webnovel

Dinodai Suami Sendiri

Tyas terjebak dalam pernikahan yang dia rencanakan.

Oscar21 · Adolescente
Classificações insuficientes
10 Chs

Sandiwara Belum Berakhir

Tiba-tiba aja jantungku jadi berdebar-debar tak menentu. Zein melepaskan bibir seksinya dari pipi mulusku. Dia tersenyum puas, kemudian melingkarkan tangan kirinya ke pinggangku. 

"Kita pulang jam berapa, Sayang, hemmm?" lirihnya di telingaku, namun tetap terdengar oleh mereka. Sandiwara ini belum juga selesai.

Nafasku terasa sesak atas tingkah liarnya. Si kucing garong ini nggak mau menyia-nyiakan kesempatan rupanya. Aku terpaksa ikut tersenyum, sembari mencubit pinggangnya dengan diam-diam agar tak diketahui oleh trio ember. 

Namun sepertinya cubitanku tidak berefek ke kulitnya. Atau, jangan-jangan dia sengaja menahan rasa sakit agar masih bisa terus memelukku. Awas kamu ya, Zein. Tunggu aja pembalasanku. 

"Duh, Mas ganteng ini bikin ngiri aja deh."

"Iya, nih. Kok tiba-tiba aku jadi gerah ya."

"Aku cari suamiku aja deh."

"Iya, nih. Suamiku juga ngilang kemana lagi."

"Aku ajak suamiku pulang aja deh. Pengen cepat-cepat ehem."

"Ya udah, yuk, yuk!"

Huft... 

Akhirnya trio ember pun menghilang. Dasar lemah. Gitu aja keok. Baru tau kalian kan, kalau seorang Tyas tuh nggak semenyedihkan yang kalian pikirkan. 

"Ini lagi!" Aku menepuk kasar lengan Zein, dan menepiskannya dari pinggang rampingku. "Cari-cari kesempatan aja," rutukku padanya. 

"Kan enak sih, Yas. Pipi kamu lembut-lembut gimana gitu," jawabnya santai, sambil tersenyum. Manis lagi.

"Hiih... bodo! Jatah uang bagian kamu bulan depan aku potong, ya!" aku menekan suara sembari merapatkan gigi putihku.  

Aku berjalan meninggalkannya, lalu terhenti setelah sadar dia mengikuti. 

"Jangan ikut. Kamu di sini aja!" bentakku, sambil terus berjalan dengan menghentakkan kaki. 

.

Aku menepuk-nepuk wajahku dengan pelan di depan cermin wastafel. Rasa panas di wajah  tadi membuatku ingin buru-buru ke toilet. Setelah selesai merapikan ini dan itu, aku kembali lagi ke acara. Bergabung dengan yang lain. 

Kulihat Zein masih berdiri di tempat yang sama seorang diri. Mungkin masih menungguku. Dia melihatku, berharap aku datang dan menemaninya. Tak usah ye. 

Apa dia pikir aku suka dengan perlakuannya tadi. Hem... aku panas-panasin aja tuh anak. Biar tau rasa. Dia pikir aku bakal luluh, setelah mendapat sentuhan yang nggak seberapa itu. Paling cuman ser-seran doang. 

Aku pun berbelok arah, dan kuyakin dia pasti menatap dan mengikuti ke arah mana aku pergi. Aku menyapa beberapa teman lelakiku yang sedang berkumpul. Hahay... 

"Hai, Tyas. Makin cantik aja, sih."

"Awet muda lagi."

"Tega banget sih, kita-kita nggak diundang pas nikahan. 

"Aku pikir kamu nggak niat nikah, Yas. Tau gitu, aku duluan yang ngelamar kamu."

Aku merasa tersanjung, dan sengaja membesar-besarkan suara tawaku. Si suami bayaran harus tau, kalau aku juga bisa bersenang-senang tanpa dia. Sesekali kulirik dia yang sedang memperhatikanku dari sana. 

Rasain! Emang enak di cuekin. Aku semakin berani, bercanda tawa dengan para lelaki satu angkatan denganku ini. Sebagian dari mereka sudah menikah, sisanya mungkin nggak laku.

Sesekali kucubit perut mereka biar terlihat lebih akrab. Agar yang di sana nggak merasa geer kalau aku bakal tertarik sama dia. Cemburu, cemburu deh situ. 

Lama aku mengobrol dengan mereka, sampai kulihat Zein tak lagi menatap ke arah kami. Kelihatannya dia sedang asik ngobrol dengan salah seorang wanita. Dih, berani banget. Siapa tuh? Kok aku nggak kenal? 

Pria-pria ini tetap bersenda gurau sambil tertawa, meski tak lagi terasa lucu di telingaku. Sebentar-sebentar aku melirik ke arah Zein, yang udah nggak pernah lagi memperhatikan posisiku. Kulihat dia tertawa senang, seperti mereka udah akrab aja. 

Tiba-tiba ada yang terasa hangat di dada ini, melihat tangan wanita itu sesekali memukul lengannya Zein. Dasar ganjen tingkat dewa. Calon-calon pelakor juga kayaknya nih. Cewek gatel. Sukanya godain suami orang. 

