungil, dengan telinga panjang dan ekor berbentuk petir. Beberapa goresan warna melengkapi gambarku, hingga akhirnya selesai.
"Ini dia," kataku, memperlihatkan hasilnya kepada Lumi.
Matanya membesar, penuh kagum. "Wah, gambar Papa sangat bagus! Makhluk ini sangat lucu. Apa ini, Papa?"
Aku tersenyum. "Ini namanya Pikachu, Lumi."
"Pikachu?" ia mengulang dengan nada penasaran, lalu tertawa kecil. "Lumi suka sekali dengan kelinci Pikachu ini. Papa, apa Papa bisa memberikan satu untuk Lumi pelihara?" tanyanya, memohon dengan wajah penuh harap.
Aku terkekeh dalam hati dan segera bertanya pada sistem, "Hei, sistem, apakah di dunia ini ada makhluk seperti Pikachu?"
Jawaban sistem terdengar di kepalaku, singkat dan tegas. "Tidak ada. Walaupun ini dunia fantasi, makhluk seperti Pikachu atau Pokemon lainnya tidak ada di sini."
Aku menghela napas kecil, lalu mengusap lembut kepala Lumi. "Maaf, Lumi. Pikachu ini tidak ada di dunia ini. Ia hanya makhluk imajinasi yang Ayah bayangkan. Tapi Ayah janji, suatu hari nanti Ayah akan membuat boneka Pikachu untukmu, bagaimana?"
Wajahnya sempat menunjukkan kekecewaan, tetapi kalimat terakhirku seketika membangkitkan semangatnya. Ia tersenyum lebar dan mengulurkan kelingking kecilnya. "Itu janji, ya, Papa!"
Aku tertawa kecil sambil mengaitkan kelingkingku dengan miliknya. "Iya, Papa janji."
"Lumi sayang Papa," katanya sambil memelukku erat.
Aku tersenyum hangat, memeluknya kembali. Janji kecil ini mungkin tampak sederhana, tapi bagiku, itu adalah langkah kecil untuk membawa sedikit keajaiban dunia modern ke dalam kehidupannya—dan mungkin, dunia ini.