webnovel

Hadiah Pertama

"Mereka bersalah karena menghasutmu agar membawa mereka pergi saat kau menikah nanti," ucap Mbakyu Roro Ageng memberi alasan perlakuan buruknya terhadap Laksmi dan Widuri.

Hatiku terasa sakit melihat Laksmi dan Widuri menahan rasa sakit mereka yang terlihat jelas. Kaki keduanya merah bahkan lebih cenderung membiru menandakan sabetan rotan yang mereka terima sangat keras.

"Mbakyu, mereka tidak pernah menghasut. Aku yang menginginkan mereka untuk ikut denganku nanti setelah aku menikah. Jangan salahkan mereka! Lagi pula Mbakyu tidak berhak menyakiti mereka. Hanya aku yang berhak!" Aku sedikit menaikan suara agar Mbakyu tahu aku tidak main-main jika menyangkut Laksmi dan Widuri.

Kubantu Laksmi dan Widuri, menuntun keduanya untuk pergi dari tempat yang menjadi saksi hukuman yang tidak pantas mereka dapatkan. Awalnya Laksmi dan Widuri menolak bantuan. Namun, setelah kubujuk keduanya mau menuruti perintahku.

Aku pergi meninggalkan Mbakyu yang diam tanpa kata. Rasa kecewa menghampiri, awalnya aku kira Mbakyu Roro Ageng adalah wanita yang sangat baik. Namun, nyatanya dia bisa bersiakap begitu keji pada pelayan. Walau Laksmi dan Widuri hanya pelayan, bagiku keduanya penting. Mereka yang selalu ada untukku.

"Raden Ayu ... kami bisa mengobati luka. Kami akan mengobati luka satu sama lain agar tidak merepotkan Raden Ayu," ucap Laksmi seraya tersenyum.

Aku tahu senyuman Laksmi dan Widuri hanya untuk membuatku tidak merasa bersalah atau sedih. Mereka selalu mementingkan aku hingga mereka melupakan diri sendiri.

"Laksmi, Widuri, dengarkan aku. Jangan menolak niat baik. Kalian sedang sakit, maka biar aku yang mengobati. Kalian selalu membantuku, jadi biarlah kali ini aku yang membantu kalian." Aku meyakinkan keduanya agar mau menerima bantuanku.

Laksmi dan Widuri tersenyum bersamaan. Keduanya menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Ingin kupeluk mereka, tetapi aku harus obati luka di kaki Laksmi dan Widuri agar rasa sakitnya berkurang.

Aku mengoleskan ramuan yang memang disiapkan Laksmi sebagai obat luka. Keduanya terlihat menahan rasa sakit saat aku mengoleskan obatnya secara bergantian.

Biasanya aku melihat Laksmi dan Widuri yang cerewet, tetapi kali ini mereka hanya diam dan menahan rasa sakitnya.

"Pasti sakit sekali, kan?" tanyaku memastikan.

Laksmi dan Widuri mengangguk bersamaan. Walau sakit, keduanya masih bisa tersenyum di depanku seolah apa yang baru terjadi pada mereka bukanlah hal besar.

"Raden Ayu, terima kasih. Raden Ayu memperlakukan kami seperti ini. Harusnya ... kami yang melayani Raden Ayu bukan malah sebaliknya." Widuri menundukan kepala.

"Kalian adalah orang yang penting bagiku. Jadi, jika kalian sedang butuh bantuan, aku akan membantu, tidak peduli status." Kuelus tangan Widuri dan tersenyum pada Laksmi.

Belum selesai mengoleskan obat, seseorang memanggilku dari luar. Aku paham siapa memanggil. Aku kenal suaranya. Dia pasti Mbakyu Roro Ageng.

Benar saja dugaanku, saat membuka pintu Mbakyu Roro Ageng berdiri tepat di depan pintu kamarku. Matanya sembab seperti orang yang baru saja menangis.

"Dwika ... Dwika maafkan Mbakyu," ucapnya seraya memelukku.

Aku diam, tidak ada yang ingin kukatakan. Aku hanya tidak ingin memperburuk kedaan Laksmi atau Widuri. Mereka sudah terlihat kesakitan karena hukuman yang diberikan Mbakyu Roro Ageng. Aku tidak ingin Mbakyu makin menyalahkan keduanya.

"Kenapa diam? Kau tidak mau memaafkan mbakyu?" tanyanya seraya melepas pelukannya dariku.

"Aku tidak mau membuat Mbakyu makin marah dan menambah hukuman yang diberikan pada Laksmi dan Widuri."

"Mbakyu tahu, ini semua salah mbakyu, Dwika. Harusnya mbakyu tidak menghukum Laksmi dan Widuri seperti itu. Mbakyu sadar kesalahan mbakyu." Mbakyu Roro Ageng tertunduk seolah menyesali apa yang ia perbuat pada Laksmi dan Widuri.

Aku tidak tahu apa itu penyesalan yang tulus atau hanya untuk membujuk agar aku tidak marah lagi padanya.

