webnovel

Dinodai Suami Sendiri

Tyas terjebak dalam pernikahan yang dia rencanakan.

Oscar21 · Adolescente
Classificações insuficientes
10 Chs

Merinding Disko

Zein? Duh, ngapain lagi dia di sini? Apa dia nggak punya uang lagi, buat bayar makan siang sendiri? Mana muka nya garang lagi. Zein pun semakin mendekat dan menyentuh lenganku. 

"Makan siang di kantin aja!" Dia menarik lenganku, dan nggak tau, kenapa aku nurut. 

Kami jalan beriringan dengan tangannya masih menggenggam tanganku hingga keluar dari kafe. So sweet banget nggak sih. Namun sejurus kemudian dia berhenti, begitu mendengar suara Refan. Oh, no. Mau apa dia?

"Sopan dong, Bro. Main bawa-bawa aja. Punya tata krama, kan?" celanya. Oh, shit. 

"Kayanya yang nggak punya tata krama itu kamu. Berani-beraninya ngajak ketemuan istri orang." 

Ouch... good people!

"Oh, jadi suaminya Tyas. Biasa aja dong. Nggak usah terlalu bangga," sindirnya. 

Oh, shit! Apa maksud si Refan ngomong kek gitu sama Zein? Apa dia mau membeberkan apa yang pernah kami lakukan dulu? Nggak boleh! Zein nggak boleh tau tentang kebobrokan sikapku dulu. Aku nggak mau nantinya dia membenci dan jijik melihat wanita kotor sepertiku. Walaupun dari luar aku terlihat begitu glowing. 

"Seorang suami pasti bangga dengan wanita yang telah dinikahinya. Jadi, jangan berani-berani ganggu istri orang lagi!" tegas Zein, yang membuatku takjub akan kata-katanya yang benar-benar membelaku. 

"Tapi kan, dia nggak sepenuhnya milik kamu."

"Refan!" bentakku. Yang tak ingin dia keceplosan dan memberi tahu Zein. 

"Kenapa, Yas? Nggak mungkin suami kamu nggak sadar kalau saat malam pertama kamu udah nggak perawan, kan? Kecuali dia suami bohongan yang kamu bayar buat nutupin aib kamu!"

"Refan!" Teriakanku makin kenceng.Tak mampu menyembunyikan rasa malu dan juga sakit hatiku. 

Kulihat tangan Zein mengepal. Apa selama ini dia merasa dibohongi? Ataukah sekarang dia terlanjur jijik sama aku? Oh, Zein... 

"Bilang sama suami kamu, Yas. Kalau aku duluan yang udah puas menikmati tubuh kamu itu."

Langkah Zein semakin menjauhiku, hingga terdengar suara pukulan keras menghantam wajah Refan. Aku terkejut sembari menutup mulut, hingga kulihat tubuh Refan jatuh terjengkang ke aspal jalan. Mampus lu Re! 

"Zein!" pekikku. Dia menarik kerah Refan yang masih dalam posisi terlentang. 

"Sekali lagi kamu hina istriku, akan kuberi lebih dari ini!" serunya kemudian kembali menghentakkan tubuh Refan lagi. 

Zein kembali menuju ke arahku, meraih tanganku dan membawaku menyeberang jalan hingga sampai ke kantor. Aku cuma diam aja nggak bereaksi. Masih terlalu malu melihat wajah lelaki yang selama ini aku perlakuan sesuka hati. 

Langkahku terseret. Zein tak melepaskan genggaman tangannya hingga memasuki ruanganku. Barulah setelah sampai dia melepaskan pegangannya. Aku dan Zein masing-masing diam. Zein pasti kini benci dan jijik dekat-dekat sama aku. 

"Kamu tadi ngapain kek gitu?" protesku. Padahal dalam hati merasa senang. 

"Emang salah?"

"Tauk. Pikir aja sendiri."

"Aku nggak salah."

Tumben. Biasa dia selalu mengalah dan merasa bersalah.

"Kok gitu?" 

"Karena aku suami kamu."

Oh, ya ampuuun. Jadi dia beneran nganggap aku sebagai istrinya? Mmm... so sweet...

"Kan suami bohongan," sinisku kemudian. Biar dia nggak ge er an. 

"Iya, Yas. Iya. Aku tau diri kok. Kan kamu sendiri yang bilang. Kalau sebagai suami, harusnya aku marah kalau kamu deket-deket sama cowok lain. Jadi aku udah nurutin semua permintaan kamu, kan?"

Tuh, kan. Jadi yang tadi itu cuman karena permintaan aku waktu itu?  Bukan karena keinginannya sendiri? Dasar cowok bayaran. Mata duitan. Minus Akhlak! 

"Ya udah deh. Keluar sana! Aku lagi mau sendiri."

"Kamu kan belum makan, Yas. Makan dulu yuk. Kita makan di kantin aja."

"Ogah!"

"Tapi aku lapar, Yas."

"Ya udah sana. Makan aja sendiri."

"Tapi di kantin banyak cewek-cewek, Yas. Nanti aku lagi yang salah."

"Bodo amat!"

"Bener nih? Aku ke kantin sendiri, ya?"

"Terserah."

"Aku keluar dulu, ya."

"Hish, Zein...!" teriakku lagi. 

"Apa, Yas?"

"Gandengan..."

.

