Almira Shofia Prameswary
Sejak kejadian malam tadi, hari ini aku bekerja dengan penuh semangat dan berharap waktu berputar dengan cepat agar aku bisa secepatnya kembali ke rumah dan bertemu dengannya. Sepertinya logika dan perasaanku mulai tak sejalan, logikaku mengatakan "dia adalah duda, terlebih telah memiliki seorang putri, apa pantas menjadi orang yang mengisi hari-hariku kelak?" Sementara perasaanku berkata lain, "apa perasaan itu harus diukur dari sebuah status?", aku benar-benar bingung tapi juga menikmatinya, apalagi ketika tangannya menggenggam tanganku semalam, rasanya begitu membuat pipiku panas, beruntung saat itu lampu sedang padam jadi aku yakin dia tak melihat pipiku yang memerah. Tanpa kusadari aku tersenyum-senyum sendiri.
"Bu."
Seorang pasien yang masuk ke ruang kerjaku membuyarkan semua lamunan indah itu, aku tersipu tak enak, sepertinya pasien itu melihat jelas kejadian tadi.
"Eh iya bu, silahkan duduk, ada yang bisa saya bantu?"
Pasien hari ini tak begitu banyak yang datang untuk berobat, aku bersyukur karena itu artinya aku bisa pulang lebih cepat. Setelah tadi aku melihat kabar di sosial media milik Angga kalau Syafina sekarang sakit, aku mencemaskan keadaannya. Rindu dan cemas kini memenuhi fikiranku, walaupun aku sudah menghubungi Angga memastikan tentang keadaannya namun tetap saja hatiku belum tenang sebelum melihat sendiri kondisinya saat ini.
Sekitar pukul empat sore aku sudah bergegas untuk pulang, tapi sebelum itu aku berencana untuk mampir pada sebuah tempat perbelanjaan untuk membeli keperluan pribadi dan juga untuk Syafina. Pada note ponselku tertera daftar barang yang akan kubeli, termasuk untuk Syafina.
Di tempat perbelanjaan ini tak begitu ramai sehingga aku bisa dengan cepat mengambil barang-barang yang akan ku beli. Setelah semua keperlua pribadi sudah ku dapatkan kini hanya tinggal membeli buah-buahan dan obat penurun panas yang bagus untuk anak kecil, tak lupa juga aku membelikan boneka kecil untuknya. Setelah selesai membayar semuanya, aku kembali bergegas menuju parkiran mobil yang sengaja ku parkirkan dekat dengan pintu keluar agar bisa lebih mudah untuk keluar dari tempat parkir pusat perbelanjaan tersebut. Jantungku semakin berdebar membayangkan kejadian yang kemarin ku alami akan terjadi lagi malam ini.
"Semoga semua berjalan lancar."
Setelah menempuh sekitar setengah perjalanan, akhirnya aku akan sampai di depan pintu gerbang komplek perumahanku. Jantungku berdetak semakin kencang tak sabar ingin segera pergi ke rumahnya. Setelah bagian mobilku perlahan melewati gerbang, aku melihat Angga sedang berdiri disamping mobil yang sebelumnya pernah juga ada di sana, sambil menjalankan mobilku dengan pelan aku melihat Ana yang akan masuk ke mobilnya, namun sebelum itu dia menyempatkan diri mengecup pipi Angga. Runtuh sudah semua harapan kebahagiaanku malam ini, panas rasanya hatiku melihat mereka melakukan itu. Aku segera memarkirkan mobil di garasi lalu dengan berjalan cepat menuju ke kamar tanpa mempedulikan barang belanjaan yang masih berada di dalam mobil, tanpa sadar setitik bulir bening mulai membasahi pipiku.
"Dasar cowok, semua sama aja."
Aku merebahkam diri lalu mengumpat dalam hati seraya menutup wajah dengan bantal untuk menyamarkan suara tangisku. Cukup lama aku meluapkan semua rasa sesak yang memenuhi dada. Dengan membasuh air dingin ke wajhku mungkin wajahku bisa terlihat segar walaupun tak dapat mengurangi rasa sakit itu.
"Aku harus berani, aku bisa menghadapinya."
Di depan cermin, aku berusaha memotivasi diriku sendiri untuk bertemu dan melihat kondisi Syafina saat ini, bagaimanapun juga semua sudah terlanjur dan aku tak boleh berhenti begitu saja. Aku memang cemburu, tapi aku belum memilikinya, aku harus tenang. Aku kembali menuju garasi untuk mengambil barang belanjaan yang sebelumnya belum sempat aku ambil, aku memisahkan barang-barang keperluan pribadiku dengan barang-barang yang akan kuberikan untuk Syafina. Sebelum berangkat, kusempatkan sekali lagi untuk bercermin, melihat dan memastikan bahwa kondisiku tak memperlihatkan wajah seorang perempuan yang telah menangis. Kutarik nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan, cara ini memang cukup ampuh untuk menenangkan diri ketika dalam keadaan tertekan. Setelah yakin dan siap, kulangkahkan kakiku dengan percaya diri untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Tok tok tok...
Cukup dengan sekali mengetuk, Angga sudah mendengarnya dan segera membukakan pintu untukku.
"Mira."
Angga tersenyum menyambutku, senyum yang membuat kekuatanku kembali runtuh teringat kejadian tadi. Aku tak membalas menyapanya, dengan mengesampingkan rasa sopanku, aku berlalu tanpa permisi atau basa-basi langsung menuju ke kamar Syafina.
"Malem sayang."
"Tante."
