webnovel

good bye

Erik menelepon menangis tersedu-sedu. Dia mendapati kabar Willy meninggal setelah di tusuk orang asing untuk kedua kalinya dan di temukan sianida dalam tubuhnya.

"Willy ... apa sebenarnya yang terjadi?" batin Edward terus meronta-ronta.

Ia bergegas pergi ke rumah duka dengan setelan hitam untuk penghormatan terakhir.

Tiba di sana, para tetangga, guru, anak klub Basket dan teman sekolah Willy sudah tiba.

"Rik, Fit, ini nggak nyata, kan?" tangis Edward pecah.

"Ini nyata, Ed. Ini nyata...," sahut Fitri dengan wajah yang mulai bengkak.

"Aku nggak bisa kehilangan orang sebaik dia," ucap Erik.

Tiga sahabat itu menangis dalam pelukan erat penuh rasa penyesalan dan ketidakpercayaan.

"Terima kasih untuk semua pihak yang telah hadir di acara pemakaman ananda William Davis Al Fatih atau yang sering kita panggil Willy. Beliau adalah sosok murah hati, jenaka dan selalu menebar kebaikan pada kita semua. Semoga Tuhan menerima semua amal kebaikannya."

Suasana sangat pilu. Edward sangat marah dan berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas dendam atas kematian sahabatnya.

Pemakaman berjalan lancar. Edward berbicara kepada kakak Willy untuk meminta maaf karena tidak bisa menjaga dan menemaninya saat sakit.

"Kak, Edward ingin meminta maaf sedalam-dalamnya atas apa yang menimpa Willy hingga dia kehilangan nyawanya. Maaf, karena Edward belum bisa jadi sahabat yang baik, yang selalu ada saat senang atau pun susah. Dan, terima kasih karena telah merawat Willy dengan baik. Kalau ada apa-apa, tolong jangan sungkan untuk menghubungi saya. Sekali lagi, saya turut berbela sungkawa dan memohon maaf sebesar-besarnya," ucapannya terbata-bata, tak kuat menahan tangis yang ia paksa bendung.

"Edward, kamu tidak seharusnya merasa bersalah begitu. Takdir, bencana dan maut tidak ada yang tahu. Kita selaku mahluk yang rapuh hanya bisa terus hidup untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia. Tuhan sayang pada Willy, dan kami telah ikhlas melepasnya. Semoga kamu juga bisa mengikhlaskannya. Terima kasih telah menjadi bagian dari kisah hidup Willy. Semoga kamu menjadi orang yang baik dan hidup bahagia."

*****

Dalam mobil, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Angin malam terdengar lebih keras dari pada denyut nadi mereka. Mata Fitri sembab, Erik diam menatap langit dan Edward tak bisa berhenti menahan cucuran air matanya.

Edward memelokkan mobilnya di pinggir pantai utara jakarta. Ia sengaja memutari kota untuk bisa terus menangis dalam perjalanan pulang.

Edward tampak pasrah dengan semua ini. Dinginnya angin laut yang merasuki tubuh mereka tak ada rasanya dibandingkan nestapa yang menerpa mereka.

Pikiran buruk Edward bergumam jika dia ingin menghabisi siapa pun yang membuat Willy celaka hingga dia harus kehilangan nyawanya.

"Ed, gue mau pulang," ujar Fitri.

Edward kembali menancap gas mobilnya untuk mengantar Fitri pulang.

*****

Dalam perjalanan pulang, Tiba-tiba Emily menelpon memberitahu bahwa Jessika kehilangan Alisya di rumahnya, dia kabur saat mendengar kabar kematian Willy pagi tadi.

"Bang! Alisya hilang! Cepat ke rumahnya!" titah Emily dengan gusar.

Perasaan Edward semakin kacau, ia memutar balik mobilnya menuju rumah Alisya.

"Kenapa, Ed?" tanya Erik.

"Alisya kabur."

Tiba di sana, mereka bertemu orang tua Alisya menangis histeris.

"Pak, Bu, ada apa? Apa yang terjadi?"

Heran apa yang terjadi, mereka bergegas melihat sekitar hingga di kebun belakang rumah nampak seorang gadis tergantung dengan tali di lehernya.

"Alisya!" jerit Fitri.

Lagi dan lagi, Edward gagal dan menyalahkan dirinya atas kelalaian menghadapi masalah.

