Aku duduk disebelah ibu Angga, tetanggaku yang memperlihatkan video pendek ayahku katanya jalan dan sudah berhubungan lebih dari tiga tahun. Kemudian teh Marta ibu Angga ini juga bilang katanya, ibu lah yang ayah jadikan kambing hitam menjadi yang tersangka salah menuduh. Padahal dalam viseo kekasih ayah yang dua minggu lalu dikenalkan ayah padaku dan Agha.
Teh Marta membacakan tulisan pada postingan kekasih ayah yang mengatakan jika hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun dan ketika itu ibu memang sudah mencurigai itu saat menemukan bedak di mobil ayah dan ayah yang sering pulang terlambat setelah mendapatkan pekerjaan.
Ayah jadi sering memegang hp dan memojok seperti main game, apa mungkin itu ketika ayah selingkuh. Pikiranku yang bocah 14 tahun ini sudah memahami apa yang terjadi, lebih tepatnya dipaksa untuk paham dunia orang dewasa yang rumit. Ibu menikah dengan ayah yang menjadi duda, pernikahan pertama ayah juga gagal karena ayah mendua dengan ibu.
Begitu cerita teh Marta padaku dan aku mengangguk paham walau sebenarnya tidak semua aku pahami.
"Ibu kamu dulunya selingkuhan bapakmu, waktu masih sama istri pertamanya. Untung belum ada anak jadi kamu nggak punya sodara tiri."
Begitu kata teh Marta sambil menatap aku yang juga balik menatapnya dengan perasaan tercabik didalam. Tidak mungkin aku berucap bahwa aku tidak terima dan sakit hati, mengetahui ffakta jika ibu dan ayah juga menikah adalah sebuah kesalahan. Paling-paling jik aku mengaku sakit hati dan marah mereka hanya menganggap itu semua angin lalu.
Banyak orang dewasa yang menganggap remeh perasaan seorang anak kecil tapi anak kecil tidak boleh meremehkan perasaan orang dewasa yang rumit, kita malah akan dicekokin pemahaman orang dewasa yang belum tentu kami pahami. Seperti aku saat ini contohnya. Hanya diam mendengarkan dan mengiyakan jika dia bertanya.
"Kamu nanti jangan kayak emak kamu juga ya, jangan dekati laki-laki beristri kalau sudah besar. Jangan juga kamu mau jadi lonte kaya emak kamu sekarang. Kamu harus tau diri, hidup enggak selalu tentang cinta, Ra. Apalagi nenek kamu suka nggak tau diri, padahal anaknya yang salah masih aja nyalahin menantu, nggak tau diri itu namanya. Udah kemarin emak kamu minjem uang pake nama teteh sampe diancam si peminjam. Padahal teteh nggak tau apa-apa."
Begitu curahan hati teh Marta padaku. Dan aku ingin menangis, sebenarnya kenapa dengan ibu dan ayah. Aku masih tidak mengerti benar kenapa keduanya tidak bersama dan kenapa aku selalu diwanti-wanti. Padahal aku hanya bermain, sekolah dan berjualan tapi mereka selalu banyak omong ketika membeli gorengan dan cilok yang kubawa dengan sepedah pembelian ibu.
Yang ku bingung orang dewasa memaksa anak kecil sepertiku paham permasahalan mereka dan mengabaikan perasaan si anak sepertiku, ketika anak kecil meremehkan mereka. Orang dewasa marah sampai murka dan berlaku kasar yang kadang kala tanpa sebab.
Aku hanya menggeleng, menjawab petuah teh Marta. Iya menggeleng tidak mengerti dan meminta secara tidak langsung agar teh Marta berhenti bicara dan izinkan aku pulang.
.....
"Beri tahu jalan rumah kamu sekarang kepada supir." Itu suara abang yang menyuruh padaku dari dalam mobil.
Aku dibawa oleh abang menaiki mobil setelah keluar dari bar tempatku kerja yang membuat beberapa pekerja yang sedang beberes menoleh bingung sampai ada yang mempertanyakan dengan gerak tubuh. Tapi aku jawab gelengan ketika keluar bersama abang beserta sekretarisnya.