Kami sampai di rumah dan masuk ke kamar masing-masing. Aku mengunci diri agar Zein nggak bisa ngeliat aku yang sedang menangis. Aku jadi menyesal karena tadi bersikap cuek sama dia, dan lebih memilih ketemuan sama Refan. 

Zein pasti udah mikir kalau ternyata aku ini bukan perempuan baik-baik. Sejak awal, Zein emang nggak pernah nanyak alasan kenapa aku harus menikah kontrak dengan dia. Mungkin karena emang lagi butuh uang, apapun alasannya dia pasti terima. 

Lagi pula, aku kan udah membayarnya. Harusnya masalah itu jadi urusanku dan bukan urusan dia. Ah, terserahlah. Perduli amat tentang pemikiran dia sama aku. 

Tuk tik tak tik tuk.

Terdengar suara ketukan dari pintu. Aku lagi males ketemu sama Zein. Mending pura-pura tidur aja. 

"Yas... Makan malam yuk!" ucapnya lembut. 

Aku diam tak menjawab. Tak lama dia memanggil lagi. 

"Yas."

"Tyas."

"Istriku?"

Hish... berisik amat sih. 

"Raden Roro Diningtyas?"

Mau apa lagi sih dia. 

"Kamu udah tidur, Yas?"

"Udah," sahutku spontan. Lalu tersadar, dan menutup mulut. 

"Udah tidur kok nyahut?"

Hish.. dengan kesal aku bangkit dan membuka pintu. 

"Apaan?" ketusku. 

"Makan!"

"Gak laper."

"Udah makan aja." Zein langsung menarik dan mendorong tubuhku menuju meja makan. 

Aku menelungkupkan wajah di atas meja. Malu banget rasanya atas ucapan Refan tadi di hadapan Zein. 

"Makan dong, Yas?"

Aku mengangkat wajah dan mulai berani menatapnya. 

"Kamu pasti udah denger kan, apa yang Refan bilang tentang aku?" 

"Yang mana?"

"Yang tadi lah. Pura-pura lagi."

"Iya, denger. Kenapa?"

"Kamu nggak marah?"

"Emang aku punya hak buat marah?"

"Terserah!"

"Semua orang punya masa lalu kok, Yas."

"Tapi masa laluku buruk, Zein. Susah banget ngelupainnya." Aku kembali menunduk ke atas meja. Bisa-bisanya aku curhat sama suami sendiri, perihal masa kelamku. 

"Udah, lupain aja. Kan udah berlalu."

"Tapi aku udah ternoda. Kamu nggak jijik sama aku?" Kulihat dia tersenyum. 

"Makan dulu, Yas!" sahutnya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku. 

Tuh kan, nggak bisa jawab. 

Usai makan malam, aku kembali melenggak-lenggokkan badanku yang super aduhai ini menuju ke kamar. Namun tiba-tiba kurasakan seseorang memelukku dari belakang.

"Heh, heh...apa-apaan nih?" Aku menggeliat minta dilepas. 

"Diem aja napa sih, Yas."

"Enak aja, jangan kurang ajar, ya. Mau ngapain?" Aku pura-pura meronta. Padahal di peluk dalam suasana hati kek gini rasanya tuh nyaman banget. Serasa ada yang nenangin saat lagi terpuruk. 

"Aku udah bilangkan, kalau aku ini laki-laki normal? Menurut kamu, berapa lama aku bisa menahan diri untuk nggak nyentuh kamu?"

"Udah deh, Zein. Jangan ngaco. Aku bisa nuntut, dan kamu bisa masuk penjara!" Aku pura-pura nggak rela. Kok pura-pura sih. 

"Aku nggak perduli. Toh tanpa melakukan ini pun, aku tetap bakal dilaporin sama mantan kamu itu. Dia atau kamu, ujung-ujungnya aku tetap masuk penjara juga, kan?"

Zein? Kamu udah tau konsekuensi yang bakal kamu terima, tapi kamu tetap ngelakuin itu demi membela harga diriku? 

"Kenapa kamu senekat ini Zein?" tanyaku penasaran. 

"Karena aku cemburu," bisiknya tepat di telingaku. Membuat bulu mataku merinding disko. 

"Aku nggak rela laki-laki itu memiliki kamu lagi, setelah apa yang udah dia perbuat. Aku akan membuat kamu melupakannya dan jatuh cinta sama aku," bisiknya lagi. Bukan hanya bulu mataku yang merinding kali ini. Tau lah ea kan. Hahay... 

"Emang kamu bisa apa?" Aku menantang. 

"Aku akan ngehapus noda nggak halal di tubuh kamu, akan aku ganti dengan noda halal yang harus kamu ingat sebagai pengganti."

Dia membalikkan tubuhku, dan merapatkan bibirku dalam pagutannya. Cukup lama, sampai aku nggak sadar udah mejamin mata dan menikmatinya. Oh, ya ampun, rasanya ingin melayang. 

Tapi setelah tersadar, aku jadi melayang beneran. Aku mulai meronta, saat tubuhku udah berada dalam gendongannya. 

"Zein, kamu mau apa? Lepasin, lepasin!" Aku memukul-mukul dada bidangnya. "Ini pemaksaan namanya. Lepasin nggak!"

"Berisik banget sih, Yas. Pasrah aja napa!"

Dia membawaku masuk ke kamar, dan merapatkan pintu dengan tubuhnya. 

"Zeinnn...!"

"Jangan banyak gerak, Yas. Susah ini masuknya.  Sempit banget."

"Zein gilak...Dasar museum...."

                        ***********