"Ed, Polisi, Ed. Panggil polisi!" Erik bergegas menelepon polisi dan aparat setempat.

Suasana begitu kacau, wajah sendu Alisya terlihat jelas dengan cekaman tambang melilit lehernya.

Udara malam itu semakin dingin, membekas pada dada dan menggetarkan semua air mata.

Emily tiba di sana dan bertanya-tanya mengapa semua orang menangis tersedu-sedu.

"Alisya mana, Bang?" tanya dia dengan penuh cemas

"Alisya mana, Jess?" Jessika tak mampu menjawab, tangisannya malah semakin kencang.

Edward tak kuasa menjawab, ia hanya memberi isyarat ke arah ke taman belakang dengan jari telunjuknya. Emily bergegas dengan hembusan nafas yang sangat berat.

Bagai di tembak ratusan anak panah dan peluru tanpa batas, Emily mematung hingga jatuh terduduk. Dadanya sesak dan matanya berkaca-kaca. Ia kehilangan semua kata saat melihat sahabatnya tiada dengan cara yang sangat menyakitkan.

"Alisya!" Emily tergeletak pingsan.

Melihat suasana semakin mengcekam, Edward berlari menjauhi halaman belakang.

"Ah! Payah! Payah, kau, Edward!"

Ed berteriak pada langit malam bak orang gila yang meluapkan semua perasaannya. Saat dirinya mulai bangkit dan membuka diri, mengapa dunia membuatnya tercekik rasa sakit?

Sirine polisi mulai berdatangan bersama dengan tim forensik. Saat mereka berhasil menurunkannya, jasad Alisya meneteskan air mata, membuat semua orang histeris melihatnya.

"Alisya..," tangis Emily tak berdaya dalam pelukan Jessika.

Malang sekali nasib Alisya dan Willy, mereka harus pergi di hari yang sama. Emily dan Jessika tak pernah mengira temannya akan bertindak sejauh itu.

"Erik, bisa tolong antar aku ke air?" Edward tiba-tiba sesak nafas hingga pingsan.

"Edward!"

*****

Keesokan harinya, Alisya di makamkan di belakang rumahnya atas permintaan orang tuanya. Emily dan Jessika tak bisa berhenti menangis melihat kepergian sahabatnya. Genggaman erat dua anak itu semakin menandakan rasa tak percaya jika ini nyata.

Pemakaman selesai, Edward dan Emily meminta izin untuk masuk ke kamar Alisya.

"Bang, kenapa mau masuk ke kamarnya, sih? Ada apa?"

"Diem. Cari apapun itu yang bisa jadi barang bukti. Kita nggak bisa diam aja kehilangan dua orang sekaligus. Udah cukup."

"Bukannya itu tugas polisi?"

"Nih, pake sarung tangan."

"Iya, Bang."

Emily merasa ini adalah diri Edward yang lain.

Emily menemukan secarik kertas di laci yang terjungkal.

'Teruntuk siapa pun yang membaca ini. Aku ucapkan terima kasih banyak dan tolong sampaikan pada Willy: Aku nggak marah sama sekali sama dia, aku nggak menuntut dia bertanggung jawab karena semua ini kecelakaan. Aku bakal lahirkan dan besarkan anak ini kelak. Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku butuh mental yang kuat untuk menerima cemoohan orang banyak, terutama rasa malu orang tuaku. Dulu, aku sendiri yang mengejar Willy, dan kini aku dan bayi ini harus terus mengejarnya kemana pun dia pergi. Emily, Jessika, Mama, Papa, terima kasih banyak! Aku sayang kalian.'

-Alisya.

Edward menangis membacanya dan segera menyerahkan kertas itu pada orang tua Alisya.

"Ya Allah, Alisya ... maafkan ayah, maafkan ibu ... semuanya terlambat. Ibu terlalu egois untuk mengedepankan omongan orang dari pada memperhatikan kamu." Tangis ibunya kembali meledak membuat suasana semakin suram.

Selesai dengan pemakaman, Ed pulang bersama adik dan dua sahabatnya. Mereka mengalami tekanan batin yang bertubi-tubi.

"Fitri, Erik, Amel, mulai sekarang ... kita harus sama-sama," pungkas Ed di tengah keheningan.

*****

Sekolah terasa hampa tanpa Willy. Erik selalu murung, tapi Ed selalu merangkulnya untuk tetap tegar dan ikhlas.