Kata abang, nanti dia akan datang kerumahku lagi jika suratnya sudah jadi. Aku hanya diam tidak menjawab, sebab tidak mengerti masih enggan bertanya banyak. Kemana saja abang selama ini sehabis pindah rumah dan menikah. Abang menikah melangkahi abang pertamanya waktu itu, tapi melihat bagaimana sikap abang tadi malam layaknya pria dewasa tanpa hubungan atau abang bermain nakal?
Tidak tau.
Karena abang juga tidak membahas masalah semalam ataupun meminta maaf atas perbuatannya padaku, tapi abang memperlakukanku dengan baik. Abang juga bilang sudah meminta izin pada bosnya dan aku lega.
Mobil abang sampai didepan rumah yang catnya sudah pudar dengan pagar besi yang karatan, itu rumah yang dapat kubeli dari uang pemberian ibu terakhir kali sebelum menghilang entah kemana. Rumah dengan satu kamar, satu ruang tv, dapur dan kamar mandi. Memuat aku dan Agha untuk beristirahat.
Agha saat ini baru saja akan masuk sekolah menengah pertama, tapi sikap Agha sekarang tidak sama lagi seperti dulu setelah terjadi pengusiran keluarga besar kepadaku dan Agha karena perbuatan ayah. Surat tanah keluarga digadaikan dan hampir saja dilelang jika tidak dibantu hutang dibayarkan oleh juragan disana yang pada akhirnya tetap meminta upah untuk menikahi sepupuku waktu itu.
Aku dan Agha tidak diterima dan ayah menjadi buronan keluarga, dirumah keluarga ayah kami sering di intimidasi pun dengan tetangga. Membuat aku sempat ingin berhenti sekolah dan memilih kerja, beruntung waktu itu aku emndapat pekerjaan dari teman ibu. Aku juga sudah menyelesaikan sekolahku ketika itu sembari bekerja.
"Abang ngapain masuk?"
Aku bertanya terperangah karena tau-tau abang sudah duduk lesehan diatas lantai tepat disebelah kasur tidur Agha yang tengah terlelap, bocah itu juga tengah tertidur disana. Astaga rumah dalam keadaan bak kapal pecah yang terguncang. Apalgi ada aroma tidak sedap juga datang dari kamar mandi akibat cucian menumpuk belum ia cuci. Seharusnya semalam tapi dia ditahan abang.
"Agha sudah SMP?"Abang melirikku tajam.
Aku tidak bisa membaca raut wajah abang yang tiba-tiba saja mengeras, mungkin karena bau rumahku ataupun karena dia sudah tidak tahan dan ingin segera pergi. Itu aka kuaminkan segera agar aku bisa segera beberes dan beristirahat sebelum nanti malam bekerja lagi. Aku sudah dapat BO untuk menemani seorang pejabat desa jam sembilan malam nanti.
"Baru mau masuk SMP, tapi Agha mintanya dia tidak sekolah. Ingin bantu aku kerja tapi kumarahi. Jadi tiap malam dia akan berjualan minuman dingin diam-diam diterminal dibawa tetanggaku yang jualan warung disana. Aku tau tapi kudiamkan, karena melihat Agha tidak lagi murung. Kadang juga dia akan pulang membawa makanan untukku, dan itu membuat Agha bangga dan percaya diri."
"Apa nama sekolahnya?"
"Insan Mulya dan sempat akan mengeluarkan Agha dari daftar murid karena belum melunasi pendaftaran."
Abang diam mendengarkan aku yang tiba-tiba saja bercerita begitu lugas kepada abang yang baru aku temui lagi setelah lima tahun tidak bertemu. Aku tersadar dan terpaku melihat abang semakin gelap raut wajahnya, kukira sepertinya abang tidak suka aku bercerita padanya jadi aku mulai diam tanpa berbuat apapun atau seperti menyediakan minum.
Bingung juga, abang yang terlihat betul orang kayanya, aku beri air putih rebusan dari pam apa akan membuat abang sakit perut?
Sampai sepuluh menit kami berdiam sekretaris abang muncul dengan ampol cokelat tebal dan memberikannya pada abang yang menerima dalam diam. Dan menyodorkannya padaku sampai aku terkejut mundur.
"Ambil dan juga nanti malam tidak usah datang bekerja nanti malam, ini bisa untuk membayar lunas biaya sekolah Agha selama setahun."
Abang mengambil tanganku dan menaruh amplop yang terasa berat itu kemudian berdiri untuk pamit pulang meninggalkan aku yang hampir menangis namun juga merasa kehilangan.