Perlahan tangan Mbakyu Roro Ageng meraih tanganku. Tangannya hangat seperti biasanya. Dia yang tadi terlihat berbeda dari biasanya, kembali menjadi wanita yang hangat. Sosok Mbakyu Roro Ageng yang baik seolah kembali di hadapanku sekarang.

"Dwika, mbakyu melakukan semua untuk menyelamatkan martabat kelurga. Kau tahu ... jika tadi Raden Arya Manunggal tidak menerima syaratmu, maka tidak akan ada laki-laki lain yang mau menikah denganmu. Rumor-rumor buruk akan menyebar seketika. Mbakyu hanya tidak mau itu terjadi." Kata-katanya menunjukkan kepedulian. Namun, bagiku hal itu bukan alasan yang tepat menghakimi dua pelayanku.

Aku tidak ingin mengatakan apapun. Perasaan kecewa masih sangat terasa walau Mbakyu sudah meminta maaf dan menjelaskan semua alasan yang mendasari perbuatannya pada Laksmi dan Widuri.

"Jika kau tidak mau memaafkan Mbakyu, maka lebih baik mbakyu pergi. Mbakyu tidak akan mengganggumu lagi." Perlahan Mbakyu Roro Ageng melangakah pergi.

Apa yang harus kukatakan sekarang? Apa aku harus terima permintaan maafnya?

"Mbakyu," panggilku pada istri Kakang Sanggeni.

Wanita itu menghentikan langkah dan menoleh ke arahku. Dengan wajah sendu, pandangan matanya tertuju padaku.

Aku melangkah mendekati dan memeluknya. Seketika Mbakyu Roro Ageng menangis sambil terus mengucapkan kata maaf. Kali ini aku sangat yakin kakak iparku ini benar-benar menyesal dengan perbuatannya.

"Mbakyu, aku sudah memaafkan semuanya. Sekarang, Mbakyu tidak perlu bersedih dan ... aku harap Mbakyu bisa lebih menghargai para pelayan. Mereka juga manusia yang perlu dihargai." Kuhapus air mata di pipi wanita cantik dan baik hati yang ada di hadapanku sekarang.

Mbakyu Roro Ageng mengangguk seraya tersenyum. "Mbakyu akan ingat kata-katamu, Dwika. Terima kasih."

Mbakyu Roro Ageng beranjak pergi dari hadapanku. Namun, tiba-tiba ia kembali sambil meringis. Aku tidak tahu apa alasannya, hanya saja sikap Mbakyu yang tadi sedih berubah menjadi ceria, terlihat sekali dari raut wajahnya.

"Dwika, mbakyu lupa," ucapnya sambil meringis. Wanita itu mengambil sebuah kantung kecil berwarna hitam yang ia selipkan di jarit yang dipakai.

"Apa ini, Mbakyu?" tanyaku saat menerima pemberian wanita itu.

"I-itu ... pemberian dari Raden Arya Manunggal. Ia ingin kau memakainya saat pernikahan nanti."

Kubuka kantung hitam itu dan benda berkilau yang ada di dalamnya membuatku makin penasaran.

Sebuah tusuk konde yang indah adalah isi kantung hitam yang Mbakyu berikan. Sangat cantik dan ringan. Raden Arya Manunggal seolah tahu bahwa aku tidak menyukai benda-benda yang berat.

"Benda itu adalah hadiah pertama dari calon suamimu simpan dan jaga baik-baik," ucap Mbakyu Roro Ageng diikuti langkahnya pergi meninggalkan aku.

Entah kenapa jantungku berdebar dengan kencang. Ini hanya sebuah tusuk konde yang sederhana, tetapi entah bagaimana diriku merasa sangat bahagia.

Aku dan Raden Arya Manunggal baru pertama kali bertemu secara langsung tadi. Namun, aku merasa ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Aku memang pernah bertemu sosoknya di masa depan, tetapi perasan seperti ini belum pernah kurasakan. Apa aku benar-benar menyukai pria itu?

"Raden Ayu," panggil seseorang dari arah belakang. Rupanya Widuri yang memanggil. "Raden Ayu kenapa? Apa Raden Ayu sakit?" lanjutnya. Tidak berselang lama, Laksmi juga menghampiriku.

"Aku ... tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat. Kalian istirahat saja agar rasa perih di lukanya berkurang." Aku melangkah pergi meninggalkan Widuri dan Laksmi.

Aku tidak mau dua pelayan itu melihat tingkah anehku yang sedang merasa bahagia karena pemberian Raden Arya Manunggal.

Saat sampai di kamar, aku duduk di atas tempat tidur sambil memandangi tusuk konde pemberian calon suamiku.

"Apa itu sangat cantik?"

Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Terlebih lagi yang bertanya adalah Raden Arya Manunggal yang telah duduk di sampingku. Senyum manisnya menyapa dan membuat jantungku semakin berdegup kencang.

Bagaimana pria ini bisa masuk ke kamarku? Lalu, kapan dia masuk? Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya.