webnovel

Dunia tanpa malam

Kabut yang begitu tebal melanda kota London. Pada saat ini jam tanganku menunjukkan pukul 12 siang di tahun 1996.

Ngomong-ngomong namaku adalah Fairuz Ahmad. Yup, aku adalah orang Indonesia yang tinggal di London. Berbeda dengan kehidupanku ketika hidup di rumah sempit di Jakarta. Di London, aku memilliki banyak sekali kenangan yang begitu menarik.

Aku adalah seorang arsitektur yang dapat dibilang begitu handal. Juga aku memiliki kemampuan untuk bisa mengatasi beberapa masalah pada kestabilan bangunan sehingga membuatku sekarang sering disuruh untuk membangun gedung-gedung penting.

"Semua hentikan dulu pekerjaannya."

Alasan diriku mengatakannya adalah karena kabut ini, walaupun terkesan sepele, tetapi bisa mengakibatkan kesalahan jangka panjang pada pembangunan ini. Lebih tepatnya para pekerja mungkin akan melakukan kesalahan mereka karena kurangnya pandangan dan mungkin bisa mencelekakan dirinya atau orang lain.

Jadi aku tidak mau itu.

"Huh, akhir-akhir ini kabutnya semakin tebal saja ya, Pak Ahmad. Ah, ini pak"

Jack mengatakan itu lalu menuangkan kopi panas dari termos ke gelasnya, lalu menuangkannya juga ke gelasku.

Aku hanya mengangguk.

"Juga bukankah ini makin aneh? Perkiraan cuaca akhir-akhir selalu meleset. Mereka berkata bahwa besok hari akan cerah. Padahal yang terjadi adalah besok kabut menutup pemandangan langit biru kota London."

Yah, agak aneh. Aku juga baru melihat hal selangka ini. Juga aku pernah mencari kejadian yang serupa di internet, ternyata tidak ada yang dapat kutemukan.

"Tapi katanya kejadian alam ini pernah lho terjadi pada tahun 1258. Kalau tidak salah pada abad kegelapan," kata Tom yang baru saja bergabung dengan kami.

"Kau tahu itu darimana?" tanyaku.

"Aku tahu ini dari membaca kumpulan mitos abad pertengahan. Dulu Tuhan melakukan ini karena pada abad itu, pihak gereja tidak mau mendengarkan orang lain dan banyak sekali bidah-bidah yang terjadi pada pihak gereja."

"Ah, aku pernah dengar itu. Bukankah itu juga yang membuat perang antara Prancis dan Inggris terjadi?" tanya Jack.

"Ya, perang antara Inggris dan Prancis karena perbedaan pendapat mengenai ajaran Tuhan mereka. Jadi itulah awal dari perang 100 tahun antara Inggris dan Prancis yang bakal terjadi beratus tahun kemudian."

"Lalu? Apa hubungannya dengan kabut ini?" tanyaku.

"Ah, aku lupa menyebutkannya. Jadi pada saat itu terdapat bidah yang menyebar begitu pesat pada kerajaan Inggris, banyak sekali orang-orang percaya, bahkan pihak gereja pun ada yang mengimaninya. Karena banyak sekali yang mempercayai hal itu, turunlah bencana yang membuat Inggris dilanda kabut selama 10 hari."

"10 Hari?"

Ngomong-ngomong kejadian ini sudah berlangsung selama 3 hari. Juga kami bisa merasakan efek buruk dari kejadian ini. Bahkan kasus kecelakaan pun meningkat drastis akhir-akhir ini.

Terkadang kabut akan menebal di saat tertetu dan menipis beberapa jam setelahnya.

Keesokan harinya pun sama saja. Kabut tipis tetap menutup kota london. Suara mobil sekarang terasa langka bahkan aku tidak lagi melihat orang-orang di luar rumah.

Setelah mandi dan mempersiapkan diri. Aku pun keluar dan pergi ke tempat kerja.

"Hmn, aneh sekali."