Tak tinggal diam, aku pun menyusul ke tempat mereka. 

"Lagi ngobrolin apa, nih?" sinisku, sambil membusungkan dada dan menenggerkan kedua tangan di pinggang rampingku. 

Wanita itu tampak kebingungan. Mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa tiba-tiba muncul dan melabraknya. 

"Siapa, ya?" tanyanya dengan gaya sok menawan. Najis!

"Oh, iya. Ini...."

"Aku istrinya Zein. Kamu siapa?" Aku memotong ucapan Zein yang baru ingin menjawab pertanyaan wanita itu. 

Wanita berambut panjang dan berbulu mata hasil cangkokan itu menatap ke arah Zein. Dengan senyum menawan Zein membalas tatapannya. 

"Iya, Mbak. Ini Tyas, istri saya," jawabnya dengan sopan. Huh, sebel. 

"Oh, kirain masih perjaka," wanita itu memutar bola mata, malas. 

"Emang masih, Mbak."

"Zeinn!" hardikku. Aku spontan merangkul lengannya dan menyeretnya menjauh dari wanita itu. 

Dia menurut, lalu menoleh ke belakang sambil sedikit menunduk. 

"Saya permisi dulu, Mbak," pamitnya.

"Nggak usah pamit-pamit. Nggak penting!" bentakku, sembari terus menyeretnya hingga ke pintu keluar. 

"Kita mau kemana, Yas?"

"Pulang!"

"Kok cepet? Udahan jumpa fans nya?"

"Bodo amat. Pokoknya pulang!"

.

Aku menghempaskan tas mahalku ke atas ranjang, setelah membanting pintu kamar dengan sekuat tenaga. Nafasku menggebu-gebu menahan amarah. Bisa-bisanya dia ketawa ketiwi sama cewek lain, tanpa melihat ke arahku sedikit pun. Jelas-jelas dia melihatku dengan banyak lelaki di sana tadi. 

Apa dia nggak cemburu? Atau aku ini benar-benar nggak menarik sama sekali di matanya? Eh? Kok aku jadi marah-marah sendiri. Mana ngarep dia cemburu lagi. Huh... sebel. 

"Yas," panggilnya dari luar sana, sambil mengetuk pintu. 

"Apa!" bentakku berapi-api. 

Terdengar suara handel pintu dibuka. Aku yang tengah duduk di sisi ranjang membiarkan saja dia masuk. 

"Kamu masih marah gara-gara aku peluk tadi?"

"Tauk!"

"Kan kamu sendiri yang nyuruh aku bersandiwara."

"Bodo!"

"Lagian orang-orang yang suka mencela kek gitu ngapain di temenin?" Aku masih memasang wajah jutek. 

"Nggak usah lagi ngajak-ngajak mereka ketemuan. Kalau cuman mau saling sindir. Mending nggak usah punya teman sekalian."

Idih, ini orang nggak peka banget sih. Dia nggak tau, atau pura-pura nggak tau kenapa aku bisa marah-marah kek gini. 

"Aku janji deh, nggak akan ngulangin kek gitu lagi," ucapnya sungguh-sungguh. 

"Emang kamu tau salah kamu apa?" 

"Tau."

"Apa?"

"Banyak."

"Ha?"

"Aku kan selalu aja salah di mata kamu. Jadi apapun kesalahanku malam ini, aku minta maaf,ya."

Ya ampun. Ini orang, apa orang sih. Ngomongnya nenangin banget. Bikin hati yang tadi kebakaran, kembali adem. 

"Siapa cewek tadi? Mantan kamu lagi?" selidikku, karena tak tahan dengan rasa penasaran. 

"Enggak. Aku malah nggak kenal. Bukannya itu teman SMA kamu juga?"

"Nggak tuh, nggak kenal!" ketusku. 

"Terus, cowok-cowok yang tadi itu, fans kamu semua?"

Tuh, kan. Dari tadi kek nanya nya. 

"Kok baru nanya sekarang? Dari tadi kemana aja?"

"Kan kamu liat sendiri tadi aku dimana."

Hish... nggak peka juga dia. 

"Harusnya sebagai seorang suami, kamu tuh nyamperin aku. Mana ada suami yang ngebiarin istrinya ketawa-ketiwi sama cowok lain," ujarku, bertausiah. 

"Seperti kamu nyamperin aku tadi?" tuturnya lembut. 

"Hem..." sahutku. Tumben peka. 

"Iya deh, iya. Namanya juga baru pertama kali jadi suami. Harusnya kan tadi kamu bilang."

"Au ah. Capek ngomong sama kamu. Keluar gih, aku mau tidur."

"Mau ditidurin?"

"Heh...heh....Ini mau?" Aku mengambil tas ku tadi dan melayangkannya di udara. Sedikit aja dia mendekat, bakal mendarat di kepalanya. 

"Bercanda lho, Yas. Gitu aja ngambek. Kan cuma nawarin."

"Sana keluar!" Aku bangkit dan mendorong tubuhnya. Dia hanya tertawa, sembari mengacak sedikit rambutku. 

Eh? Apa-apaan dia. Kok berani? 

                              ***************