Syafina begitu sumringah melihat kedatanganku, dia yang sedang duduk di meja belajarnya langsung berlari memelukku, tingginya yang belum sampai satu meter hanya mampu memeluk sampai ke pahaku saja. Aku membalas memeluk lalu menggendongnya.
"Katanya kamu lagi sakit sayang? Udah mendingan belum?"
Aku memegang kening Syafina yang kini sedang berada dalam gendongnku, untuk memeriksa dan memasgikan keadaan Syafina saat ini, apa memang sudah sembuh sepenuhnya atau belum.
"Udah tante."
"Iya sayang, udah mendingan, tadi minum obatnya rewel gak?"
Syafina tersenyum malu, mungkin dia malu mengakui kalau dia sempat tak mau minum obat.
"Dia tadi agak rewel pas minum obat."
Suara Angga membenarkan dugaanku, aku sempat menoleh ketika dia berkata seperti itu, tapi aku menatpanya masih dengan rasa tak suka, lebih baik untuk saat ini aku menghindari berbicara dengannya. Semoga dia mengerti dengan sikapku saat ini.
"Aku tinggal ya, kalau butuh apa-apa, aku di depan."
Dan ya, dia mengerti dengan situasi saat ini, mungkin dia pun merasakan sesuatu dari sikapku padanya saat ini yang begitu berbeda dari biasanya.
"Oh iya, tante bawain ini buat kamu."
Syafina menerima plastik pemberian dariku yang berisi sebuah boneka kecil lucu dengan bulu panjang menutupi seluruh tubuh boneka itu. Dengan tak sabar, Syafina membuka plastik yang tadi ku berikan paanya, dan tampak jelas sekali wajah bahagianya ketika hadiah yang didapatkannya adalah sebuah boneka lucu.
"Wah boneka."
"Suka gak sayang?"
"Suka tante, lucu."
Syafina kembali memelukku, rasa sesak di dadaku sedikit menghilang setelah melihat senyum bahagianya setelah menerima pemberian dariku.
"Kamu udah makan belum?"
Syafina menggeleng tersenyum, kulihat beberapa kantung plastik besar berada di sudut kamar Syafina, sepertinya dilihat dari plastik yang membungkusnya, itu semua barang masih baru, karena penasaran aku coba menanyakannya pada Syafina.
"Sayang, itu semua punya kamu?"
"Iya tante, dari tante Ana, tadi tante Ana kesini."
Jawabnya polos.
"Oh iya, kamu belum makan kan? Nih tante bawain makanan enak sama bergizi, biar kamu cepet sembuh."
"Makasih tante."
Masih sekecil itu Syafina sudah mengerti bagaimana caranya berterimakasih. Aku mengajaknya ke dapur untuk makan bersama, tapi tiba-tiba saja aku mencium aroma masakan dari arah dapur dan setelah ku lihat ternyata Angga sedang memasak.
"Masak apa?"
Aku berbasa-basi untuk sekedar bertanya, padahal tanpa bertanya pun sebenarnya aku tau apa yang sedang dimasaknya, namun gengsiku masih terlalu tinggi untuk mengalah.
"Biasa."
Angga menengok ke arahku, tak lupa dengan senyuman yang membuat hatiku luluh.
"Makan ini aja, aku udah beliin kamu sama Syafina makanan."
Tak perlu menunggu jawaban ya darinya aku menyiapkan makanan yang telah kubeli untuk mereka berdua, tapi sepertinya Angga pun tak berniat menolak, sepertinya dia benar-benar menyadari perubahan sikapku hari ini sehingga membuatnya malas untuk berdebat dan hanya mencari jalan tengahnya saja.
Setelah selesai menyiapkan makanan kami pun makan bersama, tapi aku tak ikut makan dengan mereka berdua, aku lebih suka menyuapi Syafina yang sepertinya nafsu makannya masih normal walaupun sedang dalam kondisi kurang enak badan.
Kring kring...
Bunyi ponsel Angga mengganggu acara makan malam kami, Angga langsung pergi dari dapur untuk menjawab panggilan telefon itu yang terus berbunyi. Aku tak begitu mendengar apa yang Angga bicarakan dengan orang yang menelefonnya, sempat terfikir dalam benakku kalau yang menelefon itu adalah Ana dikarenakan ketika Angga telah kembali dari berbicara melalui ponsel tadi sikapnya mencurigakan, seperti ada sesuatu yang dia fikirkan dan sembunyikan, tapi semoga itu hanya pemikiran negatifku saja. Aku kembali melanjutkan menyuapi Syafina dan belum menyentuh makananku sendiri, namun tanpa diduga...
"Kamu juga harus makan."
Angga menyodorkan sendok berisi nasi dan lauknya bermaksud menyuapiku seraya tersenyum memancing jantungku untuk berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Lalu terdengar suara tawa tertahan dari Syafina yang ternyata memperhatikan adegan tadi ketika ayahnya menyuapiku dan aku malu-malu menerima disuapinya, padahal dimulutnya masih terdapat makanan yang belum ditelannya.
"Sayang kenapa? Makannya jangan sambil ketawa, nanti keselek loh."
Aku yang salah tingkah diperhatikan seperti itu oleh Syafina, untuk itu aku berusaha mengalihkan fokusnya dari kejadian tadi, namun tak berhasil karena Angga mengulangi adegan yang sama dan bodohnya aku tak bisa menolaknya. Sepertinya kali ini bisa terlihat jelas wajahku yang memerah karena malu, terasa sekali pipiku kini menghangat setelah dua kali adegan yang sama terjadi.