Ketika diriku menaiki kereta menuju ke tempat kerjaku. Aku baru sadar kalau diriku daritadi belum menemukan satu orang pun di sini..

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"

Aku pun menemukan suatu hal yang aneh ketika sampai di tempat kerjaku.

Tempat itu ditutup, bahkan di situ tertulis, "Pekerjaan akan ditunda hingga informasi mendatang."

Apakah terdapat pengunguman dari pemerintah untuk menyuruh warganya agar tetap tinggal di rumah dan aku tidak mendengarkannya pada saat itu?

Kalau diingat-ingat bisa jadi, karena aku waktu itu tertidur sebelum sore dan bangun pada pagi harinya.

"Baiklah, aku akan pulang saja."

"Tunggu!!"

Tiba-tiba seseorang menggapai tanganku.

Tangannya begitu ramping dan halus.

Kubalikkan badan dan melihat seorang wanita cantik baru saja mengenggam tanganku.

Dia mengenakan sebuah gaun berwarna putih yang indah.

"Ada apa nona?"

"Aku tidak tahu di mana ini."

Hah?

"Maaf, kalau boleh tahu ini adalah Bury Street apakah nona ingat kapan terakhir kali nona ke sini?"

Wanita itu menggeleng. Apakah kepalanya terbentur sesuatu dan mengakibatkan dia lupa ingatan?

"Mari kita ke kantor polisi sebentar nona."

"Tidak, aku bahkan tidak melakukan kejahatan apa-apa, aku tidak bersalah."

Aku baru sadar dia memiliki aksen inggris yang aneh.

"Bukan begitu maksudku nona. Aku hanya ingin butuh bantuan polisi untuk mencari lokasi rumahmu. Apa kau membawa KTP-mu?"

"KTP? Apa itu?"

Apa ini? Apakah wanita ini sedang melawak?

"Ini nona," kataku sambil menunjukkan ktp milikku.

Dia melihat hal itu dengan tatapan kebingungan lalu berkata, "Benda apa itu?"

Nampaknya aku benar…

Wanita ini kehilangan ingatannya.

Cara terbaik adalah dengan membawanya ke kantor polisi dan mencari identitasnya lewat sidik jari wanita ini.

Ikut aku nona.

Aku membawanya menuju ke kantor polisi.

Akan tetapi, ketika kami sampai di kantor polisi. Ternyata tempat itu juga telah ditutup dengan tulisan yang sama persis dengan yang berada pada tempat kerjaku.

Huh, nampaknya ini adalah hari yang paling sial bagiku. Pertama adalah mengenai sepinya tempat ini dan juga harus mengurusi wanita ini.

"Aku begitu lelah, nampaknya nona cari orang lain saja."

Seusai aku mengatakannya, wanita itu pun meraih tangan kananku dengan sangat kuat.

"Maaf, tolong bantu aku…"

"Baik-baiklah."

Aku pun mencoba untuk mencari identitas dari wanita ini.

Hal itu sudah kulakukan selama setahun penuh.

Yup, di antara kabut. Aku dan wanita ini berjalan-jalan mengitari kota yang sudah tak berpenghuni ini.

Dan selama setahun itu aku belum juga mendapatkannya.

Hingga aku pun sadar.

Waktu telah terhenti, dan aku telah terjebak dengan wanita ini selamanya.

***

"Kau tahu, hanya dalam waktu 10 hari. Kabut itu telah mengambil nyawa dari ribuan orang-orang yang berada di kota London. Tidak ada yang tahu darimana kabut itu berasal. Tapi yang pasti, mereka tahu kalau kabut merupakan salah satu dari amarah tuhan kepada umat manusia."

***

"Gas beracun yang sebelumnya dikira adalah kabut biasa telah memakan korban yang begitu banyak."

Layar tv pun menampilkan nama-nama korban itu.

Hingga terdapat suatu nama yang tak asing bagi telinga.

"Fairuz Ahmad – 23 tahun – mati pada jam 7 di depan rumahnya sendiri."