"Udah, Rik. Inget kata kakaknya Willy? Kita harus tetap hidup." ucap Ed berkaca-kaca seraya merangkulnya.

"Iya. Ed. By the way, aku mau minta tolong, boleh, nggak?"

"Kenapa?" sahut Edward

"Orang tuaku ada dinas di luar kota untuk beberapa waktu dan aku akal kesepian banget. Kalau misal aku menginap di rumahmu, begimana?" bujuk Erik.

"Boleh, Rik!" jawabnya singkat.

"Tapi, kok, bisa barengan? Bukannya pekerjaan mereka berbeda?"

"Nggak tau, juga. Kayanya mereka mau liburan aja alih-alih kerja. Biar aku nggak ikut, kali."

Ed tertawa menggelitik.

"Hihihi ... mungkin mereka mau bulan madu lagi?"

"Nggak tau, juga. By the way, lawakanmu garing. Nggak masuk ke humorku."

Krik krik Krik

"Dih, ayo cabut!" mereka pulang bersama dengan candaan yang renyah di atas rasa kehilangan yang tak akan pernah ada obatnya.

Erik sangat senang karena bisa tinggal sementara di rumah besar itu. Bu Lastri menyambutnya dengan hangat, begitu pun dengan Emily. Tangan Erik bergetar saat bersalaman dengannya. "Hai, Erik!" sambut Alisya hangat. Tampak bu Suryani tengah memasak di bantu oleh Rama.

"Rik, kamu tidur di kamar tamu aja, ya? Terserah, sih. Mau denganku juga nggak apa-apa."

"Makasih, Ed. Aku di kamar tamu aja. Maaf, ya, kalo buat lu repot."

"Santai, Rik," jawab Ed.

Setelah makan malam bersama, Erik pergi ke kamarnya, sementara Edward hanya melamun di meja makan.

"Nak, ada yang mau di ceritakan?"

Seketika ia menangis. "Edward sedih bu, Ed nyesel, Ed marah, Ed takut, Ed kecewa, Ed sakit hati, Ed cemburu. Kenapa terjadi hal yang nggak pernah kita inginkan. Ed ingat kejadian ayah, Ed ingat ibu sakit, Ed lihat Emily ketakutan di terror orang asing, Ed liat Alisya gantung diri, Ed liat Willy kritis sampe akhirnya dia pergi. Ed merasa Ed idah gila, bu, Ed kayaknya udah gila, bu! Dunia jahat sama Ed, dunia jahat sama Emily, dunia jahat sama kita semua! Dunia jahat sama-,"

Bu Lastri memeluknya dengan terisak tangis. "Ibu mengerti, Nak. Ibu bisa rasakan ... jangan salahkan diri kamu sendiri. Ingat kata dokter? Kamu harus selalu berpikir jernih dan abaikan hal buruk yang pikiran kamu katakan, Ya? Ibu mohon ... jangan siksa diri kamu sendiri. Siapa pun dan versi mana pun."

"Iya, Bu. Edward capek kaya gini, hidup dalam emosi ekstrem yang nggak bisa Ed kontrol. Ed berharap bisa jadi anak normal kaya yang lain," pungkasnya dengan mengusap air mata.

Setelah Ed tenang, dia kembali ke kamar dengan suasana hati yang temaram. Bu Lastri masih merenung teringat suaminya dan trauma masa lalu Edward. Orang-orang rumah menyaksikan kejadian itu. Emily terisak tangis di kamar setelah melihat betapa hancur dan rapuh saudara kembarnya. Ingin rasanya Erik menghampiri Edward, namun ia sadar hanya akan memperkeruh suasana.

"Kasian Tuan, ya, Nak."

"Iya, Bu. Aku kira orang kaya hidupnya nggak banyak masalah."

"Hush! kamu ini! Bukannya Tuan itu sobat kamu?"

"Iya bu, maaf."

*****

"Bagaimana? Apakah dia bisa di selamatkan?" tanya Macan kepada anak buahnya.

"Dengan berjam-jam operasi, kami bisa menyelamatkannya. Namun, beliau tak akan bisa normal secara fisik, Tuan."

Macan mendengkus.

"Baiklah, tolong jaga dia, cuaca mulai badai di sini," pungkasnya.

*****

Creation is hard, cheer me up!

owtherboycreators' thoughts